Perhitungkan Suhu, Serapan Karbon di Laut Jauh Lebih Tinggi

- Editor

Rabu, 9 September 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pantai Tarimbang di Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (25/4/2019).  Hamparan pasir putihnya yang luas dan halus dengan kombinasi warna air laut yang biru menjadi perpaduan yang menawan. Pantai Tarimbang terlihat seperti teluk yang diapit oleh dua buah tebing dan  dikelilingi oleh perbukitan hijau. 

Kompas/AGUS SUSANTO 
25-5-2019

FOTO CERITA KOMPAS.ID
Pasir Putih Pantai Tarimbang

Pantai Tarimbang di Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (25/4/2019). Hamparan pasir putihnya yang luas dan halus dengan kombinasi warna air laut yang biru menjadi perpaduan yang menawan. Pantai Tarimbang terlihat seperti teluk yang diapit oleh dua buah tebing dan dikelilingi oleh perbukitan hijau. Kompas/AGUS SUSANTO 25-5-2019 FOTO CERITA KOMPAS.ID Pasir Putih Pantai Tarimbang

Dengan memasukkan faktor perbedaan suhu dan kedalaman, para peneliti menunjukkan laut memiliki kemampuan sebagai penyerap karbon yang jauh lebih besar dari model perhitungan sebelumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/AGUS SUSANTO—Pantai Tarimbang di Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (25/4/2019). Hamparan pasir putihnya yang luas dan halus dengan kombinasi warna air laut yang biru menjadi perpaduan yang menawan. Pantai Tarimbang terlihat seperti teluk yang diapit oleh dua buah tebing dan dikelilingi oleh perbukitan hijau.

Luas lautan yang lebih besar dari daratan telah dikenal memiliki kemampuan menyerap karbon. Penelitian terbaru yang memperhitungkan perbedaan suhu di lapisan air menunjukkan kemampuan menyerap karbon tersebut jauh lebih tinggi daripada kebanyakan model-model ilmiah sebelumnya.

Temuan ini kian menempatkan arti penting lautan dalam konteks perubahan iklim. Volume karbon yang dihasilkan dari kegiatan manusia pascarevolusi industri telah membebani atmosfer karena menimbulkan efek gas rumah kaca. Artinya, panas pada tubuh bumi dari sinar matahari sulit dikeluarkan dan menjadikan bumi kian hangat.

Pergerakan karbon atau fluks antara atmosfer dan lautan yang memperhitungkan perbedaan suhu di permukaan air dan kedalman ini dipimpin University of Exeter di Inggris. Mereka menemukan fluks bersih atau netto karbon yang jauh lebih tinggi ke lautan.

Para peneliti menghitung fluks senyawa karbon dioksida dari tahun 1992 hingga 2019. Hasilnya, fluks bersih sebanyak dua kali lebih banyak pada waktu dan lokasi tertentu dibandingkan dengan model yang tak memperhitungkan suhu.

”Separuh dari karbon dioksida yang kita keluarkan tidak tinggal di atmosfer, tetapi diserap oleh lautan dan ’penyerap’ vegetasi darat,” kata Profesor Andrew Watson, dari Exeter’s Global Systems Institute pada Science Daily, 4 September 2020.

Para peneliti mengumpulkan database besar pengukuran karbon dioksida di dekat permukaan atau surface ocean carbon atlas (http://www.socat.info)—yang dapat digunakan untuk menghitung fluks CO2 dari atmosfer ke laut. Mereka memasukkan faktor suhu dan kedalaman dalam perhitungannya.

Perhitungan ini karena memasukkan hukum terkait gas, seperti Hukum Henry yang menyatakan volume dari massa gas yang diberikan, pada tekanan konstan, akan berbanding lurus dengan suhu. Intinya, kelarutan karbon dioksida sangat bergantung pada suhu dan kedalaman.

”Kami menggunakan data satelit untuk mengoreksi perbedaan suhu ini dan saat kami melakukannya, hal itu membuat perbedaan besar. Kami mendapatkan aliran yang jauh lebih besar ke laut. Perbedaan serapan laut yang kami hitung berjumlah sekitar 10 persen dari emisi bahan bakar fosil global,” katanya.

Jamie Shutler, dari Pusat Geografi dan Ilmu Lingkungan di Kampus Penryn Exeter di Cornwall, menambahkan: ”Perkiraan kami yang direvisi setuju jauh lebih baik daripada sebelumnya dengan metode independen untuk menghitung berapa banyak karbon dioksida yang diambil oleh laut.

Metode itu menggunakan survei laut global oleh kapal penelitian selama beberapa dekade, untuk menghitung bagaimana inventaris karbon di laut meningkat. Kedua perkiraan ”data besar” dari ”tenggelamnya” CO2 pada lautan sekarang telah mendekati ideal.

Di Indonesia yang memiliki luas wilayah laut sangat besar menjadikan potensi laut sebagai penyerap karbon ini sebagai peluang karbon biru (blue carbon) dalam berbagai diplomasi perubahan iklim. Selama ini, negosiasi perubahan iklim hanya berfokus pada serapan alami karbon dari hutan di daratan.

Pada perhitungan yang resmi diumumkan pemerintah pada tahun 2014, ekosistem pesisir dan lautan Indonesia memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyerapan karbon, diperkirakan hingga 138 juta ton/tahun. Apabila memasukkan faktor suhu dan kedalaman seperti penelitian terbaru di atas, jumlah serapan ini tentunya bisa jauh lebih tinggi.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 8 September 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama
Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an
AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah
Ancaman AI untuk Peradaban Manusia
Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial
Menilik Pengaruh Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan
Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 16 Februari 2025 - 09:06 WIB

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:57 WIB

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:52 WIB

Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:48 WIB

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:41 WIB

Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial

Berita Terbaru

Profil Ilmuwan

Mengenal Achmad Baiquni, Ahli Nuklir Pertama Indonesia Kelahiran Solo

Selasa, 29 Apr 2025 - 12:44 WIB

Berita

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:57 WIB

Berita

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:48 WIB