Investasi listrik dari tenaga surya akan jauh lebih murah ketimbang listrik yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Untuk memperoleh tenaga surya, sebagai salah satu jenis energi terbarukan, tidak perlu mengeluarkan biaya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Petugas merawat panel tenaga surya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata, Purwakarta, Jawa Barat, Minggu (25/10). PLTS berkapasitas 1 megawatt milik PT Pembangkit Jawa Bali tersebut merupakan yang terbesar di Jawa.–Kompas/Totok Wijayanto (TOK)–25-10-2015
Hal ini berbeda dengan batubara yang harganya tinggi. Kondisi ini bisa membuat aset pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang senilai miliaran dollar AS terbengkalai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil penelitian itu disampaikan Matt Gray yang memimpin kajian dari Carbon Tracker di bidang ketenagalistrikan dan pembangkit listrik, Senin (5/11/2018), di Jakarta. Carbon Tracker, yang berkantor pusat di London, Inggris, melakukan analisis tinjauan dampak tren ekonomi dan finansial global terhadap aset pembangkit listrik.
Menurut Matt, salah satu faktor yang membuat investasi pembangkit listrik kian murah adalah pilihan teknologi mesin pembangkit yang kian efisien. Selain itu, sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan tenaga bayu, tidak perlu dibeli. Hal ini berbeda dengan batubara yang harus dibeli untuk mendapatkannya. Selain itu, di Eropa dan Amerika Serikat diterapkan denda bagi perusahaan yang menghasilkan emisi gas karbon yang melewati ambang batas (carbon pricing).
“Mulai 2021, investasi membangun pembangkit listrik tenaga surya akan lebih murah ketimbang membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Bahkan, mulai 2028, biaya membangun pembangkit listrik tenaga surya yang baru tetap lebih murah ketimbang melanjutkan pengoperasian pembangkit listrik berbahan bakar batubara,” ujar Matt.
Hasil kajian Carbon Tracker menunjukkan, skenario global terkait penurunan emisi gas rumah kaca dan komitmen sejumlah negara yang beralih dari energi fosil ke energi terbarukan akan berdampak serius terhadap aset perusahaan, khususnya PLTU. Penelitian Carbon Tracker dilakukan terhadap tiga negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Vietnam, dan Filipina.
“Pembangunan PLTU yang cukup agresif di tiga negara itu tidak sejalan dengan tren dunia yang mengoptimalkan sumber energi terbarukan. Ini berpotensi menciptakan aset terbengkalai (PLTU) senilai 60 miliar dollar AS di tiga negara itu,” kata Matt.
Bersaing
Elrika Hamdi, analis keuangan energi pada Institute for Energy Economics and Financial Analysis, menambahkan, sumber energi terbarukan yang tidak perlu dibeli dalam jangka panjang dapat bersaing dan mencapai tingkat keekonomian yang lebih baik ketimbang batubara. Apalagi, harga batubara akhir-akhir ini relatif tinggi. Sumber energi terbarukan juga terbebas dari pengaruh fluktuasi harga batubara dan minyak mentah dunia.
Selain itu, lanjut Elrika, kebijakan sejumlah negara di Eropa yang memberlakukan carbon pricing terbukti efektif mendorong pengembangan energi terbarukan untuk menggantikan batubara. Ia meyakini, jika hal serupa diterapkan di Indonesia, pengembangan energi terbarukan untuk pembangkit listrik akan tumbuh pesat.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga triwulan III-2018 menunjukkan, dari kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia yang sebesar 60.000 megawatt (MW), batubara dominan dalam bauran energi pembangkit, yaitu 59,2 persen. Adapun porsi energi terbarukan 12,32 persen. Sisanya gas bumi 22,3 persen dan bahan bakar minyak 6,18 persen.
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meraih pinjaman 1,62 miliar dollar AS dari 20 bank internasional. Menurut Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto, dana tersebut akan dipakai untuk membiayai program 30.000 MW dan untuk korporasi. (APO)–ARIS PRASETYO
Sumber: Kompas, 6 November 2018