Belum jelasnya tujuan konkret pendidikan tinggi, tidak meratanya mutu perguruan tinggi, dan birokrasi yang rumit dihadapi pendidikan tinggi di Indonesia. Karena itu, pembenahan harus dimulai di segala lini pendidikan, tidak sekadar mendatangkan akademisi asing sebagai solusi.
“Berbagai kebijakan pemerintah tidak berkorelasi dengan arah pendidikan tinggi sehingga tidak jelas perguruan-perguruan tinggi hendak ke mana,” kata Kepala Bidang Inovasi dan Pembelajaran Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Djoko Wintoro dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Sektetaris Jenderal Asosiasi Dosen Indonesia Amirsyah Tambunan, Kepala Bidang Inovasi dan Pengembangan Djoko Wintoro, dan Kepala Bidang Advokasi Faisal Santiago menjelaskan bahwa mendatangkan rektor asing tidak menyelesaikan masalah pendidikan tinggi Indonesia dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menanggapi rencana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mendatangkan pakar-pakar dari luar negeri guna menjabat sebagai rektor di perguruan tinggi (PT) Indonesia agar bisa masuk 100 besar dunia.
Djoko mengutarakan, pemerintah sebelumnya mengatakan ingin memajukan vokasi karena merupakan penyokong industri. Akan tetapi, pengembangan vokasi tidak akan bisa masuk ke dalam sistem perangkingan dunia karena sistem itu diukur berdasar variabel akademik dan riset, bukan terapan.
Indonesia dinilai lebih baik fokus memilih antara akademik dengan terapan karena PT sejatinya terbagi menjadi dua jenis, yaitu PT berbasis riset dan PT berbasis perkuliahan saja. PT berbasis riset seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung bisa fokus melakukan penelitian dan mengembangkan teori. Adapun PT terapan melaksanakan teori dan metode yang dikembangkan tersebut sehingga ada saling memberi umpan balik untuk pembenahan di sisi teori dan praktik.
“Masuk ke dalam peringkat dunia merupakan wacana hangat PT internasional 20 tahun lalu. Sekarang isunya bukan soal peringkat, tetapi mengembangkan pendidikan berkelanjutan yang bisa terus dipakai di era disrupsi dan memberi sumbangsih kepada masyarakat,” tutur Guru Besar Keuangan Universitas Prasetiya Mulya ini.
Kekuatan Indonesia justru ada pada tri dharma pendidikan tinggi, terutama unsur pengabdian masyarakat yang tidak dimiliki negara lain. Aspek ini jika dikembangkan dengan baik justru menjadi modal Indonesia agar dikenal di dunia dan bisa mendatangkan mahasiswa serta akademisi asing.
Ekosistem
Kepala Bidang Advokasi ADI Faisal Santiago menjelaskan, agar PT mencapai mutu baik tidak bisa dibebankan pada rektor, tetapi adalah hasil sinergi seluruh sivitas akademika. Budaya akademik di PT sangat berpengaruh. Keberadaan rektor asing tidak menjamin memberi perubahan tanpa ada perubahan budaya akademik dan birokrasi mulai dari pusat hingga PT.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Pengamat pendidikan tinggi sekaligus Guru Besar Institut Teknologi Bandung Satryo Soemantri Brodjonegoro–Kompas/Agus Susanto (AGS)–05-08-2015
“Semestinya ada kajian terperinci mengenai strategi teknis peningkatan kinerja PT dengan rektor asing yang kemudian didiskusikan dengan berbagai pihak. Komunitas dosen tidak menolak akademisi asing, tetapi hatus berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Misalnya profesor tamu untuk ilmu spesifik yang masih jarang di Indonesia,” kata Guru Besar Hukum Universitas Borobudur ini.
Otonomi
Secara terpisah, pakar pendidikan tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, kebutuhan mendatangkan akademisi asing tidak berdasarkan perintah negara, tetapi harus atas pertimbangan mandiri PT. Masalahnya, tidak ada PT yang 100 persen otonom di Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang PT bisa melakukan penyusunan kurikulum, pembukaan program studi, dan pengelolaan keuangan secara mandiri. Semua diatur dengan undang-undang mengenai pendidikan tinggi. Tidak simpang siur seperti di Indonesia.
“Pemerintah khawatir kampus semena-mena, bahkan menjadi tempat penyebaran ideologi anti kebangsaan apabila diberi otonomi penuh. Semestinya pola pikirnya dibalik, beri kampus kepercayaan menjalankan fungsinya dengan mandiri,” ujarnya.
Ada berbagai undang-undang yang tegas mengatur sanksi terkait pelanggaran dan ditambah pengawasan masyarakat. “Biarkan PT menjadi ranah akademik yang bebas berdialektika sehingga memajukan pemikiran, keterampilan, dan menghasilkan inovasi,” katanya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2019