Semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pada 2017, Indonesia masuk ke dalam ”One Trillion Club”, negara dengan produk domestik bruto melebihi 1 triliun dollar AS dan berada di urutan ke-16 dunia. Jika PDB dihitung berdasarkan paritas daya beli, Indonesia berada di urutan ketujuh dunia.
Semua itu tercapai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,6 persen per tahun selama 10 tahun terakhir. Meski demikian, pada beberapa tahun terakhir ada tanda-tanda kita terjebak dalam tingkat pertumbuhan 5,0-5,2 persen. Menjadi tantangan besar bagi periode kedua pemerintahan saat ini untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen per tahun sebagaimana cita-cita Presiden Jokowi di 2014.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Petani menanam bibit padi jenis IR64 di tepi Waduk Bade, Desa Bade, Kecamatan Klego, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (22/7/2019). Menyusutnya air waduk itu saat kemarau mendorong petani setempat memanfaatkan area waduk yang sudah tidak tergenang untuk tempat bercocok tanam. Waduk yang mulai digunakan pada tahun 1991 ini memiliki luas sekitar 98 hektar dengan luas genangan air bisa mencapai 68 hektar. Selain sebagai tempat cadangan air, waduk tersebut juga dikembangkan sebagai tempat obyek wisata. KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika itu tercapai, Indonesia hanya perlu 10 tahun untuk mencapai produk domestik bruto (PDB) dua kali lipat dan menjadi negara dengan pendapatan menengah di kisaran 6.000- 12.000 dollar AS per kapita per tahun. Dalam buku teks ekonomi terdapat lima komponen utama PDB, yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan impor. Konsumsi merupakan penyumbang terbesar PDB Indonesia, yaitu 55,74 persen di 2018.
Beberapa hal menjadi faktor kunci pertumbuhan ekonomi, seperti kepatuhan masyarakat dan pemerintah terhadap aturan hukum, perlindungan hak kepemilikan dan hak kontraktual, serta membangun sistem legal yang efektif. Negara-negara dengan pendapatan per kapita terendah di dunia selalu dicirikan dengan sistem legal yang tidak efektif, pemerintahan yang lemah, dan ketidaktaatan masyarakat terhadap aturan dan hukum (SA Greenlaw dkk, 2017).
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga terkait dengan produktivitas tenaga kerja. Salah satu hal yang paling menentukan produktivitas tenaga kerja adalah sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan akumulasi pengetahuan baik dari pendidikan, pengalaman, keterampilan, maupun keahlian. Perubahan teknologi juga berpengaruh besar terhadap produktivitas tenaga kerja.
Perubahan teknologi merupakan kombinasi dari invensi (peningkatan pengetahuan) dan inovasi (aplikasi invensi dalam ujud produk atau jasa yang baru). Produktivitas tenaga kerja juga dipengaruhi skala ekonomi. Ketika kuantitas produk yang dihasilkan meningkat, produktivitas tenaga kerja juga meningkat.
Peran penting SDM dan teknologi tercatat jelas dalam sejarah dunia. Eropa kehilangan puluhan juta SDM dan hancurnya sumber daya fisik berupa infrastruktur, pabrik, jalan, dan lainnya selama perang dunia (PD). Pada PD I tercatat 16 juta orang meninggal akibat perang dan minimal 50 juta orang meninggal karena flu Spanyol.
Selama PD II sebanyak 43 juta orang meninggal. Namun, dalam tempo kurang dari dua dekade, Eropa bangkit kembali, bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, sebagai hasil dari kombinasi antara tenaga kerja terlatih dengan pengetahuan dan teknologi dalam iklim pasar yang menunjang.
