Banyak ilmuwan berharap ada upaya memoles etos pendidikan yang membangun aspek penalaran, membidani daya pikir kritis, dan menyatukan keilmuan eksakta dengan keilmuan sosio-kemasyarakatan.
Tahun 2045, tatkala kita memperingati 100 tahun NKRI, tampaknya masih jauh. Akan tetapi, dipandang dari sisi pembelajaran bangsa, sebenarnya momen itu ibarat tonggak di pengkolan jalan. Artinya, tidak jauh.
Ancang-ancang pendidikan sudah harus dimulai dari sekarang. Mas Menteri P dan K yang hendak membawa Indonesia secara terhormat ke dalam arus kemajuan bangsa dunia tampaknya telah berhasil menancapkan bendera sains, lambaian teknologi, memenangi pergulatan Darwinian pengajaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara antisipatif, ia menandai pergeseran paradigma pendidikan pada paruh kedua abad ke-21 dengan sidik ”tekno sains”. Tindak tekno sains ini agar ilmu pengetahuan dan teknologi, walau menjadi penunjang penting kemaslahatan massa, tak berdiri sendiri, tetapi berdamping maju bersama ilmu sosial dan humaniora. Karena desakan keperluan dan keharusan pekerja sains, yang diwakili secara terhormat oleh para guru dalam berbagai aras, harus menyerahkan hasilnya kepada masyarakat yang dambaan kesejahteraannya meningkat.
Ikhtiar mengusung anak bangsa yang ingin ikut membangun watak abad ke-21 itu harus diumpan dengan kecerdasan dan nalar ingin tahu melalui proses ajar-mengajar yang dialogis dua arah. Iwan Pranoto dalam tulisannya di Kompas sering mengemukakan upaya menumbuhkan cinta, sampai akal dan hati anak didik tertumbuhi rasa-adi kasmaran, meraup ilmu guna kemaslahatan bangsa.
Almarhum Dr Daoed Joesoef sering minta agar memberikan bobot jiwa keilmuan dengan penalaran kritis dan steril-dogma, mewarnai olah pikir yang diperlukan untuk tujuan itu.
Banyak ilmuwan berharap ada upaya memoles etos pendidikan yang membangun aspek penalaran, membidani daya pikir kritis, dan menyatukan keilmuan eksakta dengan keilmuan sosio-kemasyarakatan. Bukan jalur tunggal disiplin , melainkan adonan dasar disiplin ilmu pengetahuan yang bertali temali. Hal ini perlu untuk membangun persepsi utuh mekanisme keilmuan, yang walau keluarannya tampak tunggal, berakar jamak.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan sains dan teknologi berlabel pendidikan pemerdekaan (sebagai padanan ”liberal”), salah satu sarana mengajarkan sains agar lulusan suatu proses pendidikan tidak cepat merasa tahu semua peristiwa dengan hanya menguasai satu disiplin.
Tentu saja usaha itu tidak boleh dipandang mengerdilkan kemampuan membentuk spesialis, tetapi bertujuan memijah warga muda menjiwai cara pandang luas. Langkah itu diperlukan untuk menembus kabut gelap yang sering menyelimuti aras pendidikan, dengan adagium peserta didik berbekal budaya nalar merengkuh beberapa cabang keilmuan ke dalam wilayah kognitif diri.
Peran perguruan tinggi
Perguruan tinggi memegang peran penting dalam mengonstruksi modal kultural dan sosial ke dalam arus kemajuan sains dan teknologi. Secara operasional , anak didik tidak lagi hanya obyek, tetapi dirangkul sebagai sosok intelektual, yang berwawasan luas dan terbuka.
Suntikan semangat kepada mereka adalah kemampuan untuk memilih asas mutatis mutandis atau, secara sederhana, adaptif bagi dirinya. Kegunaan wawasan itu dalam pendidikan sains pemerdekaan (liberal), tak dapat ditangguhkan agar pendidikan dapat segera mempersembahkan generasi muda yang berkemauan meneliti, menanya, menyelidik, dan mengukur.
Kewajiban pendidik adalah membuat sosok intelektual itu jauh dari tipe ahistorikal terhadap perkembangan masyarakatnya yang jamak. Dalam suasana seperti sekarang, ketika orang harus belajar mandiri, hal tersebut perlu kita anjurkan.
Landas tujuan adalah keindonesiaan karena pendidikan itu untuk manusia Indonesia yang akan membangun Indonesia. Prakarsa ini adalah suatu pernyataan kesediaan. Peserta didik membawa bekal multikultural berbobot nilai luhur agama, watak etnik, gelegar bahasa ibu dan budi bahasa daerah.
Karena itu , proses pendidikan adalah olahan luhur yang memeluk kesediaan semua pihak untuk menjiwainya. Tujuan membentuk manusia pembaru dengan produk yang memiliki keunggulan nalar, lebih dari kekuatan biseps; terlatih berbahasa sopan dan rasional dalam berargumen.
Anak didik tahun 2020 menghadapi beragam profil masyarakat. Pertama, masyarakat sadar lingkungan yang paham keluruhan sumber daya alam tak terbarukan.
Kedua, masyarakat yang sadar akan hak asasi dan kewajiban dasar manusiawi. Ketiga, perubahan nilai dan pandangan filosofis kemasyarakatan akibat rembesan kebudayaan dari luar, masuk ke dalam budaya diri.
Pendidikan sains pemerdekaan tidak lupa mengisi kemampuan berbahasa sebagai sarana komunikasi antarmanusia, antarwarga, antarbangsa. Penekanan kemampuan berkomunikasi, bukan hanya sekadar berbicara.
Bahasa pemersatu
Kita bersyukur memiliki lingua franca, bahasa Indonesia. Bahasa selain perekat elemen kebangsaan juga mampu menyampaikan pesan kejiwaan dan spiritual yang adil. Orang bijak menyatakan, ”Language is the incarnation of the mentality of the race which fashioned it. Every phrase and every word embodies some habitual idea of men and women as they ploughed their fields, tended their homes and built their cities.”
Penguasaan bahasa tulis ataupun tutur akan membebaskan masyarakat dari ulah kekerasan fisik dan provokasi yang tidak perlu. Menguasai bahasa dengan baik diharapkan dapat menyampaikan buah pikiran, induktif ataupun deduktif, untuk beradu pendapat. Runtut mengetengahkan dan menilai pembuktian, mengenali urutan logis peristiwa yang teramati, menarik kesimpulan dari dialog yang didengar ataupun dari dokumen yang dibacanya.
Pengajaran bahasa bertujuan menjadikan peserta didik mengenali kebutuhan sosial dan permasalahan negara secara dewasa, menyatukan atau membandingkan dengan kebutuhan pribadi, ikut mematangkan intelektualitas dan menjadi pisau bedah diagnostik untuk memahami teks dari konteks.
Skema Pendidikan Nasional yang disusun Kemendikbud patut dibakukan, yakni Indonesia yang berkultur jamak. Penalaran, berpikir logis, tidak dogmatik, perlu diobori untuk menerangi jalan pembentukan manusia berkarakter mandiri, menanggalkan ke-aku-an dan bertransformasi menjadi ke-kita-an. Pemilahan baik dan jelek bukan oleh kekuasaan, melainkan oleh kepekaan dan kejernihan nalar pikir masyarakat.
Bambang Hidayat, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sumber: Kompas, 8 September 2020