Ada 525 desa di Indonesia yang mengembangkan program restorasi gambut di wilayah masing-masing. Mereka perlu diperkuat seiring berakhirnya masa tugas Badan Restorasi Gambut pada akhir 2020.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN—Petani mengecek tanaman jahe merah di atas gambut di Desa Mandala Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Rabu (11/3/2020). Para petani terus mendorong petani menerapkan pertanian tanpa membakar lahan.
Program Desa Peduli Gambut diharapkan bisa terus berlanjut dengan ada atau tiadanya Badan Restorasi Gambut yang selesai bertugas pada akhir tahun 2020. Restorasi gambut dengan mengedepankan partisipasi masyarakat serta memberikan alternatif pertanian tanpa bakar, bisa menjadi mitigasi untuk menahan laju kerusakan gambut dan mencegah kebakaran sejak dini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga April 2020, ada 525 desa yang yang diinisiasi Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memasukkan kerja-kerja restorasi dalam perencanaan desa dan menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Dari jumlah itu, terdapat 143 desa yang mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) untuk keberlanjutan program tersebut, dengan nilai total Rp 16,13 miliar.
“Kami sadar DPG (Desa Peduli Gambut) harus berlanjut, baik ada atau tidak ada BRG. Sejak awal DPG disinergikan dengan perencanaan pembangunan desa,” kata Myrna Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, Jumat (5/6/2020), dalam diskusi daring BRG bersama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LPPSP FISIP UI).
BADAN RESTORASI GAMBUT—Presentasi yang ditampilkan Muhammad Yusuf dari Badan Restorasi Gambut saat diskusi daring, Jumat (5/6/2020) menampilkan sejumlah 143 desa yang menganggarkan restorasi gambut dalam APBDes.
Myrna menjadi pembicara kunci bersama Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarief. Hadir juga pembicara lain, Muhammad Yusuf (BRG), Laksmi A Savitri (FIAN Indonesia), Muki T Wicaksono (Kemitraan), Sofyan Ansori (Northwestern University), serta penanggap Semiarto Aji Purwanto (Departemen Antropologi UI) dan Rhino Ariefiansyah (LPPSP FISIP UI).
Menurut Myrna, sejak dikembangkan DPG, banyak program kementerian, organisasi masyarakat sipil, dan perusahaan yang juga bergerak di tingkat desa. Ada sejumlah program terkait, seperti Desa Sadar Hukum, Desa Tangguh Bencana, dan Desa Peduli Api.
Setelah memetakan dan menjumpai masyarakat dan pemerintahan desa, BRG berupaya memberikan program yang belum ada dan dipadukan dengan program lain. “Penting bagi kami untuk mendudukkan program itu bersama-sama dan tidak peduli nama (program desa), sepanjang strategi dan pendekatan sama,” katanya.
Menghubungkan desa
BRG menghubungkan sejumlah desa dalam satu lansekap Kesatuan Hidrologis Gambut. Langkah ini telah memiliki dasar regulasi seperti UU Desa dan UU Tata Ruang. Kawasan pedesaan tersebut bergerak di bidang ekonomi maupun restorasi gambut. Sekarang, ada 14 kawasan yang dibangun Sumatera dan Kalimatan dengan 70 desa.
Pada areal kerja restorasi gambut yang menjadi pekerjaan rumah BRG seluas 2,6 juta ha, terdapat 1.205 desa dan kelurahan. Seluas 950 ribu wilayah target restorasi tersebut berada dalam administrasi desa. Sebanyak 250 ribu hektar di antaranya tumpang tindih dengan areal konsesi kehutanan dan perkebunan.
Myrna berharap, program DPG bisa berperan mewujudkan Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG). RPJMN 2020-2024 menyebutkan pembentukan DMPG pada 375 desa di 7 provinsi proritas restorasi gambut dan 300 desa di 12 provinsi nonprioritas restoarsi gambut selama lima tahun. “DMPG harus berkontribusi pada indeks desa membangun, paling tidak indeks ketahanan lingkungan. Konsep DPMG harus terhubung dengan konsep desa mandiri,” kata dia.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN (ITA) 20-09-2019—Aktivitas para pembalak liar terindikasi menyebabkan kebakaran hutan lindung gambut Sungai Buluh yang dikelola masyarakat di Desa Sinarwajo, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Kamis (19/9/2019). Penegakan hukum mendesak dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Pemetaaan
Muki Wicaksono dari Kemitraan menceritakan pendampingan 109 DPG di seluruh Indonesia seluas 1.34 juta ha. Studi pemetaan saat mengintervensi sangat penting untuk memetakan potensi dan permasalahan sosial, ekonomi, hingga tenurial. Pemetaan bersama masyarakat ini penting agar membuat warga mengetahui batas desa maupun kawasan, konsesi, dan potensi ancaman kebakaran.
Muki mencontohkan, di Riau, sekitar 44,5 persen total luas wilayah DPG yang didampingi memiliki tutupan semak belukar. Kondisi ini berisiko tinggi terbakar pada 2020. Dengan program ini, petugas mudah mengajak masyarakat untuk mencegah kebakaran.
Pemetaan menunjukkan, wilayah desa juga tumpang tindih dengan batas kawasan hutan. Dari total 109 desa, sejumlah 54 desa berlokasi di dalam dan sekitar kawasan hutan. Total luas wilayah desa tumpang tindih dengan kawasan hutan 259.554,18 ha dari total luas desa 1,3 juta ha yang dipetakan. Ada juga 48 desa yang tumpang tindih dengan 39 izin konsesi perusahaan seluas 237.288,91 ha di areal penggunaan lain atau di luar kawasan hutan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 6 Juni 2020