CATATAN IPTEK
Spesimen nyamuk Aedes aegypti yang disimpan di gedung biorepository Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (23/2/2016).
Setiap tahun kita selalu ”merayakan” berjangkitnya kembali demam berdarah. Saat ada yang demam tinggi, reaksi yang muncul yakni ”DBD?”. Nyaris tanpa empati karena dianggap biasa. Menderita demam berdarah dengue tidak lagi merupakan hal menakutkan. Seakan wajar saja.Peneliti dari Brown University School of Public Health, Joseph L Servadio dan rekan, menuliskan, penyakit yang ditularkan vektor menelan korban hingga 1 juta jiwa setahun. Dari semua penyakit yang ditularkan vektor, dengue paling menonjol. Vektor dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti—berasal dari Afrika dan Aedes albopictus asal Asia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah penderita kasus DBD menjadi 30 kali dalam 50 tahun terakhir. Tahun 2010, ada sekitar 390 juta orang terkena dengue dan 100 juta orang di antaranya harus dirawat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini selain faktor klasik: globalisasi, perdagangan, perjalanan antardaerah/negara, dan demografi, faktor perubahan iklim memicu makin banyak penderita dengue. Perpindahan manusia yang terinfeksi virus dengue (DENV) menjadi faktor yang sulit diprediksi. Tahun 2014, misalnya, terjadi wabah dengue di Tokyo setelah 70 tahun Jepang dinyatakan bebas dengue.
Pengaruh iklim jadi signifikan karena penyebab penyakit itu lebih banyak di luar tubuh manusia. Faktor penyebab penyakit yang dominan, yakni vektor, daur hidupnya ada di luar tubuh manusia dan pertumbuhannya, siklus hidupnya dipengaruhi faktor iklim: kelembaban dan suhu udara selain faktor air.
Vektor DBD, nyamuk Aedes, sensitif pada kelembaban dan suhu. Servadio melakukan riset untuk memeriksa korelasi kuat meningkatnya suhu ambien dan curah hujan dengan peluang terjadi wabah. Ia mengambil data dari stasiun meteorologi di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang dipasangkan dengan data penderita dengue.
Dari riset Servadio, peluang terbesar terjadi wabah dengue yaitu pada suhu rata-rata 33,5 derajat celsius dan curah hujan 650 milimeter. Peningkatan suhu dari suhu rendah akan meningkatkan populasi nyamuk. Namun, kenaikan suhu pada suhu 33,5 derajat celsius justru mengurangi populasi vektor.
Iklim dan cuaca tak hanya memengaruhi siklus hidup Aedes, tetapi juga memengaruhi hidup DENV. Temperatur jadi faktor penting pada tingkat jumlah nyamuk melakukan gigitan, perkembangan DENV dalam tubuh nyamuk, telur, dan pertumbuhan proses pendewasaan nyamuk, serta tingkat ketahanan hidup nyamuk di setiap tahapan siklus hidupnya.
Perbedaan suhu tertinggi dan suhu terendah (range) suhu harian (diurnal) memengaruhi tingkat penularan. Korelasi peningkatan suhu dan tingkat penularan oleh nyamuk cukup kompleks.
Pada rata-rata suhu harian sekitar 30 derajat celsius dengan cakupan (range) suhu kecil tak terlalu memengaruhi kemampuan nyamuk menginfeksi. Namun, perbedaan suhu harian tinggi pada rata-rata suhu 20 derajat celsius meningkatkan kemampuan menginfeksi nyamuk hingga 60 persen. Peneliti dari Departemen Epidemiologi dan Kesehatan Global Umea University, Swedia, Jing Helmersson, menyimpulkan, range suhu tinggi di rata-rata suhu rendah ataupun suhu ekstrem tinggi meningkatkan potensi epidemik dengue.
Berpegang pada hasil-hasil riset itu, langkah peringatan dini perlu dilakukan seiring pengendalian vektor di berbagai lini. Perilaku kita bisa diselaraskan dengan perilaku nyamuk. Sementara perbedaan suhu terendah dan tertinggi harian bisa ekstrem di masa pergeseran iklim. Semoga di masa depan kita bisa berhenti ”merayakan” berjangkitnya dengue.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 27 Februari 2019