Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan cara pembuatannya di depan anggota DPR meski uji klinisnya memantik kontroversi.
Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan cara pembuatannya di depan anggota DPR. Peragaan yang mirip demo memasak itu ternyata memantik antusiasme meski mayoritas saintis dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyatakan bahwa proses uji klinisnya tidak mematuhi kaidah ilmiah yang berlaku.
Apa yang dilakukan Terawan dengan Vaksin Nusantara-nya tentu bukan lagi sekadar persoalan sains. Vaksin Nusantara telah masuk ruang politik lebih dahulu sebelum didedahkan secara matang di ruang diskusi sains.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa yang disodorkannya pun ke para politisi bukan soal seberapa efektif vaksin tersebut mereduksi keparahan infeksi atau mencegah penularan, tetapi lebih banyak menyodorkan primordialisme sains. ‘Nusantara’ adalah kata kunci untuk mendefinisikan ‘kita’ sekaligus memosisikan diri berseberangan dengan vaksin buatan luar negeri.
Pemosisian diri seperti ini tentu merupakan angin segar di tengah kembali riuhnya isu kapitalisasi dan konspirasi industri vaksin.
Untuk menekankan posisi yang berlawanan dengan kekuatan global, Vaksin Nusantara harus bersusah payah membuktikan bahwa komponen yang digunakan berasal dari dalam negeri. Terawan mengklaim bahwa lebih dari 90 persen bahan produksinya telah ada di Indonesia dan aksinya di hadapan anggota DPR adalah upaya pembuktian bahwa pembuatan vaksin tidak sesukar yang dipikirkan banyak orang.
Populisme saintifik
Ide ini dapat dengan mudah disanggah oleh kelompok saintis. Tetapi, ketika demonstrasi pembuatan vaksin telah masuk ke ruang anggota DPR, persoalannya bukan lagi tentang benar dan salah dalam kaidah saintifik. Vaksin Nusantara telah membentuk populisme saintifiknya sendiri yang didorong hasrat yang sama dari populisme politik.
Jauh sebelum pandemi Covid-19, keengganan orangtua di Eropa Barat untuk memvaksin anak-anak mereka terbukti secara anekdotal berkorelasi dengan populisme politik yang bersemi di regio tersebut. Yang mendorong keduanya bertumbuh dengan subur berpangkal pada hal yang serupa: ketidakpercayaan yang mengakar kuat terhadap para elite dan pakar. Hal yang sama terjadi pada diskursus sengit soal perubahan iklim.
Para politisi bukan tak memiliki kapasitas membaca data dan fakta. Mereka bukan elemen yang bergerak sendirian, tetapi didampingi para ahli yang memberikan masukan ke telinga kanan dan kirinya. Tetapi, populisme—sekali lagi—tak berkutat pada kebenaran, melainkan ke sisi mana yang memberi keuntungan lebih berlipat untuk meraup dukungan dan suara rakyat.
Ketika pandemi Covid-19 menghantam dunia, sebagian orang memilih untuk memercayai bahwa pandemi adalah bagian konspirasi elite. Proporsinya tidak kunjung menurun meskipun pandemi telah berlangsung lebih dari setahun. Bukan hanya di Indonesia, 22 persen masyarakat Inggris pun menunjukkan ketidakpercayaan terhadap angka kematian yang mereka anggap dibesar-besarkan.
Di AS, puluhan pemrotes memblokade dan menutup situs vaksinasi di awal tahun 2021. Bahkan, banyak tenaga kesehatan bermunculan sebagai ‘pakar’ baru di media sosial dan dengan cepat meraih popularitas karena menolak status pandemi, kuncitara, atau vaksin.
Pendekatan yang mereka lakukan selalu sama: penggunaan kata yang iritan, bahkan cenderung agitatif, dan penempelan potongan bukti ilmiah yang tidak lengkap atau tidak diinterpretasikan dengan tepat. Sumbu ini berpadupadan dengan ketersesatan masyarakat di tengah infodemi—informasi yang membeludak tak tertahan.
Mereka tak memiliki kemampuan mencari informasi selaiknya saintis, apalagi filsuf, namun cenderung mencari informasi yang bersesuaian dengan kehendak dan harapannya sendiri.
Otak manusia memang cenderung menginginkan apa yang ingin mereka dengarkan, sedangkan pandemi dengan segala konsekuensi penanganannya bukanlah hal menyenangkan yang dapat diterima dengan kerelaan penuh oleh manusia. Ketika mereka menemukan informasi yang sesuai dengan harapannya, di situlah bibit populisme saintifik mendapatkan lahan yang subur.
Pemantik pertumbuhannya adalah hasrat popularitas. Populisme ternyata tidak mati di tengah pandemi, seperti yang diduga Santiago Zabala dalam bukunya, Pan(dem)ic! Populisme hanya berubah bentuk. Jika Donald Trump dikenal sebagai pejurus populisme kultural dan Andre Lopez Obrador di Meksiko diidentifikasi sebagai penganut populisme ekonomi, Vaksin Nusantara barangkali dapat didaku sebagai varian baru populisme vaksin.
Populisme medis
Uniknya, populisme vaksin ini tidak hadir dari ruang kosong yang hadir secara tiba-tiba. Ia didahului oleh populisme yang telah lebih dahulu dipertontonkan di masa awal pandemi. Gideon Lasco (2020) menyebutnya sebagai populisme medis.
Ketika politik semakin mencari bentuk khasnya masing-masing, pemirsa politik semakin terfragmentasi satu sama lain, dan klaim-klaim mengenai pengetahuan sering dipertarungkan, krisis kesehatan seperti pandemi menjadi isu yang makin rentan untuk dipolitisasi. Siapa ‘kita’ dan siapa ‘mereka’ menjadi sangat penting dan bahan permainan politik menarik di tengah pandemi.
Narasi yang dikemukakan para pejabat Pemerintahan Indonesia di awal pandemi adalah bentuk populisme medis yang nyata. Ungkapan ‘virus itu hanyalah flu biasa’, ‘kita kuat’, atau ‘cukup hadapi dengan doa dan jamu’ adalah upaya simplifikasi. Upaya itu sama sekali bukan bentuk pengabaian atau ketidaktahuan, karena dengan pengetahuan yang berkembang pesat, para pejabat memiliki asupan informasi yang adekuat tentang bahaya virus di masa depan.
Tetapi, simplifikasi adalah strategi yang secara sadar dipilih untuk mensegregasi opini antara ‘kita’ dan ‘mereka’—dan ‘kita’ selalu dicitrakan lebih tinggi daripada ‘mereka’.
Ketika Vaksin Nusantara muncul, upaya simplifikasi itu kembali dihadirkan dengan penuh kesadaran dalam pernyataan-pernyataan yang memantik kekaguman, seperti “soalnya nanti dikira sulit sekali bikin vaksin.” Pernyataan itu keluar dengan pola yang sama seperti dulu simplifikasi pandemi dilakukan. Juga oleh orang yang sama.
Strategi ini menajamkan sekat antar kelompok. Posisinya yang berseberangan dengan arah sains jalur utama bukan sebuah kelemahan, tetapi justru bahan bakar yang tepat untuk mengobarkan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat yang lelah di tengah sengkarut pandemi. Kehadirannya di ruang DPR adalah pencarian dukungan dari para politisi yang kerap bergegas mengambil keuntungan popularitas.
Politik sains
Situasi ini semestinya tidak cukup hanya membuat geram para saintis, tetapi harus menjadi bahan refleksi paling mendasar terhadap gagalnya sains mengatasi persoalan kesehatan dan pandemi. Seberapapun hebat dan terhormatnya sains, ia tidak dapat berdiri sendiri di atas mercusuarnya.
Sains memang sebuah pencerahan, tetapi sains juga perlu medium untuk mengamplifikasinya. Para saintis kedokteran dan kesehatan barangkali telah paham tentang kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine). Akan tetapi, dalam ruang kebijakan, bukti ilmiah bukanlah satu-satunya variabel yang superior.
Dalam bentukan kebijakan, bukti ilmiah selalu bersinggungan dengan politik dan budaya. Apa yang benar secara ilmiah, belum tentu sepadan dengan kultur yang diyakini dan dipraktikkan di tengah masyarakat. Begitu pun belum tentu sesuai dengan motif di balik layar yang mendorong aksi politik yang lain.
Pandemi ini mengajarkan hal-hal baru kepada para saintis. Kita bukan hanya tengah berkejaran mengumpulkan bukti baru tentang virus, obat, atau vaksin, tetapi juga bertarung memahami pola pikir, motif, dan kepentingan yang saling bercampuraduk di ruang publik.
Apakah vaksin akan menyelesaikan segala persoalan pandemi ini? Apakah penggunaan masker dan kuncitara akan menyusutkan ketakutan banyak orang terhadap hilangnya mata pencaharian dan masa depan finansial mereka? Nampaknya tidak, apalagi jika ruang politik dan kebijakan didominasi oleh kepentingan jangka pendek dan parsial yang dikuasai sebagian kelompok.
Populisme vaksin pun tidak akan memperbaiki keadaan, bahkan cenderung memperburuknya. Kunci dari penanganan pandemi adalah kearifan politik dalam menjembatani banyaknya kepentingan yang saling tarik-menarik, bukan mendaku diri tentang kebenaran nisbi yang diusungnya sambil meremehkan yang lain.
Pada titik itulah, kearifan politik menjadi kata yang mujarab seperti yang disebutkan Rudolf Virchow berabad lalu, ‘Medicine is a social science and politics is nothing else but medicine on a large scale’. Kedokteran adalah ilmu pengetahuan sosial, dan politik tidak lain adalah obat dalam skala yang lebih besar.
Ahmad Fuady Dokter, Peneliti, Pengamat Politik Kesehatan
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 24 Juni 2021