Daerah di Jawa Tengah, terutama sepanjang pelintasan jalur pantai utara, rawan terjadi penularan Covid-19. Daerah tersebut diapit Jawa Timur dan Jakarta yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai zona merah.
Jawa Tengah dikhawatirkan menjadi zona merah penularan Covid-19 berikutnya setelah ledakan kasus dan kematian Jawa Timur. Jalur transportasi di pantai utara Pulau Jawa menjadi titik masuk penularan virus ke wilayah lain di Jawa Tengah.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, Jawa Tengah menempati urutan ketiga penambahan kasus terbanyak pada Rabu (8/7/2020) dengan 205 kasus baru. Urutan pertama adalah Jawa Timur yang memiliki 366 kasus baru, disusul DKI Jakarta dengan 357 kasus baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Total kasus di Jawa Tengah saat ini 4.878 dan total korban jiwa 225 orang. Namun, menurut data Laporcovid19.org, yang dikumpulkan dari laporan kabupaten/kota di provinsi ini, jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) di Jawa Tengah yang meninggal 825 orang, sementara orang dalam pemantauan (ODP) 41 orang.
”Melihat perkembangan kasus Covid-19 di Jawa Tengah memang mengkhawatirkan. Bisa jadi seperti Jawa Timur saat ini, padahal fasilitas layanan kesehatan lebih lemah,” kata Joko Mulyanto, epidemiolog dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, saat dihubungi, Rabu (8/7/2020).
Kerentanan di Jawa Tengah ini, menurut dia, terutama di sepanjang pelintasan jalur pantai utara, terutama Semarang Raya, meliputi Semarang, Demak, dan Kendal. ”Kita diapit Jawa Timur dan Jakarta yang sudah lebih dulu merah. Tanpa adanya pembatasan mobilitas antarwilayah, memang hanya soal waktu Jawa Tengah meledak, padahal masyarakat sekarang telanjur seperti normal aktivitasnya,” ujarnya.
Joko juga mengkhawatirkan minimnya kemampuan pemeriksaan Covid-19 di Jawa Tengah dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa. ”Jawa Tengah terlambat menyiapkan tes. Seperti di Kabupaten Banyumas saat ini baru disiapkan untuk tes massal dan sebagian besar sampel masih dikirim ke Yogyakarta. Lama pemeriksaan hingga diumumkan masih seminggu. Daerah-daerah, selain Semarang, kemungkinan juga sama,” katanya.
Data yang dikompilasi dari Litbang Kementerian Kesehatan, hasil uji PCR dari 30 Juni sampai 6 Juli (satu minggu) di Jawa Tengah baru 184 per 1 juta penduduk. Sedangkan Jawa Barat 228 per 1 juta penduduk, Jawa Timur 309 per 1 juta penduduk, Banten 320 per 1 juta penduduk, dan DKI Jakarta 3.659 per 1 juta penduduk.
”Gubernur Jateng baru menginstruksikan tes minimal 5.000 per 1 juta penduduk di setiap kabupaten, tapi belum ada yang memenuhi,” katanya.
Sesuai dengan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), syarat minimal jumlah tes di suatu daerah adalah 1.000 per 1 juta penduduk per minggu. Sejauh ini baru Jakarta yang telah memenuhi syarat minimal ini.
”Dengan masih minimnya tes, gambaran sesungguhnya penyebaran Covid-19 di Jawa Tengah memang sulit dipastikan. Namun, kalau lihat positivity rate Semarang Raya sampai 15 persen, ini sinyal bahaya. Satu sisi ini menunjukkan jumlah tes yang minim, tetapi bisa juga karena kasusnya memang sangat besar,” katanya.
Joko mengatakan, upaya tracing (pelacakan kontak) juga masih kurang, ditandai munculnya kasus-kasus sporadis di sejumlah daerah di Jawa Tengah. ”Banyak kasus ditemukan bukan karena dilacak dan dilakukan tes massal, tetapi karena mau masuk kerja lagi,” ujarnya.
Besarnya kesenjangan antara kapasitas tes dan kasus yang terjadi, menurut Joko, juga bisa dilihat dari banyaknya orang dengan status ODP dan PDP yang meninggal di Jawa Tengah dibandingkan yang meninggal dengan status positif Covid-19. ”Ini menandai ada keterlambatan pemeriksaan atau pelacakan sehingga pasien terlambat ditangani,” ucapnya.
Menurut Joko, jika kemampuan tes dan pelacakan tidak bisa ditingkatkan dalam waktu segera, mobilitas antarkabupaten/kota harus dibatasi. ”Kasus sporadis yang muncul hampir selalu karena kasus impor atau dari orang dengan riwayat bepergian dari zona merah. Karena itu, pembatasan mobilitas harus dilakukan,” katanya.
Perpanjang pembatasan
Epidemiolog dari Laporcovid19.org, Iqbal Elyazar, mengatakan, dengan tren peningkatan kasus di daerah, termasuk di Jawa Tengah, pemerintah daerah sebaiknya memulai atau memperpanjang pembatasan sosial berskala besar (PSBB). ”Pembatasan mobilitas perlu dilakukan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan,” katanya.
Selain itu, pemerintah daerah juga harus bisa memaksimalkan pemakaian masker di luar rumah dan untuk itu perlu ada sanksi sosial bagi pelanggar. ”Pemakaian masker adalah tindakan bela negara dan manfaat untuk melindungi anggota komunitas yang lain,” ujarnya.
Hal lain yang juga wajib dilakukan adalah mempercepat dan perbanyak pelacakan kontak serta pemeriksaan PCR. Mereka yang telah diketahui positif harus segera diisolasi, termasuk juga isolasi orang-orang yang memiliki riwayat kontaknya. ”Ajarkan isolasi diri yang benar di rumah tangga supaya tidak terjadi transmisi di dalam rumah sehingga menimbulkan penularan dan kematian satu keluarga, seperti terjadi di Surabaya,” katanya.
Iqbal juga menekankan agar pemerintah menjelaskan data dan situasi yang sesungguhnya. Sebab, hal ini merupakan kunci mengatasi pandemi.
Oleh AHMAD ARIF
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 9 Juli 2020