Mayoritas lulusan SMA masih konservatif ketika menentukan pilihan kuliah. Buktinya, program studi populer dari tahun ke tahun tetap sama, yaitu kedokteran, agroteknologi, hukum, manajemen, dan komunikasi.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Suasana ruang bimbingan dan konseling SMAN 6 Depok, Jawa Barat, pada hari Jumat (25/1/2019). Siswa kelas XII berdiskusi mengenai program studi dan perguruan tinggi negeri yang cocok dengan minat dan bakat mereka.
Sempitnya pengetahuan siswa, orangtua, dan guru mengenai ragam karier saat ini menjadi faktor terbesar penyebab pilihan program studi untuk kuliah tidak bergeser selama beberapa dekade terakhir. Pemberdayaan guru bimbingan dan konseling seyogianya bisa memberikan siswa dan orangtua perspektif makro mengenai perkembangan karier sesuai minat dan bakat siswa serta visi pembangunan daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Terlepas dari akrabnya generasi muda dengan internet dan media sosial, mayoritas masih sangat konservatif ketika menentukan pilihan kuliah,” kata Kepala Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling (BK) Universitas Negeri Jakarta Aip Badrujaman ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Ia mengamati pola pemilihan prodi kuliah oleh siswa lulusan SMA sederajat di Indonesia selama beberapa dekade terakhir tidak banyak berubah. Sebagai gambaran, pada pengumuman hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2019, prodi terpopuler tetap sama dari tahun ke tahun, yaitu kedokteran, agroteknologi, hukum, manajemen, dan komunikasi.
Media massa dan media sosial memang membantu membuka wawasan siswa mengenai berbagai jenis pekerjaan baru yang muncul seiring dengan perkembangan zaman, contohnya seperti bidang pengolahan mahadata, pengembangan e-dagang, dan animasi. Namun, ketika memilih prodi kuliah merupakan hal yang cenderung dilakukan siswa tanpa meninggalkan zona nyaman.
“Mereka mengukur kesuksesan dari budaya yang berkembang di sekitar, yaitu persepsi profesi yang lekat dengan sukses adalah seperti dokter, pengacara, dan akuntan. Prodi-prodi ‘lama’ ini juga dianggap orangtua tetap laku di bursa tenaga kerja dan bisa masuk ke bidang apa saja,” tutur Aip. Ditambah pula siswa dan orangtua kemungkinan besar tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang menjalankan profesi non konvensional sehingga mereka tidak memiliki bayangan bentuk perkuliahan dan perkembangan kariernya.
Persepsi makro
Aip menjabarkan, karier tidak sekadar berarti memiliki pekerjaan dengan jalur kenaikan pangkat yang jelas. Karier adalah kemampuan individu untuk berkembang sehingga lebih baik dan memberi lebih banyak pengaruh positif kepada lingkungannya. Artinya, karier tidak bersifat mikro hanya untuk kepentingan individu, melainkan bersifat makro karena memengaruhi orang lain.
Persepsi ini belum dimiliki oleh kebanyakan guru BK di sekolah. Ketika memberi pelayanan pengembangan potensi minat dan bakat, mereka masih fokus kepada hal-hal yang disukai siswa sehingga narasinya menjadi sempit. Semestinya, guru BK bisa memberi wacana baru yang lebih luas mengenai berbagai potensi karier.
“Pertanyaan seperti ‘apa rencanamu setelah lulus kuliah di bidang itu?’ dan ‘bagaimana ilmu yang kamu pilih untuk dipelajari bisa membangun masyarakat, minimal daerah kita?’ patut ditanyakan. Siswa kelas XII sudah waktunya dilatih memikirkan posisi dirinya di masyarakat,” kata Aip.
Dalam hal ini, asosiasi guru BK juga harus rutin memastikan guru memahami visi dan misi pembangunan nasional serta daerah masing-masing. Selain itu, juga proaktif mengikuti perkembangan berbagai perguruan tinggi (PT), terutama jika ada ilmu-ilmu baru yang dibuka.
Mudah
Terkait dengan berdirinya prodi-prodi baru, aturan pemerintah sudah lebih longgar. Direktur Kelembagaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ridwan menjelaskan, per Oktober 2018 diberlakukan aturan baru bahwa PT bebas membuka prodi dengan nomenklatur baru. Syaratnya adalah memiliki sarana lengkap, kurikulum, dan dosen.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Forum Konsultasi Publik Soal Layanan Pengurusan Perguruan Tinggi dan Program Studi baru dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kelembagaan Iptek dan Pendidikan Tinggi, Kemristekdikti, di Jakarta, Selasa (28/8/2018). Forum ini untuk mendapatkan masukan dalam perbaikan layanan pengurusan izin perguruan tinggi dan prodi.
“Dulu, syarat pendirian prodi baru adalah memiliki enam dosen tetap. Sekarang bisa dengan tiga dosen tetap dan dua dosen tifak tetap dari PT lain yang memiliki perjanjian kerja sama dengan prodi tersebut,” ucapnya.
Ia mengungkapkan, tren pembukaan prodi memang masih konservatif. Dari tahun 2017 hingga 2019 di PT negeri dibuka 226 prodi baru. Akan tetapi, semuanya adalah ilmu-ilmu lama seperti kedokteran dan kehutanan. Ilmu terbaru yang dibuka adalah aktuaria. Biasanya alasan PTN membuka prodi adalah karena di daerahnya belum memiliki prodi itu.
“Memang budaya PTN masih konservatif terhadap prodi baru. Berbeda dengan PT swasta yang berani membuka prodi benar-benar baru secara keilmuan. Meskipun begitu, perlu dipahami bahwa prodi-prodi ‘lama’ ini terus berkembang secara kurikulum dan kompetensinya karena mereka akan selalu diperlukan,” papar Ridwan.
Salah satu PTS yang memiliki prodi-prodi segar adalah Universitas Binus. Salah satu kampusnya, Binus ASO School of Engineering (BASE) memiliki prodi teknik robotika dan otomotif serta teknik desain produk.
Dekan BASE Ho Hwi Chie menjelaskan, tidak ada ilmu yang 100 persen baru. Ilmu-ilmu ‘baru’ merupakan irisan dari berbagai ilmu yang sudah ada untuk menciptakan kompetensi baru sesuai kebutuhan perkembangan zaman. Prodi teknik robotika dan otomotif misalnya, merupakan gabungan ilmu komputer dan teknik mesin. Adapun teknik desain produk adalah gabungan desain dengan teknik industri.
“Perkembangan zaman membutuhkan irisan ragam ilmu yang kompleks. Bagi PT butuh keberanian untuk menciptakan prodi lintas disipliner karena kurikulumnya harus baru dan dosennya juga memiliki visi tidak berbasis keilmuan tunggal saja,” ujarnya.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 20 Juli 2019