Kebijakan biodiesel menjadi salah satu strategi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil. Produk yang akan masif digunakan ini perlu dipastikan keberlanjutannya.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU—Salah satu bagian instalasi pembuatan biodiesel di Laboratorium Biodiesel dan Proses Katalitik, Puslitbangtek Lemigas, Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (6/3/2020). Pada 2018, laboratorium ini pernah menguji coba pembuatan biodiesel berbahan baku 5.000 liter jelantah. Namun, penelitian tidak berlanjut karena kesulitan mendapatkan bahan baku.
Program bahan bakar nabati biodiesel dinilai sebagai sebuah kebijakan yang positif untuk mencapai energi terbarukan sekaligus mengurangi emisi. Namun, perlu dipastikan bahwa semua aspek dalam kebijakan ini harus berlandaskan asas berkelanjutan dan transparansi terkait sertifikasi petani ataupun lahan sawit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Bisuk Abraham, mengemukakan, program biodiesel bukan merupakan program baru Indonesia karena telah diinisiasi sejak 2005. Program ini kemudian mulai meningkat secara progresif sejak 2014 hingga mencapai B30 atau campuran biodiesel berbasis 30 persen kelapa sawit.
”Sebenarnya ini sudah menjadi komitmen pemerintah, bahkan menjadi PSN (proyek strategis nasional). Sebab, dalam rencana strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah dicantumkan berapa kiloliter biodiesel berbasis kelapa sawit akan diproduksi hingga 2024,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Biodiesel30: Progress dan Tantangan di Hulu”, Rabu (5/5/2021).
Terkait dengan dampak biodiesel terhadap lingkungan, kata Bisuk, beberapa kajian menunjukkan bahwa tingkat emisi yang dihasilkan memang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan emisi dari energi fosil. Namun, hal yang masih menjadi perhatian sejumlah pihak, khususnya negara Uni Eropa, ialah keterkaitan sumber biodiesel dengan kegiatan yang mengakuisisi lahan dengan tingkat karbon tinggi.
Menurut Bisuk, catatan tersebut yang menjadi dasar ditetapkannnya sertifikasi sawit Indonesia berkelanjutan (ISPO). Dengan adanya sertifikasi ISPO, semua pihak seharusnya bisa menjamin semua kegiatan sawit dari hilir hingga hulu menganut asas berkelanjutan.
Meski demikian, ia memandang tetap perlu sistem yang mendorong transparansi terkait dengan jumlah petani ataupun lahan yang telah tersertifikasi sampai saat ini. Sebab, selama ini transparansi data tersebut belum dapat diakses dengan mudah oleh publik.
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Agam Fatchurrochman mengatakan, sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak diatur dan disertifikasi di seluruh dunia. Hal-hal yang diatur dan disertifikasi ini dimulai dari kegiatan perkebunan hingga produk yang dihasilkan atau diolah.
”Skema keberlanjutan di sawit bisa dinilai yang paling lengkap karena mengandung unsur people, planet, dan profit. People, misalnya, terkait dengan ketenagakerjaan dan penghormatan terhadap masyarakat lokal. Planet terkait dengan biodiversity atau penggunaan air dan profit, misalnya keuntungan untuk komunitas masyarakat,” katanya.
Agam menegaskan, baik ISPO maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga mengatur tentang kegiatan sawit tanpa eksploitasi dengan cara yang berbeda. Sertifikasi penggunaan lahan untuk sawit di ISPO harus menggunakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sementara RSPO menetapkan aturan yang lebih kompleks dibandingkan dengan ISPO, seperti penilaian konservasi tinggi hingga peta tanah dari masyarakat.
”Meski beberapa aspek berbeda, kedua sertifikasi ini sama-sama mengatur ketentuan tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan tanpa eksploitasi. Jadi, prinsip dan kriteria ISPO maupun RSPO secara umum hampir sama dan yang membedakan hanya pendekatannya,” ucapnya.
Asisten Deputi Agribisnis Perkebunan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mochammad Edy Yusuf mengatakan, dari data terbaru, sebanyak 60-65 persen pelaku usaha yang tergabung dalam Gapki telah mendapat sertifikasi ISPO. Pemerintah juga memberikan fasilitas sertifikasi ISPO bagi para pekebun skala kecil.
”Lembaga sertifikasi yang saat ini baru berjumlah 15 benar-benar didorong untuk melaksanakan sertifikasi lebih bagus. Pemerintah menyadari bahwa sawit saat ini merupakan penopang ekonomi tertinggi di luar minyak dan gas. Sertifikasi ini juga lebih transparan,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 6 Mei 2021