“Tuhan bukan hanya bermain dadu, tapi kadang Dia malah melemparnya ke tempat yang kita tak tahu rimbanya.”
SYAHDAN, di forum Royal Society dilangsungkan sebuah hajatan ilmiah bergengsi. Pembicaranya pun tidak tanggung-tanggung, Sir Fred Hoyle, astronom dunia berkelas. Waktu itu Hoyle meriliskan gagasan mutakhirnya berdasarkan perhitungan Jayant Narlikar, seorang mahasiswa Universitas Cambridge yang ditugasi Hoyle untuk menyelesaikan sejumlah persamaan matematika sebagai bagian dari riset ilmiah Narliker untuk memperoleh gelar PhD.
Di akhir ceramah tunggalnya itu, hadirin yang berjumlah kurang lebih seratus orang tersebut memberi aplaus meriah. “Any question?” tanya Hoyle mempersilakan hadirin untuk bertanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seorang mahasiswa pascasarjana bernama Stephen Hawking, yang sedari awal ceramah memperhatikan dengan tekun, berdiri perlahan sembari menahan tubuhnya dengan tongkat. Rupanya, ia sudah mulai mengidap amytrophic lateral sclerosis (ALS), sebutan untuk sejenis penyakit yang menyerang saraf motorik.
Ruangan tiba-tiba hening. “Besaran yang barusan Anda bicarakan tadi divergen,” kata Hawking tenang teduh.
Segera saja ruangan itu riuh. Mereka yang hadir berceletuk bak lebah berdengung. Jika penilaian Hawking benar, simpul mereka, maka kesimpulan Hoyle salah.
“Jelas tidak divergen,” Hoyle gusar.
“Divergen!” Hawking tak mau kalah.
Mata Hoyle menatap berkeliling barang sesaat. Ada kegusaran. Rupanya profesor ini mulai terpancing emosinya. Ruangan diskusi benar-benar senyap. “Bagaimana kamu tahu?” Hoyle tampak mulai tak sabar.
“Karena saya sudah membuktikannya.”
Tawa pun meledak di ruangan itu. Hawking telah menunjukkan bahwa ia fisikawan yang baik. Namun menurut Hoyle apa yang dilakukan Hawking itu tidak etis. Hajatan ilmiah itu pun serta-merta dihentikan. Tak lama kemudian, Hawking menulis kertas kerja pendek untuk menguraikan perhitungannya itu, yang membuat namanya mulai dikenal di sivitas akademika Cambridge sebagai fisikawan berbakat. Tanpa sepengetahuan Hoyle, rupanya Hawking ikut menggarap tugas yang diberikan kepada Narlikar secara diam-diam.
“Itulah konfrontasi dramatis antara kosmolog ternama di dunia pada awal tahun 1960-an dengan mahasiswa yang pernah ditolaknya ketika mengajukan permintaan agar ia bersedia menjadi pembimbing program doktoralnya,” tulis JP McEvoy dan Oscar Zarate dalam bukunya berjudul Stephen Hawking for Beginners (terj. Ahmad Baiquni, Mizan Cet. II 1999).
Dalam catatan McEvoy dan Zarate terterakan bahwa memang, sejak awal Hawking telah mengincar Hoyle. Begitu lulus dari Oxford dengan predikat terbaik pada tahun 1959, Hawking berminat mempelajari kosmologi. Karena di Oxford belum ada orang yang meneliti kosmologi, sedangkan di Cambridge ada Fred Hoyle, Hawking pun mendaftar untuk meraih PhD di Cambridge. Diterima. Namun, Hawking kecewa karena pembimbingnya bukan Fred Hoyle melainkan Denis Sciama yang menurutnya belum pernah ia kenal sebelumnya. Bahkan, dalam beberapa hal ia berselisih pendapat dengan Sciama tentang asal-usul jagat raya.
