Banyak orang menjadikan diet yang lebih baik sebagai resolusi tahun baru. Selain untuk menjaga kesehatan, diet juga dilakukan untuk memperoleh berat dan bentuk tubuh ideal. Selain mengatur pola makan, berbagai program latihan fisik pun dirancang hingga mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Namun, adakah yang memiliki resolusi diet gawai tahun ini?
Tanpa disadari, gawai telah mengambil banyak waktu manusia modern. Sejak mata terbuka saat bangun tidur hingga tidur kembali, gawai selalu menemani. Waktu kerja, belajar, ibadah, hingga tidur dan beraktivitas fisik pun banyak teralihkan demi gawai.
Bahkan di saat santai, berlibur, berkumpul bersama keluarga atau kawan, hingga pada sebagian orang saat berhubungan suami-isteri, gawai sulit lepas dari tangan. Tak hanya kehilangan momentum menikmati kebersamaan bersama orang-orang tercinta, gawai juga menciptakan relasi semu dan abai dengan sekitar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO–Gawai menjadi medium bagi anak muda untuk bergaul. Meski sedang makan dan berkumpul bersama kawan, gawai sulit dilepaskan.
Banyak orang sadar, gawai telah menguasai hidup mereka. Namun, melepaskan diri dari ketergantungan terhadap gawai bukan perkara mudah. Banyak yang mencoba untuk sekedar mengurangi penggunaan gawai, namun lebih banyak yang belum berhasil.
Kegagalan itu bukan hanya karena sudah terjerat candu gawai, namun juga karena lingkungan kerja dan pergaulan yang juga bergantung pada piranti yang baru marak digunakan dua dekade terakhir.
Audrey (38), perempuan asal Bandung, Jawa Barat, memang tidak menjadikan diet gawai sebagai resolusinya tahun ini. Namun, tahun lalu, ia pernah melakukannya dengan menutup sejumlah aplikasi chatting alias percakapan miliknya.
Dari rencana dua minggu, ia mampu bertahan lima hari. “Keperluan pekerjaan yang memaksa membuka kembali aplikasi chatting,” katanya, Jumat (4/1/2019).
Audrey pernah memiliki sembilan aplikasi chatting, mulai dari WhatsApp, Telegram, Facebook Messenger, Skype, Google Hangouts, Slack, Discord, Basecamp, dan Zoom. Pekerjaannya sebagai penulis paruh waktu untuk sejumlah program internasional memaksanya mengunduh berbagai aplikasi chatting itu sesuai dengan yang digunakan di kantor tempatnya bekerja.
Di sejumlah negara, lanjut Audrey, aplikasi percakapan umumnya digunakan seperlunya. Jenisnya pun beragam, tidak didominasi seperti WhatsApp di Indonesia. Untuk pengiriman dokumen kerja, selalu menggunakan surat elektronik. Namun di Indonesia, hampir semua dokumen kerja dikirim melalui aplikasi percakapan hingga tercampur baur dengan obrolan pribadi, candaan, gosip, hingga propaganda politik. “Banyak dan beragamnya obrolan di apliksi chatting itu membuat saturasi terhadap telepon seluler,” katanya.
Selain itu, persoalan kesehatan juga jadi pertimbangannya untuk jeda sejenak terhadap gawai. Matanya yang minus 9,5 dan silinder makin memburuk karena tingginya intensitas menatap layar monitor. Belum lagi pundak dan lehernya jadi mudah kaku dan sakit akibat terlalu lama menunduk memelototi layar ponsel.
“Saat ini menjaga jarak saja. Nanti kalau dibutuhkan lagi, tinggal dimatikan aplikasi chatting-nya,” katanya.
Kesadaran untuk membatasi penggunaan gawai juga dialami Cucun (40), perempuan yang bekerja sebagai penerjemah asal Kabupaten Bandung Barat. Ketergantungannya pada gawai untuk memantau media sosial, aplikasi percakapan plus beriman gim memang tidak sebesar Audrey. Namun, itu sudah membuat dia kehilangan banyak waktu menekuni hobinya, membaca dan menggambar.
“Membaca e-book di ponsel memang sangat membantu saat menunggu, namun tetap jauh lebih nyaman membaca buku yang sesungguhnya,” katanya.
Cucun mengaku sudah berencana mengurangi pemakaian gawai sejak beberapa bulan lalu, tanpa tergantung momentum seperti tahun baru yang baru berlalu. Nyatanya hingga kini tetap sulit dilakukan hingga akhirnya ia masih lebih sering membaca e-book daripada buku sebenarnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Anak-anak menggunakan gawai untuk bermain di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2017). Penggunaan gawai kini tak didominasi anak-anak di perkotaan. Mereka yang tinggal di perdesaan pun sudah akrab dan cakap dengan gawai.
Jika mengendalikan hasrat diri untuk menggunakan gawai sulit, membatasi penggunaan gawai pada anak jauh lebih rumit. Banyak orangtua sadar, gawai membuat anak kurang beraktivitas fisik, kemampuan emosi dan sosialnya tak terbangun, menyebabkan gangguan tidur hingga memicu kegemukan.
Namun, membangun kesepakatan dengan anak soal penggunaan gawai memang tak mudah. Akhirnya, banyak orangtua menggunakan kuasanya demi memaksa anak mengurangi penggunaan gawai.
“Anak-anak memang protes, yang penting ibu harus tetap tegas,” tambah Cucun. Sikap itu mulai membuahkan hasil karena anaknya yang masih berumur 9 tahun sudah mulai suka membaca novel.
Global
Penggunaan gawai yang berlebihan adalah fenomena global. Survei GlobalWebIndex 2017 di 34 negara menunjukkan rata-rata penggunaan internet mencapai 6,5 jam sehari. Namun di Brasil bisa mencapai lebih dari 9 jam per hari. Sementara di Thailand, Filipina, Indonesia dan Malaysia mencapai 8-9 jam sehari.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Sekelompok anak-anak menyusun permainan “bricks” di RPTRA Rusun Komarudin, Jakarta, Selasa (24/7/2018). Permainan “bricks” yang tersedia di RPTRA dan dapat dimainkan oleh semua anak dapat menjadi alternatif bermain yang merangsang kreatifitas serta mengurangi demam gawai yang kini tengah melanda generasi belia, terutama di perkotaan.
Segala sesuatu yang berlebihan umumnya memiliki kelemahan. Namun kelebihan waktu atas pemakain gawai belum jadi perhatian masyarakat.
Berbagai gejala atau peningkatan keparahan penyakit akibat penggunaan gawai dan internet berlebih dan tidak terkendali alias obsesif memang sudah dilaporkan di berbagai negara. Namun untuk mengkategorisasikannya sebagai penyakit, butuh penelitian lebih dalam dan luas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru mengklasifikasikan gangguan bermain gim (gaming disorder) baik vidio gim maupun gim daring sebagai penyakit pada September 2018. Sedangkan kecanduan internet belum masuk.
“Penggunaan teknologi makin dikaitkan dengan peningkatan kecemasan, depresi, gangguan citra tubuh dan gangguan kecanduan internet yang saat ini sudah berubah menjadi diagnosis medis,” kata psikiater Kanada yang fokus pada persoalan kecanduan Shimi Kang, seperti dikutip BBC, Kamis (27/12/2018).
Sama seperti jenis makanan yang berpengaruh pada kesehatan fisik, penggunaan teknologi tertentu juga bisa memengaruhi otak seseorang. Dampak atas penggunaan setiap teknologi tidaklah sama. Namun yang paling menentukan adalah bagaimana teknologi tersebut digunakan.
“Teknologi sehat adalah teknologi yang ketika digunakan akan meningkatkan metabolisme serotonin, endorfin serta oksitosin di otak,” kata Kang. Penggunaan teknologi akan memberi makna jika membuat seseorang kreatif (serotonin), mampu meredakan stres dan membuat gembira (endorfin), atau menghasilkan hubungan yang bermakna (oksitosin).
Karena itu, penggunaan aplikasi yang membuat seseorang kreatif, terhubung dengan orang lain atau aplikasi meditasi dan olahraga bisa termasuk aplikasi yang sehat. Namun penggunaan aplikasi itu bisa menjadi tidak sehat jika berlebihan karena menimbulkan kecanduan (dopamin).
Sebagai gambaran, lanjut Kang, penggunaan aplikasi pengedit film atau video sesungguhnya membuat seseorang kreatif. Namun jika digunakan terlalu lama, 6-7 jam sehari, maka perlu diwaspadai.
“Meski bukan ‘teknologi sampah’, batasan penggunaanya perlu didefinisikan secara hati-hati,” katanya.
Sementara penggunaan aplikasi teknologi yang dianggap sampah adalah yang benar-benar menghasilkan racun otak bagi penggunanya, seperti pornografi, perundungan, perjudian, percakapan yang mengandung ujaran kebencian, hingga permainan video gim yang menimbulkan kecanduan.
Membatasi
Sama seperti diet untuk menjaga kesehatan fisik, konsumsi gula, garam dan lemak memang perlu dibatasi. Namun tidak ada salah jika sesekali mengonsumsinya, misalnya pada akhir pekan. Demikian pula dalam diet gawai. Sesekali menggulirkan akun media sosial atau percakapan masih dianggap wajar.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Pelari dari berbagai daerah seperti Padang, Sawahlunto, Kota Solok, dan Bukittinggi mengikuti lomba lari bertajuk “Fun Run 5k for Donation” yang diadakan di Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Padang, Minggu (30/12/2018). Aktivitas fisik dan hobi perlu lebih banyak dilakukan agar tidak tergantung pada penggunaan gawai.
Namun, sama seperti penderita diabetes melitus atau tekanan darah tinggi yang membutuhkan kontrol lebih ketat terhadap konsumsi gula dan garam, maka demikian pula pada pengguna internet.
“Jika seseorang memiliki riwayat keluarga atas gangguan kecemasan, depresi, kecanduan hingga manajemen waktu, maka mereka juga perlu ekstra hati-hati menggunakan internet karena membuat mereka lebih mudah mengalami gangguan itu,” katanya.
Remaja memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami masalah dengan internet. Selain penggunaan internet mereka lebih intensif dan lebih lama dibanding orang dewasa, otak mereka juga belum sepenuhnya berkembang. Karena itu, penggunaan gawai pada remaja perlu dicermati secara ketat dan tentu dengan contoh atau teladan dari orangtua dan orang dewasa di sekitarnya.
Diet gawai sejatinya juga akan membuat kita melakukan detoksifikasi digital. Diet itu bisa dilakukan dengan menutup akun media sosial, menghapus aplikasi hingga mengurangi waktu beraktivitas di depan monitor. Bisa juga dengan sejenak meninggalkan gawai saat sedang melakukan hobi, beraktivitas fisik, atau berkumpul bersama keluarga dan kawan.
“Penggunaan teknologi yang baik perlu tetap memperhitungan kebutuhan dasar manusia yang lain, seperti tidur delapan jam pada malam hari atau aktif bergerak 2-3 jam per hari,” tambahnya.-M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 6 Januari 2019