Pikiran dan Kesehatan Jiwa

- Editor

Kamis, 18 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

ANDA mungkin pemah satu dua kali memberi saran pada orang yang dekat dengan Anda supaya bersikap optimis dalam hidup ini. Saran seperti ini tampaknya memang mudah diucapkan, tetapi terkadang sulit dilaksanakan bila menghadapi problem tertentu.

Untuk hidup memang tidak bisa mengandalkan sikap optimis saja. Lain waktu bisa saja sikap optimis terhadap suatu masalah muncul menjadi sikap pesimis. Yang begini, boleh dikatakan wajar-wajar saja.

Tetapi kalau banyak hal ditanggapi dengan sikap pesimis, dan berlangsung terus menerus, ini baru berbahaya. Orang seperti ini bisa murung, depresi, tidak gembira dan sebagainya. Dan buntutnya, rasa badan tidak enak, mudah terkena penyakit flu, kepala pening dan aneka keluhan lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kedua sikap itu, optimis dan pesimis, dikendalikan oleh pikiran. Manakala pikiran jernih, bisa saja sikap yang tadinya sangat pesimis berubah menjadi optimis.

Seringkali orang lupa adanya keterkaitan antara pikiran dan kesehatan jiwa. Melalui peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 9 Oktober mari merenung sejenak, seberapa jauhkah kondisi pikiran bisa mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap penyakit.

Psikolog asal Amerika Serikat. Sheldon Cohen pernah melakukan penelitian terhadap beberapa orang yang baru saja kehilangan pasangan hidupnya. Ia memperoleh data bahwa orang-orang tersebut ternyata menurun tingkat kekebalannya.

Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa faktor psikis seperti kesepian, kesedihan dapat mempengaruhi kesehatan tubuh. Ada hubungan timbal balik antara pikiran, emosi dan kesehatan tubuh. Pikiran yang positif mempunyai pengaruh pada kesehatan tubuh, dan sebaliknya.

Jiwa dan tubuh
Hubungan yang erat antara jiwa dan tubuh telah lama diketahui. Sekelompok orang mempunyai gangguan organis yang sama, tetapi sumber gangguannya dapat berbeda. Ada sakit organis yang disebabkan tekanan psikologis. Sebaliknya, sakit tekanan psikologis juga bisa disebabkan oleh sakit organis yang berat atau berlarut-larut.

Yang belum banyak diketahui adalah adanya hubungan timbal balik antara kondisi pikiran, emosi dan imunitas/kekebalan. Ini bukan ilmu klenik, tetapi sudah ada bidang yang mempelajarinya secara ilmiah, yang disebut psikoneuroimunologi (PNI). Pada bidang ini, hubungan tubuh-pikiran dan segala implikasinya dipelajari. Misalnya, bagaimana kondisi pikiran bisa berpengaruh langsung pada sel-sel di sistem imun, bagaimana sel-sel tersebut memberikan respon yang berbeda ketika seseorang merasa sedih, gembira, takut atau penuh harapan.

Hubungan ini bisa dilihat dalam kaitannya dengan istilah feedback loop, yaitu pikiran mengendalikan sistem kekebalan tubuh, dan sebaliknya. Ahli neurologi asal Universitas California, Karen Bulloch, mengawali keterkaitan ini melalui riset langsung pada akhir 1970-an perihal interaksi antara otak dan sistem imun.

Periset lain kemudian juga menemukan sistem imun menghasilkan senyawa kimia yang akan membawa informasi kembali ke otak.

Mungkin sulit dipercaya, tetapi autosugesti yang dilakukan pasien sehingga ia yakin akan kesembuhannya, ternyata merangsang otak memproduksi hormon-hormon yang mengaktifkan kembali sistem imun yang sudah berantakan. Bagaimana mekanisme kerja hormon dan kaitannya dengan autosugesti, masih sulit dijelaskan.

Peranan hormon
Sudah lama diketahui otak kita yang merupakan sumber kegiatan elektrokimiawi, dapat menyebabkan hipotalamus terangsang dan mengeluarkan hormon penting dari kelenjar hipofisis atau pituitari, suatu kelenjar yang Ierletak di bawah otak manusia. Hormon ini disebut adrenocorticotropin (ACTH).

Apabila hormon ACTH dilepas, maka dengan segera ia berada dalam sirkulasi darah dan menjalar ke seluruh tubuh lewat aliran darah hingga akhirnya mencapai anak ginjal dan mempengaruhi pelepasan hormon lain yakni kortisol dan epinefrin dari kelenjar anak ginjal (adrenal).

Di belakang tulang dada manusia terletak kelenjar timus. Kelenjar ini menghasilkan hormon timosin. Harmon tersebut dapat pula mencapai hipotalamus dan mempengaruhi kelenjar hipofisis. Salah satu fungsi penting hormon timosin adalah mempengaruhi perkembangan dan pematangan sel-sel limposit T. Sel-sel T yang meningkat ”daya bunuhnya” akan cepat membasmi musuh dari luar.

Sebagaimana diketahui, sistem imunitas tubuh terdiri dari sel-sel darah putih yang selalu beredar dalam sirkulasi darah. Ia siap menyergap bila ada kuman yang masuk ke dalam tubuh. Sel darah putih yang penting adalah sel limposit, sel makrofag dan sel neutrofil. Sumsum tulang belakang tiap harinya memproduksi jutaan bala tentara limposit.

Sel limposit terdiri dari dua jenis yaitu Sel B dan sel T. Sel B berguna untuk menginduksi lmunitas humoral sedangkan sel T berguna untuk imunitas selular.

Sel T dan sel B suatu saat melakukan interaksi dan ”berkomunikasi”. Dialog kedua sel itu lalu terjadi, namun dengan kondisi yang terkontrol (Nature, 3 Februari 1994).

Apabila seseorang mengalami depresi, sistem hormonalnya terlibat. Orang yang sangat depresi, menunjukkan jumlah hormon kortisol terus menerus tinggi di aliran darahnya. Itu berarti ada suatu keadaan tak terkontrol.

Apabila depresi terjadi, kelenjar hipotalamus terangsang mengeluarkan corticotropin-releasing hormon (CRH). Selanjutnya zat ini menstimulasi kelenjar pituitari untuk menghasilkan hormon adrenocorticotropin yang tersirkulasi bersama kortisol.

Proses ini secara normalnya akan berhenti sendiri bila kelebihan kortisol mencapai reseptornya (glukocorticoid receptor) di otak dan menekan produksi CRH. Dari penelitian ahli neurologi Gold, ditemukan pada pasien yang mengalami depresi produksi CRH terlalu banyak/ berlebihan.

Kaitan antara pikiran dan kesehatan jiwa masih belum banyak terkuak dari tinjauan biokimia. Walaupun demikian, riset yang dilakukan sangat membantu menguak misteri ini.

Sebagian misteri itu bisa kita renungkan keberadaannya, bila kita mengikuti anjuran psikolog Cohen. Ia pernah bilang bahwa teman-teman yang baik dan hubungan yang erat dengan sanak kerabat memberi sumbangan yang sangat berarti untuk mengurangi stres.

Markus G. Subiyakto, sarjana biokimia

Sumber: KOMPAS, MINGGU, 9 Oktober 1995

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 24 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB