Periksa Fakta

- Editor

Kamis, 21 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kehidupan jurnalisme hari ini berhadapan dengan aliran informasi yang tak putus-putus, tetapi dari aliran informasi tersebut banyak yang masih harus diperiksa lagi kebenarannya. Kegiatan periksa fakta di sini jadi suatu kegiatan yang perlu serius dilakukan atas sejumlah informasi yang kadang meragukan atau penuh klaim oleh pihak tertentu, terutama para politisi.

Kegiatan periksa fakta sebenarnya kegiatan yang sudah lama, terutama di sejumlah media tua di Barat, seperti majalah Time di Amerika Serikat dan majalah Der Spiegel di Jerman. Namun, kegiatan periksa fakta yang awal ini dalam rangka untuk memeriksa laporan wartawan, seberapa cermat wartawan mengumpulkan informasinya, dan memastikan kebenaran atau akurasi dari informasi yang didapatkannya. Majalah Time dan Der Spiegel pernah menginvestasikan banyak orang untuk kepentingan pemeriksaan fakta tersebut.

Melawan hoaks
Penjelasan soal periksa fakta ini terangkum dalam buku Journalism, Fake News & Disinformation: Handbook for Journalism Education and Training yang dikeluarkan oleh UNESCO (2018). Buku pegangan ini sebentar lagi akan keluar dalam edisi bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Buku panduan dari UNESCO ini menekankan bahwa kegiatan periksa fakta pada hari ini adalah dalam upaya untuk mematahkan hoaks (buku ini lebih menyukai istilah disinformasi daripada istilah fake news karena dianggap istilah tersebut mengandung kontradiksi di dalamnya) dan juga untuk menanggapi komentar-komentar yang banyak muncul dari publik terhadap suatu konten tertentu (user generated content).

Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan dalam memeriksa fakta tersebut. Pertama, melihat dan mencari mana saja informasi yang perlu diperiksa kembali faktanya; baik yang tersebar lewat media mainstream maupun media online ataupun lewat media sosial. Kedua, mencari fakta yang sesungguhnya. Ketiga, memperbaiki catatan yang ada. Lembaga yang melakukan pemeriksaan fakta harus transparan jika ingin dipercaya publik. Transparan terkait dengan metode pemeriksaan fakta yang dilakukan.

Di level dunia, para lembaga pemeriksa fakta ini tergabung dalam IFCN (International Fact-Checking Network) dan memiliki kode etik sendiri. IFCN sendiri sudah berdiri sejak tahun 2000 dan berbasis di kota Kiel, Jerman. Beberapa media di Indonesia ada yang sudah tergabung dalam jaringan internasional ini, seperti Tirto.id, Liputan6.com, Kompas.com, Tempo, dan turnbackhoax.id (Mafindo).

Di luar lembaga internasional ini, beberapa lembaga sejenis juga muncul di Indonesia dan melakukan kegiatan yang sama: memeriksa apakah informasi atau peristiwa tertentu dapat dipercaya atau tidak. Lembaga seperti Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) juga memiliki layanan untuk kita memeriksa apakah klaim-klaim yang dilakukan oleh para politisi dapat dipercaya atau tidak. Sejumlah media pun (sampai Februari 2019 ada 25 media) bergabung mendirikan cekfakta.com yang berafiliasi dengan kelompok bernama First Draft (firstdraftnews.org).

Tantangan Pemilu 2019
Banyak pihak sudah mengatakan bahwa salah satu tantangan berat dari pemilu tahun ini adalah beredarnya hoaks yang membuat saluran informasi ibaratnya penuh dengan sampah, penuh dengan niat buruk, dan motif untuk menjatuhkan lawan politik.

Dalam kondisi ini, keberadaan para pemeriksa fakta dan hasil kerjanya sangat dinantikan oleh publik. Kita pun menyayangkan bahwa Pemilu 2019 makin mempertajam polarisasi yang terjadi dalam masyarakat, terutama akibat penyebaran disinformasi dengan maksud- maksud menjatuhkan pihak lawan.

Damar Juniarto, pemimpin Safenet, dalam sebuah pertemuan menyebutkan adanya pola pembuatan dan penyebaran disinformasi ini. Damar menyebutkan rumus 1-3-9, yang merujuk pada pembuat disinformasi dilakukan oleh 1-2 orang saja, tetapi kemudian mereka menyebarkannya kepada 3-4 orang yang menjadi rekan tepercaya, dan lapis ini kemudian menyebarkannya lagi pada 9-10 dan seterusnya. Itulah mekanisme kerja pembuatan dan penyebaran disinformasi yang marak di tengah masyarakat.

Membuat disinformasi sangatlah mudah, tetapi memadamkan dampak dari disinformasi membutuhkan kerja keras yang tak sedikit. Belum lagi satu disinformasi berhasil diklarifikasi, sudah muncul disinformasi lain lagi. Namun, kita juga melihat ada fenomena yang disebut pasca-kebenaran (post truth) di mana ada sekelompok masyarakat yang tetap berpegang teguh pada kepercayaannya akan sesuatu hal walau kepadanya telah ditunjukkan fakta-fakta yang berbeda.

Perjuangan melawan disinformasi akan mirip dengan yang dilakukan oleh Sisipus yang terus mendorong batu besar ke arah gunung, sementara setelah batu ada di atas, ia akan terus kembali menggelundung ke bawah. Apakah kerja para pemeriksa fakta akan seperti yang dilakukan Sisipus dalam legenda Yunani tersebut? Bisa ya, bisa juga tidak. Bisa ya jika pemeriksaan fakta dilihat semata sebagai upaya memadamkan api dari disinformasi yang telah disebarkan.

Kondisi ini bisa menjadi tidak jika yang dilakukan bukan semata memadamkan api disinformasi, melainkan juga melengkapi masyarakat dengan suatu kemampuan mengenali api serta mengetahui manfaat dan kerugian dari api tersebut. Api bisa dipakai untuk memasak, menghangatkan tubuh, dan menjadi alat penerang. Api yang tidak terkontrol akan bisa membakar seisi hutan—seperti yang belum lama ini terjadi di California, Amerika Serikat— api yang berlebihan malah akan merepotkan manusia.

Dengan begitu, pelajaran mengenal api dan segala risikonya harus diketahui manusia. Dalam aplikasinya dengan konteks kita membicarakan soal disinformasi, maka masyarakat perlu makin banyak mengetahui cara menerima, memproduksi, dan mengonsumsi informasi. Tak semua yang beredar di dunia maya ataupun lewat media sosial adalah hal yang sudah terverifikasi atau terbukti akurat. Siapa pun yang mendapatkan informasi wajib memeriksa kebenarannya sebelum melemparkannya kepada orang lain. Itu kemampuan dasar dari melek media (media literacy) yang harus dimiliki banyak orang.

Lebih jauh dari itu, kemampuan melek media ini sudah seharusnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional agar mereka yang menggunakan gadget dalam usia muda juga dilengkapi dengan kemampuan untuk memilah dan mengolah informasi dengan lebih bijak. Memeriksa fakta adalah salah satu elemen dasar dari kemampuan melek media ini agar kita jadi lebih bisa memilah informasi akurat dan tidak akurat, terutama dalam masa kampanye pemilu saat ini yang penuh dengan informasi yang tidak bertanggung jawab.

Ignatius Haryanto Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

Sumber: Kompas, 21 Februari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB