Kejadian tsunami 22 Desember 2018 di sekitar Selat Sunda mengejutkan banyak pihak. Tsunami yang sempat disangka sebagai terjangan gelombang tinggi ini terjadi tanpa pertanda. Tak ada gempa bumi yang mendahului dan tak ada perubahan signifikan dari aktivitas Gunung Anak Krakatau yang terpantau. Air laut menerjang tiba-tiba. Ratusan orang menjadi korban meninggal dan luka-luka karena tsunami ini melanda pantai-pantai tujuan wisata di Banten maupun Lampung.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menduga tsunami ini berkaitan dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau dan bulan purnama. Meski Gunung Anak Krakatau memang sedang aktif, selama ini guguran material letusannya lebih banyak jatuh di daratan tubuh Anak Krakatau dan sedikit sekali yang mencapai laut.
Dari waktu datangnya gelombang di sekitar Selat Sunda tampaknya tsunami ini tak bersumber dari sekitar Anak Krakatau. Tsunami ini kemungkinan tak terkait longsoran bawah laut maupun akibat aktivitas Anak Krakatau. Ini mungkin terkait fenomena tsunami yang baru pertama terjadi sepanjang sejarah Indonesia, yaitu meteotsunami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan informasi dari BMKG, tide-gauge—alat pencatat gelombang—Serang di Pantai Jambu, Desa Bulakan, Cinangka, yang berjarak sekitar 46 km dari Anak Krakatau, mencatat kenaikan tinggi gelombang 0,9 meter pada pukul 21.27 WIB. Tide-gauge Banten di Pelabuhan Ciwandan yang berjarak sekitar 60 km mencatat kenaikan air laut 0,35 meter pada pukul 21.33 WIB. Tide-gauge Kota Agung di Desa Kota Agung, Kota Agung, Lampung, sekitar 113 km dari Anak Krakatau mencatat kenaikan air laut 0,36 meter pada pukul 21.35 WIB. Tide-gauge Pelabuhan Panjang, Kota Bandar Lampung, sekitar 70 km dari Anak Krakatau mencatat kenaikan air laut 0,28 meter pada 21.53 WIB.
Gelombang tsunami terjadi jika ada gangguan terhadap kolom air laut. Gangguan ini umumnya bersumber dari perubahan bentuk dasar samudra yang ada di bawah kolom air. Gempa bumi, longsor bawah laut, dan letusan gunung berapi bawah laut, misalnya, mengakibatkan gangguan terhadap bentuk dasar samudra. Gangguan ini mendorong kolom air laut yang ada di atasnya sehingga terbentuklah benih gelombang tsunami di permukaan samudra. Gelombang di permukaan ini kemudian menyebar ke segala arah, termasuk ke daratan, sehingga memicu terjadinya gelombang tsunami di daratan.
Ada juga gelombang tsunami yang dipicu oleh terganggunya kolom air laut akibat gangguan di permukaan atau di atas permukaan air laut, misalnya tsunami akibat jatuhnya benda langit (meteor/asteroid) ke laut, masuknya jatuhan material panas gunung api ke laut seperti yang terjadi pada saat Gunung Tambora meletus pada 1815, dan fenomena tsunami yang dikenal sebagai meteotsunami.
Gangguan tekanan udara
Meteotsunami adalah tsunami yang dipicu gangguan terhadap tekanan udara/atmosfer yang ada di atas permukaan laut/samudra. Perubahan tekanan atmosfer memicu terbentuknya anomali aliran gelombang udara. Ketika gelombang udara ini bertemu dengan gelombang air laut yang memiliki kecepatan sama, pada titik itu terjadilah resonansi gelombang sehingga gelombang udara menyatu dengan gelombang air laut, bergerak bersamaan dan seolah mendorong gelombang air ke daratan.
Fenomena meteotsunami beberapa kali terjadi di Laut Adriatik, Laut Mediterania, dan pantai timur Amerika. Fenomena serupa juga pernah terjadi di Teluk Nagasaki, Jepang, pada 1979, memicu gelombang setinggi 5 meter, dan di New Jersey (AS) pada 2013. Energi dan ketinggian meteotsunami umumnya jauh lebih kecil daripada tsunami akibat gempa bumi. Meski demikian, meteotsunami ini pada banyak kasus mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap fasilitas-fasilitas pelabuhan. Gelombang meteotsunami tertinggi terjadi pada tahun 1978 di Vela Luka, Kroasia, memicu gelombang setinggi lebih dari 6 meter.
Meteotsunami sangat terkait fenomena gangguan cuaca. Sayangnya, cuaca di Indonesia sudah sedemikian tak menentu akibat perubahan iklim. Angin puting beliung yang dulu sangat jarang terjadi menjadi sangat sering melanda wilayah Indonesia, bukan saja di musim hujan, melainkan juga di musim kemarau.
Dari sudut pandang ancaman meteotsunami di Indonesia, peningkatan frekuensi gangguan cuaca yang cukup sering ini semestinya disikapi dengan penuh kewaspadaan. Fenomena meteotsunami di Selat Sunda melengkapi khazanah tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu tsunami yang dipicu gempa bumi di dasar samudra, tsunami yang dipicu letusan gunung berapi, tsunami yang dipicu longsoran bawah laut, tsunami yang kemungkinan dipicu likuefaksi di tepi laut seperti baru saja terjadi di Palu, dan meteotsunami yang terjadi di Selat Sunda.
Begitu lengkapnya khazanah tsunami di Indonesia seolah mengingatkan kepada pemerintah (pusat dan daerah) serta masyarakat tentang penting dan mendesaknya penataan ruang wilayah pantai dengan memperhatikan berbagai jenis ancaman tsunami ini. Evaluasi terhadap sistem peringatan dini tsunami Indonesia perlu segera dilakukan dengan memerhatikan berbagai jenis ancaman tsunami tersebut.
Eko Yulianto Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI; Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan
Sumber: Kompas, 27 Desember 2018