Beberapa tahun kemudian nama Hawking melambung bak meteor berkat bukunya yang melegenda, A Brief History of Time. Berkat buku itu pula ia disebut-sebut sebagai fisikawan teoretis paling brilyan pasca Einstein. Bagaimana tidak melegenda, inilah buku fisika teoretis pertama yang masuk dalam daftar buku terlaris selama empat tahun versi London Sunday Times. Diperkirakan buku ini telah terjual sekitar 30 juta kopi dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, termasuk Indonesia pada tahun 1991 oleh Gramedia dengan judul: Riwayat Sang Kala. Alasan utama Hawking menulis buku itu, seperti diakuinya sendiri, adalah karena ia ingin sekali menjelaskan betapa dekatnya kita dengan sebuah teori komplet yang akan mampu menjelaskan alam semesta dan apa pun di dalamnya. Itulah sebabnya tiga bahasan utama dalam buku ini (Big Bang, Lubang Hitam, dan Waktu), disarikan “seringan” mungkin agar bisa dicerna oleh orang awam yang alergi terhadap rumus-rumus fisika dan matematika.
Akan tetapi, walaupun sudah diupayakan serenyah mungkin, buku ini tetap sulit dimamah orang kebanyakan. Hawking pun sadar akan hal itu. “Mereka menaruhnya saja di rak atau di meja baca, tanpa berupaya memahaminya. Pokoknya yang penting punya. Tetapi hal semacam itu juga menimpa sebagian besar buku serius yang lain, termasuk buku Shakespeare dan Injil,” katanya serius.
Terlepas dari itu semua, Hawking telah berhasil menularkan kegairahan penemuan fisika teoretis dalam empat warsa terakhir kepada publik luas, terutama sekali diskursus tentang asal-usul semesta, Big Bang, Lubang Hitam, dan jelujur lintasan nalar waktu.
Dengan memakai asas antropik (lemah), Hawking “menjelaskan” bahwa jagat ini berasal dari dentuman besar (Big Bang) yang berlangsung sekitar 10-15 milyar tahun lampau. Dalam Big Bang itu sendiri, ukuran jagat raya terbayangkan berada pada titik nol, sehingga bisa dibayangkan betapa panasnya. Jadi, dalam tatapan teoretis Hawking, alam semesta ini lahir dari waktu yang panas dan mampat. Namun, ketika jagat raya memuai, temperatur radiasi akan berkurang. Satu detik setelah itu, temperatur telah turun pada titik satu milyar derajat. Hanya dalam beberapa jam setelah dentuman, produksi helium terhenti dan sejuta tahun berikutnya tidak banyak yang terjadi dalam jagat raya ini kecuali bahwa pemuaian berlanjut dan temperatur terus mendingin.
Seiring dengan waktu, gas hidrogen dan helium dalam galaksi- galaksi yang awalnya berputar untuk mengimbangi gravitasi terbagi dalam awan-awan yang lebih kecil yang akan runtuh oleh gravitasinya sendiri. Dengan mengerutnya awan ini atom-atom di dalamnya saling bertabrakan dan temperatur gas meningkat. Pada temperatur itulah gas helium diubah menjadi unsur yang lebih berat, semisal karbon atau oksigen.
Seperti cerita dongeng dalam mimpi saja. Tetapi, begitulah prosesi terjadinya asal-usul jagat raya, yang menurut Hawking berisi ketidakaturan lokal. Jadi, semesta ini tidak langsung jadi. Adacadabra. Simsalabim. Tidak. Ada proses. Ada kontraksi-kontraksi. Ledakan-ledakan. Local chaostic dan proses itu terjadi selama milyaran tahun. Hawking menduga bahwa terjadinya ketidakaturan itu disebabkan oleh selisih rapatan yang kecil dari kawasan yang satu ke kawasan yang lain dalam semesta raya dini. Dan ini yang lebih penting. Menurut Hawking bahwa apa pun yang terjadi sebelum singularitas, bukan bagian alam semesta.
Gagasan ilmiah yang kemudian lebih dikenal dengan “teorema singularitas” itu merupakan capaian penting dalam sejarah kosmologi dan mengundang banyak debat. Salah satunya adalah ya itu tadi, datang dari Fred Hoyle. Hoyle sangat gusar dengan teori ini yang karena itu ia menyebutnya teori Big Bang. Jadi, nama Big Bang itu berasal dari Hoyle ini. Ia pertama kali mengatakannya dalam wawancara dengan radio BBC tahun 1950. Katanya waktu itu, “Penciptaan alam semesta secara tiba-tiba itu, ibarat seorang gadis pesta yang mendadak keluar dari kue ulang tahun. Menggelikan sekali. Saya sebut itu Dentuman Besar.”
Fred Hoyle dikenal sebagai pencetus teori “steady state” bersama Hermann Bondi dan Thomas Gold. Menurut teori ini materi secara kontinu diciptakan saat alam semesta mengembang. Galaksi-galaksi bergerak menjauh dan membuat munculnya yang baru di antara galaksi- galaksi itu. Setiap gugus galaksi, setiap bintang, setiap atom mempunyai awal, tetapi alam itu sendiri tidak. Jadi, alam itu tidak mempunyai awal dan akhir.
Dengan setia Hoyle dan Jay Narlikar meneruskan model steady state ini. Tetapi kita tahu pengikut teori ini hanya segelintir orang. Riset yang dilakukan oleh para astronom di Cambridge justru menemukan jenis baru galaksi. Menurut mereka galaksi-galaksi yang sangat jauh mestinya merupakan bagian dari proses alam semesta yang mengembang secara homogen dari keadaan awalnya yang mampat. Setidaknya itu yang dilaporkan Scientific American dalam edisi khusus Oktober 1994. Bahkan, menurut jurnal ini teori dentuman besar ini masih menjanjikan sebagai deskripsi alam semesta yang diterima hingga milenium mendatang.
SELAIN polemik atau sawala dengan Hoyle di atas, yang tak boleh dilupakan adalah sawala Hawking dengan Roger Penrose pada tahun 1994. Bahkan, sawala Hawking-Penrose ini disebut-sebut sebagai sawala terbesar setelah sawala penghulu mereka, Albert Einstein dan Niels Bohr, 80 warsa silam. Keduanya dikenal sebagai fisikawan besar Inggris-bahkan mungkin sejagat saat ini. Spesialis mereka juga boleh dibilang sama, yakni fisika fundamental atau fisika teori fenomenologis. Kalau Hawking adalah Guru Besar Lucasian Matematika Universitas Cambridge-jabatan yang pernah diduduki oleh mahafisikawan Sir Isaac Newton pada abad 17-, maka Penrose adalah Guru Besar Rouse Ball Matematika Universitas Oxford.
Mereka teman akrab, tetapi persahabatan itu tidak menghalangi mereka untuk berbeda pendapat. Sawala ini sendiri pada dasarnya merupakan benturan dua pendapat, yakni antara probobalisme dan determinisme. Anehnya, Hawking yang disebut-sebut merupakan titisan Einstein, justru berada di pihak Bohr-seteru sawala Einstein. Saat itu Einstein menolak kesimpulan bahwa mekanika kuantum sebagai teori final. Ia melihat bahwa mekanika kuantum tidak adekuat secara filosofis. Itulah alasannya ia menentang habis-habisan interpretasi ortodoks Copenhagen tentang mekanika kuantum yang dipresentasikan Bohr.
Akan tetapi, isu yang dibahas Penrose dan Hawking jauh lebih kompleks dan luas. Ini diperlihatkan oleh poin-poin filosofis dan argumen teknis matematis yang mereka sajikan. Misalnya, pertanyaan tentang mengapa alam semesta berlangsung seperti yang diprediksi Einstein, seolah-olah tak memiliki efek kuantum? Juga, proses kuantum aneh macam apa yang mengakibatkan lubang hitam mengalami penguapan, dan apa yang terjadi dengan semua informasi yang di-“telan”-nya?
Seperti dicatat Salomo Simanungkalit (Kompas, 27/08/ 1996), sawala itu berlangsung selama enam bulan di Institut Sains Matematika Isaac Newton Universitas Cambridge. Hawking memulainya dengan membawakan topik Teori Klasik, disusul Penrose dengan Struktur Singularitas Ruang-waktu, lalu berturut-turut Lubang Hitam Kuantum (Hawking), Teori Kuantum dan Ruang-waktu (Penrose), Kosmologi Kuantum (Hawking), dan terakhir The Twistor View of Spacetime (Penrose).
