Rektor Asing Bukan Solusi Masalah Pendidikan Tinggi

- Editor

Rabu, 7 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Belum jelasnya tujuan konkret pendidikan tinggi, tidak meratanya mutu perguruan tinggi, dan birokrasi yang rumit dihadapi pendidikan tinggi di Indonesia. Karena itu, pembenahan harus dimulai di segala lini pendidikan, tidak sekadar mendatangkan akademisi asing sebagai solusi.

“Berbagai kebijakan pemerintah tidak berkorelasi dengan arah pendidikan tinggi sehingga tidak jelas perguruan-perguruan tinggi hendak ke mana,” kata Kepala Bidang Inovasi dan Pembelajaran Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Djoko Wintoro dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (6/8/2019).

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Sektetaris Jenderal Asosiasi Dosen Indonesia Amirsyah Tambunan, Kepala Bidang Inovasi dan Pengembangan Djoko Wintoro, dan Kepala Bidang Advokasi Faisal Santiago menjelaskan bahwa mendatangkan rektor asing tidak menyelesaikan masalah pendidikan tinggi Indonesia dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (6/8/2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia menanggapi rencana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mendatangkan pakar-pakar dari luar negeri guna menjabat sebagai rektor di perguruan tinggi (PT) Indonesia agar bisa masuk 100 besar dunia.

Djoko mengutarakan, pemerintah sebelumnya mengatakan ingin memajukan vokasi karena merupakan penyokong industri. Akan tetapi, pengembangan vokasi tidak akan bisa masuk ke dalam sistem perangkingan dunia karena sistem itu diukur berdasar variabel akademik dan riset, bukan terapan.

Indonesia dinilai lebih baik fokus memilih antara akademik dengan terapan karena PT sejatinya terbagi menjadi dua jenis, yaitu PT berbasis riset dan PT berbasis perkuliahan saja. PT berbasis riset seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung bisa fokus melakukan penelitian dan mengembangkan teori. Adapun PT terapan melaksanakan teori dan metode yang dikembangkan tersebut sehingga ada saling memberi umpan balik untuk pembenahan di sisi teori dan praktik.

“Masuk ke dalam peringkat dunia merupakan wacana hangat PT internasional 20 tahun lalu. Sekarang isunya bukan soal peringkat, tetapi mengembangkan pendidikan berkelanjutan yang bisa terus dipakai di era disrupsi dan memberi sumbangsih kepada masyarakat,” tutur Guru Besar Keuangan Universitas Prasetiya Mulya ini.

Kekuatan Indonesia justru ada pada tri dharma pendidikan tinggi, terutama unsur pengabdian masyarakat yang tidak dimiliki negara lain. Aspek ini jika dikembangkan dengan baik justru menjadi modal Indonesia agar dikenal di dunia dan bisa mendatangkan mahasiswa serta akademisi asing.

Ekosistem
Kepala Bidang Advokasi ADI Faisal Santiago menjelaskan, agar PT mencapai mutu baik tidak bisa dibebankan pada rektor, tetapi adalah hasil sinergi seluruh sivitas akademika. Budaya akademik di PT sangat berpengaruh. Keberadaan rektor asing tidak menjamin memberi perubahan tanpa ada perubahan budaya akademik dan birokrasi mulai dari pusat hingga PT.

KOMPAS/AGUS SUSANTO–Pengamat pendidikan tinggi sekaligus Guru Besar Institut Teknologi Bandung Satryo Soemantri Brodjonegoro–Kompas/Agus Susanto (AGS)–05-08-2015

“Semestinya ada kajian terperinci mengenai strategi teknis peningkatan kinerja PT dengan rektor asing yang kemudian didiskusikan dengan berbagai pihak. Komunitas dosen tidak menolak akademisi asing, tetapi hatus berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Misalnya profesor tamu untuk ilmu spesifik yang masih jarang di Indonesia,” kata Guru Besar Hukum Universitas Borobudur ini.

Otonomi
Secara terpisah, pakar pendidikan tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, kebutuhan mendatangkan akademisi asing tidak berdasarkan perintah negara, tetapi harus atas pertimbangan mandiri PT. Masalahnya, tidak ada PT yang 100 persen otonom di Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang PT bisa melakukan penyusunan kurikulum, pembukaan program studi, dan pengelolaan keuangan secara mandiri. Semua diatur dengan undang-undang mengenai pendidikan tinggi. Tidak simpang siur seperti di Indonesia.

“Pemerintah khawatir kampus semena-mena, bahkan menjadi tempat penyebaran ideologi anti kebangsaan apabila diberi otonomi penuh. Semestinya pola pikirnya dibalik, beri kampus kepercayaan menjalankan fungsinya dengan mandiri,” ujarnya.

Ada berbagai undang-undang yang tegas mengatur sanksi terkait pelanggaran dan ditambah pengawasan masyarakat. “Biarkan PT menjadi ranah akademik yang bebas berdialektika sehingga memajukan pemikiran, keterampilan, dan menghasilkan inovasi,” katanya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR

Sumber: Kompas, 7 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB