WHO resmi memaklumatkan bahwa paradigma pelayanan kesehatan dunia abad XXI lebih bertumpu pada upaya preventif dan promotif sesuai kearifan leluhur Nusantara demi melengkapi upaya kuratif sesuai peradaban Barat.
Presiden Joko Widodo mengatakan terbiasa minum jamu untuk menjaga stamina tubuhnya. Biasanya beliau minum jamu satu kali sehari. Namun, di saat pagebluk virus korona baru, Presiden Jokowi menambahnya menjadi tiga kali sehari agar daya tahan tubuhnya lebih kuat lagi.
Pernyataan Presiden Jokowi didukung Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa melalui akun Instagram-nya. Ia pada Selasa (18/2/2020) menyebutkan bahwa peneliti Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Prof DR Chairul Anwar Nidom berhasil menemukan penangkal virus korona baru penyebab Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ternyata penangkal angkara murka virus itu adalah curcumin yang ada pada tanaman empon-empon, seperti jahe, kunyit, sereh, dan temulawak, yang biasa digunakan sebagai bumbu masak serta minuman tradisional masyarakat Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Dwi Ranny Pertiwi Zarman bersama koleganya, dr Inggrid Tania sebagai Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia, menegaskan bahwa empon-empon, seperti temulawak, kunyit, sereh, dan jahe, memang memiliki kandungan curcumin dan senyawa lain bersifat antiperadangan dan antioksidan. Jamu yang mengandung ramuan empon-empon siap dikonsumsi setiap hari demi meningkatkan daya tahan tubuh terhadap gangguan aneka ragam penyakit termasuk Covid-19.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI–Ayang (28) menyiapkan minuman jamu rasa rempah ”lockdown” di Desa Purwawinangun, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020). Nama jamu itu terinspirasi dari cara Pemerintah China menghadapi virus korona baru dengan lockdown atau menutup akses keluar masuk sebuah daerah.
Pembunuhan karakter
Segenap pernyataan positif tentang jamu itu ternyata memicu reaksi negatif. Analog ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia terbukti tidak didukung bukan hanya oleh kaum penjajah, melainkan juga oleh sesama bangsa Indonesia sendiri yang merasa lebih nyaman hidup di alam penjajahan sebab telah telanjur menikmati hidup di negeri terjajah.
Media asing didukung beberapa (tidak semua) media dalam negeri Indonesia ramai-ramai mencemooh pihak yang menyatakan jamu berkhasiat untuk memperkuat daya tahan manusia dengan alasan belum terbukti secara ilmiah. Sinisme terhadap jamu merupakan warisan upaya kaum kolonialis melakukan pembunuhan karakter kebudayaan demi mematahkan semangat bangsa terjajah melakukan perlawanan terhadap bangsa yang dijajah.
Senjata utama bangsa penjajah untuk melecehkan jamu adalah bahwa khasiat jamu belum terbukti secara ilmiah. Sebagai insan yang cukup lama bekerja, belajar, dan mengajar di Jerman, saya sedikit mengenal peradaban dan kebudayaan masyarakat Barat yang mengutamakan apa yang disebut sebagai ilmiah yang mewajibkan segala sesuatu harus dibuktikan secara ilmiah.
Dapat dimengerti bahwa begitu banyak warga Eropa ateis akibat kehadiran Tuhan tidak berhasil dibuktikan secara ilmiah. Mujur tidak semua ilmuwan kesehatan Jerman terjebak paham ilmiahisasi radikal sehingga jamu Jerman yang disebut sebagai Heilkraeuter diakui sebagai warisan kearifan kesehatan leluhur Jerman yang khasiatnya tidak perlu dibuktikan secara ”ilmiah” lewat uji klinis.
DOKUMENTASI SATGAS COVID-19 UNMUL—Anggota Satgas Covid-19 Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, mengecek jamu yang sudah dikemas, Sabtu (28/3/2020). Jamu itu akan dibagikan gratis untuk tenaga medis dan petugas yang menangani Covid-19 di Kaltim.
Ilmiah
Apa yang disebut ilmiah an sich rancu. Misalnya mahakarya Ismail Marzuki yang melanggar kaidah teori musik Barat dalam hal gerak harmoni dominan ke subdominan langsung dianggap tidak indah sebab tidak sesuai kaidah ilmiah Barat. Mahakarya Ki Nartosabdo langsung menjadi tidak ilmiah apabila dinilai dengan kaidah musikologis mahakarya Ludwig van Beethoven dan sebaliknya.
Serta-merta pasti jamu menjadi tidak ilmiah apabila diukur dengan kaidah ilmiah peradaban tradisional Barat yang menjunjung tinggi pembuktian uji klinis berdasar kaidah ilmiah Barat. Sementara akibat manusia mustahil sempurna, maka pembuktian uji klinis yang dibuat oleh manusia juga sebenarnya mustahil sempurna. Terbukti begitu banyak kasus kegagalan penyembuhan sampai pasien meninggal meski sudah diberi obat yang lulus uji klinik secara ilmiah Barat.
Jauh sebelum obat farmasi sebagai mahakarya kesehatan Eropa dihadirkan oleh kaum penjajah di persada Nusantara, nenek moyang bangsa Indonesia, seperti Hayam Wuruk, Gadjah Mada, Raden Patah, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, dan lain-lain senantiasa sehat-walafiat dan segar-bugar berkat selalu minum jamu yang mengandung ramuan jamu sebagai warisan mahakarya kebudayaan kesehatan Indonesia.
Segenap fakta peradaban membuktikan bahwa jamu memang benar-benar sudah teruji secara empirik sejak dahulu kala oleh bangsa Indonesia di laboratorium kenyataan kehidupan.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI–Irisan berbagai rempah dalam kemasan plastik, yang diproduksi warga di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Mohon para peyakin kearifan leluhur bangsa asing jangan melecehkan kearifan leluhur Nusantara, namun sebaliknya para peyakin kearifan leluhur Nusantara jangan melecehkan kearifan leluhur bangsa asing.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi memaklumatkan bahwa paradigma pelayanan kesehatan dunia abad XXI lebih bertumpu pada upaya preventif dan promotif sesuai kearifan leluhur Nusantara demi melengkapi upaya kuratif sesuai kearifan leluhur peradaban Barat.
Atas kesadaran atas kearifan kesehatan leluhur Nusantara, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengajak para ibu rumah tangga menghidupkan kembali gerakan program nasional Apotek Hidup menanam empon-empon di kebun rumah masing-masing sebagai sediaan bahan ramuan jamu demi upaya bersama meningkatkan kedaulatan kesehatan keluarga Indonesia. Merdeka!
(Jaya Suprana Pembelajar warisan kearifan leluhur Nusantara)
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020