Berburu Bahan Baku Obat dari Batuan Dolomit

- Editor

Senin, 2 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Batuan dolomit selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan pupuk dan bahan bangunan yang nilai ekonominya rendah. Padahal kandungan magnesium karbonat dalam batuan ini bernilai tinggi, bisa 50 kali lipat, dan bisa digunakan untuk bahan obat.

Batuan dolomit terdapat banyak di Indonesia dengan kadar magnesium berbeda-beda. Kandungan magnesium yang terdapat dalam bantuan sedimen tersebut bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan obat maupun penambah kandungan susu maupun peruntukan industri lain.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Hasil pembakaran atau kalsinasi dolomit pada suhu 725 derajat C. Dolomit ini kemudian dihaluskan untuk diproses guna mendapatkan senyawa magnesium karbonat (MgCO3). Proses ini ditunjukkan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 13 Agustus 2019 di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2MM LIPI), konsentrasi magnesium terbaik berada di Pantura Timur Jawa hingga Madura, yaitu Rembang-Sumenep yang terdapat deposit dolomit. Bahan tambang ini telah lama dieksploitasi untuk menjadi pupuk serta pembuatan bata seperti habel dan campuran semen bagi bahan bangunan yang bernilai rendah.

Nurul Taufiqu Rochman, Kepala P2MM LIPI, dalam media briefing 13 Agustus 2019 di Serpong, Tangerang Selatan, mengatakan pihaknya mendorong penelitian yang memberi nilai tambah dalam pemanfaatan sumber daya alam dalam negeri. Karena itulah, peneliti setempat memburu kandungan magnesium karbonat pada dolomit yang melimpah di pantai timur Jawa tersebut. Kini, peneliti setempat menemukan metode yang ekonomis dalam proses pengolahan ini.

Eko Sulistiyono, Peneliti P2MM LIPI mengatakan dolomit dimanfaatkan perusahaan setempat sebagai pupuk bagi perkebunan sawit di lahan gambut. Penambahan dolomit bermaksud untuk memperbaiki keasaman tanah gambut. Penambangan batuan sedimen untuk pupuk ini memiliki valuasi ekonomi rendah karena hanya dijual Rp 1.000 per kilogram. Apabila diambil kandungan magnesium karbonat (MgCO3) bisa dijual jauh lebih tinggi atau 50 kali lipat.

Perbandingan harga ini didapatnya saat bertransaksi pembelian MgCO3 melalui penjualan daring. Senyawa ini dijual sebagai anti-licin pada olahraga beban dan panjat tebing. Informasi yang didapatkannya, MgCO3 ini didatangkan dari luar negeri.

Dolomit merupakan batu kapur yang berbasis karbonat terdiri dari campuran magnesium karbonat dan kalsium karbonat (CaCO3). Eko mengatakan proses pengambilan MgCO3 menggunakan metode karbotasi. Penelitian ini dilakukan LIPI sejak tahun 2009-2010 dengan biaya dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Penelitian berlanjut hingga pada 2018 ia mendatangkan peralatan spray dryer untuk menghasilkan butiran MgCO3 yang sangat halus.

Dalam penelitian ini, P2MM LIPI bekerja sama dengan perusahaan swasta, PT Polowijo Gosari di Gresik, Jawa Timur untuk suplai bahan penelitian sekitar 6-7 ton dolomit. Harapannya, perusahaan bisa memanfaatkan teknologi pemrosesan ini untuk produksi massal di masa mendatang.

Pembakaran
Eko mengatakan dolomit yang masih berupa bongkahan besar hasil tambang dari konsesi perusahaan di Lamongan tersebut dihancurkan sampai ukuran sekitar satu sentimeter. Kerakal kapur ini kemudian memasuki proses kalsinasi, yaitu pembakaran dalam tungku bakar hingga mencapai 725 derajat celcius selama 8 jam.

Pembakaran ini mengambil/mengurangi kandungan karbondioksida (CO2) pada dolomit tersebut. Gas CO2 ini ditampung dalam tangki untuk dimanfaatkan pada proses karbonatasi selanjutnya.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Hasil pembakaran atau kalsinasi dolomit pada suhu 725 derajat C yang telah dihaluskan dimasukkan dalam wadah. Tepung ini kemudian dihaluskan untuk diproses guna mendapatkan senyawa magnesium karbonat (MgCO3). Proses ini ditunjukkan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 13 Agustus 2019 di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

Proses kalsinasi berupa pembakaran tersebut mengubah dolomit menjadi senyawa kimia MgO.CaCO3. Dengan alat pulverizer atau penggiling, senyawa ini kembali dihaluskan 325 – 1.000 mesh.

Senyawa yang jauh lebih halus tersebut kemudian memasuki proses slaking. Caranya, tepung kasar tersebut dicampur dengan air yang diaduk sehingga diperoleh lumpur seperti air susu. Proses ini menghasilkan lumpur dengan komposisi Mg(OH)2, air, dan padatan CaCO3.

Selanjutnya, lumpur ini kembali diencerkan dengan perbandingan 14 kilogram lumpur dengan 300 liter air saat memasuki proses karbonatasi. Dalam proses ini, lumpur cair ini diberi paparan gas karbondioksida (CO2) selama 30-45 menit sehingga diperoleh cairan Mg(HCO3)2 dan padatan CaCO3.

Hasil dari proses karbonatasi selanjutnya disaring dalam beaker glass dengan ukuran 2.000 mililiter untuk diperoleh larutan magnesium bikarbonat dan padatan kalsium karbonat. Selanjutnya larutan magnesium bikarbonat dipanaskan sehingga muncul padatan yang semakin lama semakin banyak.

Padatan disaring dengan kertas saring standar menghasilkan padatan MgCO3 dan hasil samping berupa “limbah” CaCO3. “Sebenarnya kurang tepat disebut limbah karena CaCO3 masih bisa dipakai untuk pupuk,” kata dia.

Hasil produk berupa magnesium karbonat kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur sekitar 100 derajat celcius selama kurang lebih tiga hari. Pengovenan ini untuk memastikan padatan magnesium karbonat telah kering.

Menjanjikan
Eko mengakui proses dari dolomit menghasilkan magnesium karbonat ini telah dilakukan sejumlah lembaga penelitian. Yang membedakannya, kini ia memanfaatkan peralatan spray dryer untuk mengolah cairan MgCO3 tersebut menjadi bubuk yang sangat halus. Peralatan spray dryer ini jamak digunakan dalam proses pembuatan minuman serbuk maupun susu.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Sulistiyono, Selasa (13/8/2019) di Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten, menunjukkan proses spray dryer dalam menghasilkan magnesium karbonat dari dolomit. Dolomit ini banyak terdapat di pantai utara Jawa bagian timur yaitu Rembang hingga Gresik serta Kabupaten Bangkalan Madura. Galian C ini banyak ditambang untuk bahan pupuk, bata, dan campuran semen. LIPI mengolah dolomit untuk mendapatkan magnesium karbonat yang bisa dimanfaatkan untuk bahan pemutih kertas maupun bahan baku medis.

Eko mengatakan keseluruhan proses ini tak menggunakan pelarut kimia maupun tambahan bahan kimia lain, kecuali gas CO2 dan air.Terkait biaya produksi, ia menaksir biayanya sekitar Rp 25.000 per kilogram. Dengan harga produk serupa impor yang mencapai Rp 50.000 per kilogram, marginnya dinilai sangat menjanjikan.

Eko pun membandingkan produknya dengan produk impor terlihat MgCO3 yang dihasilkannya tak menggumpal seperti pada produk impor. Ini menjadikan produk yang dihasilkannya lebih mudah dijadikan sebagai bahan filler dibandingkan produk import.

Penelitian ini pun sedang direncanakan untuk bekerja sama dengan Pusat Penelitian Karet untuk menjadikan MgCO3 ini campuran dalam pembuatan karet seal tabung gas. Penambahan senyawa ini diharapkan dapat menahan kekuatan karet dan membuatnya tahan panas.

Pengembangan lebih lanjut, P2MM LIPI sedang meningkatkan hasil riset menjadi nano magnesium karbonat. Prosesnya memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan menggunakan beragam media selain air yaitu alkohol, ethylene glycol, dan lain-lain.

Hasil yang diperoleh adalah material magnesium karbonat dengan ukuran nano telah sampai pada ukuran 50 nm. Dengan ukuran nano yang bisa dimanfaatkan untuk bahan baku farmasi maupun pembuatan tinta, nilai tambah bisa ditingkatkan menjadi Rp 450.000 per kilogram.

Dalam penelitian terpisah selama setahun terakhir, Eko pun sedang mengembangkan pemanfaatan air laut sebagai sumber MgCO3. Ini memanfaatkan tambak-tambak garam yang biasanya menghasilkan sampingan berupa “limbah”. “Air kental dan berwarna kekuningan itu mengandung magnesium tinggi sampai 7.000 ppm (bagian per juta),” kata dia.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 2 September 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB