Profesor Diperpanjang

- Editor

Selasa, 28 Mei 1996

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DIPERPANJANG dalam judul tulisan ini tentu bukan diperpanjang umurnya, atau apanya, tetapi itu lho diperpanjang jabatannya dari pensiun umur 65 tahun menjadi 70 tahun. Saya sudah bayangkan tulisan macam ini akan menimbulkan kedongkolan bagi sementara profesor, tetapi mudah-mudahan tidak, karena kepala dingin kan sudah menjadi kewajiban seorang profesor. Kalau ndak kan botaknya makin menjadi-jadi.

Saya tulis naskah ini atas dorongan rasa risi terhadap proses rasionalisasi waktu ini di mana-mana, baik di kalangan swasta, BUMN maupun di kalangan pemerintah. Apalagi kalau diingat betapa kedodorannya keuangan negara saat ini. Banyak yang justru dipensiun dini, dan yang lebih tragis yang menjadi penganggur. Kok profesor yang telah mencapai prestasi kerja, apa itu yang berupa publikasi (?), penelitian (?), pembimbingan mahasiswa doktor (?), orasi ilmiah (?), apalagi yang telah berhasil menulis buku (?), masih diperpanjang dinasnya sampai lima tahun lagi sesudah mengemban tugas selama puluhan tahun sampai berumur 65 tahun.

Alasan diperpanjang masa dinasnya oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara TB Silalahi waktu itu yang saya dengar ialah karena jabatannya masih dibutuhkan. Profesor yang berusia 65 tahun masih seger-seger, dan diharapkan masih bisa bekerja produktif selama lima tahun ekstra lagi. Persyaratannya juga cukup selektif, supaya profesor itu lebih bisa tekun kembali ke kampusnya (baca: laboratoriumnya), bisa melaksanakan kaderisasi, menulis buku, publikasi, dan memiliki rencana pengembangan ilmunya selama lima tahun itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ada kata-kata lagi yang saya dengar supaya profesor yang “biasa di luar” bisa lalu kembali ke kampus duduk di mejanya dan konsentrasi pada pekerjaan pengembangan ilmunya. Ini aneh juga kedengarannya. Bahkan yang saya lihat orang-orang yang selama hidupnya tidak pernah dalam kampus sebagai dosen berebut-rebut untuk mendapatkan doktor honoris causa, dan jabatan profesor. Itikadnya tentu supaya bisa dinas sampai umur 70 tahun.

Sesudah berjalan lima tahun peraturan itu, cobalah dipelajari apakah peraturan itu benar-benar masih relevan dengan keadaan keuangan negara yang sangat “mepet-peeet” ini. Lalu coba dibikin angket supaya diisi oleh profesor yang diperpanjang itu apa sih hasilnya selama perpanjangan gaji dan tunjangan fungsional lima tahun itu. Kalau Depdiknas punya konstelasi Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang begitu gigih menilai program studi di PT-PT negeri dan swasta, sekali-sekali menengok juga produktivitas profesor yang diperpanjang itu.

Tentu ada profesor yang memang hebat, baik capaian ilmiahnya yang berwujud publikasi untuk dalam negeri maupun luar negeri, dan juga banyak yang dirujuk oleh kalangan ilmiah di bidangnya. Orang macam begini kalau juga berhasil dalam kaderisasi, berhasil dalam pengabdian kepada masyarakat, akseptabel bagi kalangan kolega-koleganya layaklah untuk dikasih kesempatan lima tahun lagi berkarya dalam keilmuannya di kampus. Apa kebanyakan profesor yang diperpanjang itu kualifikasinya seperti itu?

Konon kabarnya, yang sudah jelas-jelas berpenyakit kronis juga diberi kesempatan. Juga yang katanya kasian karena ekonomi keluarganya kurang. Konon lagi karena profesor itu paling rajin datang ke kampus. Lama-lama peraturan itu pelaksanaannya tidak selektif lagi. Padahal kalau profesor itu pensiun sampai 65 tahun, lalu kesehatannya masih prima, mungkin akan lebih produktif sekiranya tenaganya bisa untuk membantu perkembangan universitas-universitas di daerah-daerah, yang selama ini signifikan kurang kemajuannya dibandingkan universitas yang punya kualifikasi nasional itu.

Universitas-universitas swasta di daerah juga tidak segan-segan memberi honor sepadan dengan apa yang akan dia dapati kalau tidak pensiun. Biasanya (tidak semua, lhooo) mereka yang telah mencapai umur 65 tahun itu sudah ketinggalan zaman dibanding dengan dosen-dosen muda, apalagi yang baru pulang dari studi di luar negeri meraih gelar PhD. Tentunya bukan PhD kodenan dari pembelian beberapa juta dollar itu.

Kalau hasil pengamatan (yang tentunya obyektif) menunjukkan profesor itu pada umumnya bisa berkelanjutan produktif hingga berumur 70 tahun, tetapkan saja batas pensiun profesor itu 70 tahun, tidak perlu perpanjangan segala. Tidak perlu ada seleksi segala. Kan sekarang katanya pedomannya “kok gitu saja repot-repot”. Jadi enak bagi semuanya. Juga bagi yang muda-muda bisa ngatur target lebih jelas, mau kredit mobil, rumah, segalanya kan bisa diprogramkan lebih mantap. Jadi kalau sesudah 65 tahun mau ngrangkap jabatan rektor di tempat lain yang honornya bejibun, bisa leluasa. Tidak seperti sekarang, diperpanjang segala, lalu dirasanin orang. Mudah-mudahan tulisan ini tidak dianggap jail, yah. Katanya dalam suasana krisis ini orang didorong untuk kasih rembuk masukan. Anggap ini masukan. Kalau sedikit nyinggung-nyinggung sana sini, ampuni sajalah.

* Sjamsoe’oed Sadjad, guru besar IPB Bogor, Jawa Barat.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB