CATATAN IPTEK
The true sign of intelligence is not knowledge but imagination (Kecerdasan bukan soal pengetahuan, melainkan imajinasi)—Albert Einstein
Ancaman dan tantangan terbesar manusia pada abad ini adalah perubahan iklim, selain Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Keduanya berkelindan. Posisi terakhir manusia terhadap perubahan iklim adalah tertinggal di belakang.
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, Minggu (13/5/2019) di Auckland, Selandia Baru, menyatakan, ”Perubahan iklim lebih cepat daripada kita… Empat tahun terakhir merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fakta terbaru, Sabtu (11/5/2019), emisi gas rumah kaca (GRK) ekuivalen dengan gas karbon, mencapai 415,26 bagian per sejuta (ppm/parts per million). Hal yang tak pernah terjadi sepanjang sejarah manusia. Bumi menjadi planet yang tak (pernah) dikenal.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Abrasi yang terjadi menyisakan sedikit endapan pasir dengan tanaman mangrove yang mati di pesisir utara Pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/3/2019). Sekitar lima tahun lalu kawasan tersebut merupakan kawasan pantai yang banyak dikunjungi warga. Laju abrasi dengan berbagai faktor pemicunya, seperti perubahan iklim dan rusaknya kawasan mangrove, membuat garis pantai menghilang.
Sejarah mencatat, sekitar 3 juta tahun lalu posisi emisi karbon pada 400 ppm. Pada kondisi tersebut ditemukan pohon di Antartika karena cukup suhu demikian hangat dan tinggi permukaan laut 18 meter lebih tinggi dari permukaannya sekarang. Temuan para ilmuwan: iklim di Bumi amat sensitif terhadap perubahan emisi karbon. Sedikit perubahan, tingkat emisi GRK memberi perubahan besar pada iklim.
Penelitian oleh ratusan ilmuwan yang tergabung dalam Platform Iptek-Politik Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem (IPBES/Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) merekomendasikan, dunia harus bergerak cepat. Dari laporan hasil kerja sekitar 500 ilmuwan dari 50 negara, Bumi sudah dalam kondisi darurat. Manusia sedang menciptakan era antropocene, katastropi akibat ulah mereka sendiri.
Degradasi lahan
Ada lima hal setidaknya yang bisa disoroti dari aspek degradasi lahan. Pertama, Bumi bakal kehilangan spesies secara masif, lebih besar dari kepunahan 66 juta tahun lalu saat Bumi dihantam asteroid. Jumlah spesies terentang pada angka 2 juta-3 miliar. Para ilmuwan memperkirakan 11 juta spesies. Skala kepunahan 1.000 kali dari skala kepunahan sebelum manusia hadir.
Kedua, kehidupan satwa dan tumbuhan liar terancam oleh perubahan iklim, hilangnya habitat, polusi, serta perburuan dan perdagangan liar. Ketiga, habitat asli seperti hutan hancur karena urbanisasi, pertanian, dan perkebunan yang dikelola tanpa prinsip keberlanjutan. Tahun 2018, sekitar 2 juta hutan tropis hilang, setara 30 lapangan sepak bola per menit!
Keempat, kini tinggal sekitar seperempat daratan global yang bebas dari aktivitas manusia. Diproyeksikan, pada 2050, luas daratan bebas intervensi manusia tinggal 10 persen. Pertumbuhan penduduk, konsumsi yang semakin tinggi, globalisasi sistem ekonomi, dan perubahan iklim memperburuk kondisi. Kelima, hilangnya hutan tropis Amazon secara masif akibat perluasan peternakan, tanaman energi, lahan kayu yang diperdagangkan, dan pertambangan.
Hasil semua penelitian dari lembaga dan organisasi global semua mengarah kepada kepunahan massal di planet Bumi. Era ini adalah era anthropocene-manusia sebagai penyebab kepunahan global. Berbagai konvensi lingkungan untuk menanggulangi bencana ini seakan mandul.
Kesepakatan Paris tahun 2015 dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tidak membuahkan hasil. Dari komitmen pengurangan emisi nasional hanya tercapai sekitar sepertiga dari yang dibutuhkan untuk menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat celsius. Kenaikan 1,5 derajat celsius suhu Bumi di atas suhu era pra-Revolusi Industri diperkirakan tercapai antara 2030-2052. Pernyataan Guterres amat beralasan.
Sementara itu, perubahan iklim bekerja dengan mesin alam yang penuh variabel dan bersifat variatif serta tanpa batas ruang, di sisi lain manusia memiliki keterbatasan pendekatan dalam memecahkan persoalan. Terutama keterbatasan terkait entitas ruang.
Ketika manusia bergerak secara ”normatif” sejalan dengan pendekatan keilmuan (yang tersegregasi), alam berjalan dengan entitasnya yang menyeluruh, terkait satu sama lain antarspesies, antarfenomena, antarether, dan seterusnya. Maka, dampak perubahan iklim: badai, taifun, gelombang tinggi, dan kepunahan masif spesies, hanya akan menjadi fakta baru, dari satu penelitian ke penelitian lain.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Perubahan iklim memicu serangan jamur pada tanaman duku (Lansium domesticum) Jambi. Serangan yang mematikan tanaman itu menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten, mulai dari tengah hingga hilir Jambi, memerlukan antisipasi segera. Petani Desa Jabi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, tengah memanen duku, pada Desember 2018.
Tanpa membebaskan imajinasi dan kemampuan membongkar kemapanan, manusia akan terus mengejar fenomena dan dampak perubahan iklim. Manusia juga terus mengikatkan diri pada hukum-hukum dan peraturan yang dia ciptakan demi pemenuhan kenikmatan dan (atas nama) kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Aturan ekonomi terus mengedepankan konsumsi demi pertumbuhan ekonomi. Model ekonomi tanpa batas mendorong komodifikasi di segala aspek kehidupan dengan prinsip produksi berskala masif dan cepat, yang berakhir pada eksploitasi berbagai sumber daya alam dan berbagai aspek kehidupan.
Mengutip Einstein, manusia agaknya perlu membebaskan imajinasinya dan menggunakannya sebagai pemandu perjalanan sejarahnya. Dengan mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi semata, manusia tak akan dapat mengejar kecanggihan hukum alam yang kompleks dan berkelindan sebagai satu entitas. Ketika manusia melawan alam, sudah bisa ditebak siapa pemenangnya….
Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 15 Mei 2019