Jika masuk lebih detail lagi sektor-sektor apa saja yang menjadi pemantik kebangkitan ekonomi sebuah negara, di mana posisi sektor pertanian? Semua literatur ekonomi terkait pertumbuhan mengacu pada teori bahwa ketika negara bertumbuh dari negara miskin (PDB per kapita kurang dari 2.000 dollar AS) menjadi negara maju (PDB per kapita lebih dari 20.000 dollar AS), akan terjadi transformasi ekonomi struktural dari aktivitas ekonomi primer berbasis pertanian dan perdesaan menjadi aktivitas ekonomi berbasis industri dan jasa.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Pengunjung memadati area stan pameran Soropadan Agro Expo 2019 di Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (7/7/2019). Pameran tersebut juga menjadi salah satu acuan bagi petani hingga pengusaha yang bergerak dalam agrobisnis. Informasi pengembangan bibit unggul sampai teknologi pertanian dihadirkan dalam pameran tersebut. KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peran pertanian sebagai penyedia lapangan kerja dan kontribusi ke PDB terus menurun. Salah satu hal yang mendasari pemikiran ini adalah elastisitas permintaan yang tinggi terhadap barang non-pertanian dan jasa ketika pendapatan meningkat.
Pada posisi seperti ini kemudian dianggap sebagai sebuah kewajaran apabila kebijakan pemerintah diarahkan untuk merelokasi faktor produksi dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Banyak ekonom memercayai industri merupakan sektor yang dinamis, sedangkan pertanian statis dan tak terlalu responsif terhadap insentif.
Pemajakan terhadap sektor pertanian kemudian dibenarkan karena hanya mengorbankan sedikit output pertanian (Schiff dan Valdes, 1992). Pemajakan yang dimaksud di sini tak hanya pajak dalam arti harfiah, tetapi yang terbesar adalah upaya menekan harga produk pertanian untuk mendukung pertumbuhan sektor industri, jasa, dan kebijakan makroekonomi.
Kajian dalam rentang waktu 1960-an hingga 1980-an, sektor pertanian dipajak sekitar 30 persen dengan bagian terbesar (22 persen) merupakan pajak tak langsung dengan cara menekan harga komoditas pertanian. Akibat lebih jauh dari kesemuanya adalah pemiskinan petani dan marjinalisasi sektor pertanian. Pertumbuhan pertanian stagnan bahkan untuk beberapa komoditas menurun tajam, diikuti oleh peningkatan impor pangan.
Reformasi pertanian menuju Indonesia 7.0
Untuk Indonesia, peningkatan tajam anggaran sektor pertanian dan pangan dalam empat tahun terakhir (2015-2018) sebesar Rp 409 triliun sama sekali tak menghasilkan pertumbuhan. Alih-alih swasembada, justru yang terjadi peningkatan impor pangan.
Total impor delapan komoditas dengan impor di atas 200.000 ton per tahun, yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, ubi kayu, bawang putih, kacang tanah, dan gula tebu, meningkat 5,6 juta ton dari 21,95 juta ton (2014) menjadi 27,62 juta ton (2018).
Beras yang menerima porsi anggaran terbesar justru impornya meningkat dari rata-rata tahunan 0,902 juta ton (2005-2014) menjadi 1,177 juta ton (2015-2018) (BPS dan Kementan, 2005-2018). Peningkatan anggaran dan sekaligus peningkatan impor pangan yang tajam juga terjadi pada pemerintah sebelumnya.
Bagaimana ekspor pangan di luar perkebunan? Ekspor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru turun dibandingkan pemerintah sebelumnya. Ekspor secara volumetrik menurun dari rata-rata tahunan 1,54 juta ton (2005-2014) menjadi 1,01 juta ton (2015-2018) dengan nilai dari 1,47 miliar dollar AS menjadi 1,13 miliar dollar AS.
Defisit perdagangan tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan juga terus membengkak dari rata-rata 4,09 miliar dollar AS per tahun (2005-2014) menjadi 6,75 miliar dollar AS (Data Ekspor Impor Pertanian, Kementan, 2001-2018).
Kesejahteraan petani juga tidak membaik. Nilai tukar petani (NTP) yang menjadi salah satu indikator kesejahteraan petani terjun bebas dari 123-124 pada awal tahun 2000-an ke 100-103 di periode 2008-2019. Upah harian buruh tani pada posisi April 2019 hanya 60,8 persen dibandingkan buruh bangunan (BPS, Juni 2019) dan praktis selama ini tidak mengalami perubahan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI–Kementerian Pertanian menyalurkan bantuan senilai Rp 27 miliar kepada petani, warga miskin, dan santri di Lapangan Ranggajati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (28/3/2019). Bantuan itu berupa benih padi, pupuk, ayam, kambing, hingga traktor. KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petani juga mendominasi jumlah penduduk miskin di Indonesia, yaitu 60,54 persen dari 25,67 juta penduduk miskin di September 2018. Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan selalu jauh lebih tinggi di wilayah pertanian dibandingkan perkotaan.
Kesalahan mendasar kebijakan
Laju pertumbuhan PDB sektor pertanian (pertanian, kehutanan, perikanan) pada triwulan I-2019 terhadap triwulan I-2018 (year on year/yoy) terendah dibandingkan sektor lain, yaitu hanya 1,81 persen. Laju pertumbuhan PDB sektor pertanian selalu jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi, yaitu 3,37 persen dibandingkan 5,03 persen (2016), 3,87 persen dibandingkan 5,07 persen (2017), dan 3,91 persen dibandingkan 5,17 persen (2018) (BPS, Juni 2019).
Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB terus mengalami penurunan dari 15,60 persen di tahun 2000 menjadi 13,58 persen (2009) dan 12,81 persen (2018), tetapi di sisi lain sektor pertanian tetap sebagai penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia, yaitu 38,11 persen dari total 129,36 juta tenaga kerja per Februari 2019.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Terdapat kesalahan sangat mendasar dalam kebijakan pertanian selama ini, yaitu pemajakan sektor pertanian melalui upaya intervensi untuk menekan harga produk pertanian serta kesalahan di kebijakan subsidi dan bantuan.
Intervensi harga produk pertanian, baik secara langsung maupun tak langsung, telah menyebabkan transfer pendapatan keluar dari pertanian dalam jumlah sangat besar, rata-rata 46 persen dari PDB pertanian pada periode 1960-1984 di 18 negara berkembang yang dikaji (Schiff dan Valdes, 1992). Kajian ini kian relevan dengan situasi terkini jika melihat praktik kebijakan pertanian di negara berkembang dan khususnya di Indonesia.
Rekomendasi kebijakan yang pertama adalah apabila negara ingin pertumbuhan pertanian lebih cepat, pertumbuhan ekonomi lebih cepat, dan masyarakat miskin lebih rendah, pengenaan pajak terhadap pertanian relatif terhadap sektor lainnya harus dihentikan. Intervensi baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan menekan harga produk pertanian juga harus dihilangkan.
Pertumbuhan PDB untuk negara-negara yang paling rendah intervensinya atau justru memproteksi pertaniannya dua kali lebih besar (6,5 persen) dibandingkan yang memajaki sektor pertanian dengan ekstrem (3,3 persen). Menghilangkan intervensi serta pemajakan komoditas pertanian berpotensi meningkatkan pertumbuhan PDB tahunan 1,1 persen (Schiff dan Valdes, 1992).
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI–Sejumlah petani di Jagapura, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berunjuk rasa di tengah sawah, Jumat (26/7/2019). Mereka memprotes pemerintah daerah yang tidak becus mengelola tata gilir air ke sawah petani. KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Subsidi dan berbagai bantuan lainnya yang diwujudkan dalam bentuk barang menyebabkan pemborosan anggaran cukup besar yang seharusnya menjadi hak petani. Dengan demikian, rekomendasi kebijakan kedua adalah pengalihan anggaran ke transfer langsung, after-sold cash payment, serta perlindungan harga. Hal ini terbukti saat pengalihan beras sejahtera (rastra) menjadi bantuan pangan nontunai.
Nilai manfaat yang diterima masyarakat meningkat 46,3 persen atau dengan kata lain saat program beras untuk warga miskin (raskin) dan rastra dijalankan terjadi pemborosan anggaran sebesar 46,3 persen yang seharusnya menjadi hak masyarakat miskin (Susenas, Maret dan September 2018).
Permasalahan pertanian tak bisa diatasi hanya dengan slogan bombastis peningkatan produksi, swasembada pangan, dan lumbung pangan dunia yang kenyataannya tak tercapai. Pembangunan pertanian ke depan perlu difokuskan ke peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan kedaulatan petani untuk mencapai kesetaraan pendapatan antara pelaku yang bergerak di sektor pertanian dan sektor-sektor lain. Melalui upaya keras untuk meningkatkan pendapatan.
(Dwi Andreas Santosa Guru Besar IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), dan Associate Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia)
Sumber: Kompas, 29 Juli 2019