Kini, hasil sawala itu probobalisme versus determinisme-dibukukan oleh penerbit Princeton Amerika Serikat dengan judul: The Nature of Space and Time. Tetapi jangan gembira dulu, buku ini tidak “serenyah” A Brief History of Time. Buku setebal 149 halaman ini sangat tidak bersahabat dan sarat dengan argumen matematika tingkat tinggi.
Seperti pernah diulas fisikawan Liek Wilardjo (1996), determinisme adalah doktrin bahwa semesta ditentukan sepenuhnya oleh hukum semesta. Karena itu, asalkan hukum semesta diketahui dan semua syarat awal dan syarat batas yang bersangkutan dengan suatu peristiwa juga diketahui, maka perilaku sistem yang berperan dalam peristiwa itu dapat diramalkan dengan tepat untuk masa depan. Sebagaimana Einstein, Penrose meyakini determinisme ini, setidaknya dalam ranah alam nirnyawa (inanimate world) yang dikuasai hukum-hukum fisika.
Argumen ini bersandar pada logika bahwa bila determinisme tidak berlaku, mustahil orang dapat meramalkan dengan tepat kapan akan terjadi gerhana dan kapan komet Halley akan menghampiri bumi.
Akan tetapi, Hawking, sebagaimana Bohr, menolak determinisme, setidaknya dalam ranah yang dikuasai mekanika kuantum, yakni jagat renik (the microworld). Menurut mekanika kuantum, kepastian tidak mungkin dicapai. Keadaan suatu sistem dilukiskan oleh fungsi gelombang, dan kuadrat besarnya amplitudo fungsi gelombang itu merupakan ukuran probobalitas untuk menemukan sistem atau entitas yang bersangkutan pada koordinat ruang-waktu tertentu. Sifat probobalistik ini juga punya korelasi dengan asas ketidakpastian yang pernah dilontarkan Werner Heisenberg.
Pengetahuan kita tentang sebutir elektron, misalnya, baru pasti bila baik kedudukan elektron itu maupun momentumnya diketahui dengan pasti. Tetapi menurut Heisenberg hasil kali ketakpastian (dalam) posisi dengan ketakpastian (dalam) momentum itu tidak mungkin kurang dari nilai anta (finite) tertentu sebesar tetapan Max Planck yang 6,6 10-34 joule detik. Usaha untuk mengurangi ketakpastian dalam posisi harus dibayar dengan peningkatan ketakpastian dalam momentum. Ketakpastian nol, atau probobalistik 100 persen, tak mungkin tercapai. Asas Heisenberg ini pula yang menafikan keberadaan elektron dalam inti atom.
SAWALA itu membawa pesan yang mendalam, bahwa teori sains memang hanyalah sekadar sebuah model jagat raya, yang tidak lepas dari kesalahan. Dan memang teori bukan Kebenaran. Bukan kata putus terakhir. Seperti halnya perahu kertas dalam puisi Sapardi Djoko Darmono, sebagaimana disitir Nirwan Arsuka (2001); untuk tahu apakah perahu itu mengapung, ia harus diuji di atas air. Jika tenggelam, kita bikin perahu yang lain. Rumit memang. Tetapi itulah tugas kita, kata Hawking, adalah bagaimana secara terus-menerus mengungkap bintik-bintik rahasia tirai gaib semesta sehingga kita bisa menghasilkan sebuah teori terpadu, Theory of Everything. Kalau nantinya teori itu ditemukan, lanjut Hawking, teori itu harus dapat dipahami, minimal garis besarnya, oleh semua orang di luar kelompok ilmuwan.
“If we find the answer to that, it would be the ultimate triumph of human reason-for there we would truly know the mind of God,” tulis Hawking di paragraf penutup bukunya yang berpotensi sebagai buku kosmologi klasik: A Brief History of Time.
MUHIDIN M DAHLAN Mantan Mahasiswa Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Editor Buku
Sumber: Kompas, edisi Senin 16 September 2002 Halaman: 41