Pertengahan Agustus lalu, peneliti Amerika Serikat memublikasikan risetnya tentang diet rendah karbohidrat yang meningkatkan risiko kematian dini di The Lancet Public Health. Studi terbaru yang dilakukan peneliti Polandia, juga menunjukkan hal yang sama.
Studi awal yang dilakukan Maciej Banach dari Universitas Kedokteran Lodz, Polandia menunjukkan orang yang menjalani diet rendah karbohidrat, seperti diet Atkins, diet keto atau hanya memangkas porsi karbohidrat, memiliki risiko kematian 32 persen lebih tinggi dibanding yang tak mengikuti diet karbohidrat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Aktivitas di dapur Healthybox di kawasan Mampang, Jakarta, Jumat (28/7). Healthybox merupakan katering makanan sehat yang menawarkan berbagai macam program personal katering untuk memenuhi asupan, serta memiliki menu yang bervariasi dengan rasa yang sangat beragam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diet Atkins adalah menghindari makanan tinggi karbohidrat, tapi tidak membatasi asupan protein dan lemak. Sementara diet keto adalah membatasi asupa karbohidrat namun bebas mengonsumi makanan berlemak.
Hasil yang dipresentasikan dalam Kongres Masyarakat Kardiologi Eropa (European Society of Cardiology) di Wina, Austria, Selasa (28/8/2018) juga menemukan orang dengan diet rendah karbohidrat berisiko meninggal 51 persen lebih besar karena penyakit jantung, 50 persen akibat penyakit serebrovaskular (pembuluh darah di otak), dan 35 persen akibat kanker dibanding yang tidak mengikuti diet rendah karbohidrat.
“Pesan penelitian ini jelas, diet rendah karbohidrat dalam jangka panjang harus dihindari,” katanya kepada Live Science.
Riset Banach itu menggunakan data hampir 25.000 orang Amerika Serikat yang terlibat dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES) Amerika Serikat antara 1999-2010. Salah satu pertanyaan untuk responden adalah mereka diminta melaporkan diet yang sedang dijalani. Selanjutnya, kondisi kesehatan mereka dipantau selama enam tahun dan hasilnya seperti yang telah dipaparkan.
Enam tahun
Meski demikian, riset yang dilakukan Banach itu memiliki keterbatasan. Periode pemantauan kondisi kesehatan responden hanya berlangsung selama enam tahun. Data pola diet itu juga hanya mengandalkan laporan responden NHANES pada satu waktu saja.
Direktur Laboratorium Nutrisi Kardiovaskuler Universitas Tufts, Medford, Massachusetts, AS Alice Lichtenstein yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan banyak kekurangan dalam riset yang dilakukan Banach. Karena itu, ia memilih bersikap skeptis dengan hasil penelitiannya.
Orang yang sudah memiliki risiko tinggi terkena penyakit jantung, stroke atau hipertensi memang lebih berpeluang mengadopsi diet rendah karbohidrat. Namun, kondisi ini tidak terjelaskan dalam riset Banach. Di sisi lain, hubungan antara diet rendah karbohidrat dan risiko meninggal lebih dini hanya bersifat asosiatif atau saling terkait saja, tak menunjukkan hubungan sebab akibat.
Hal itu berarti responden yang mengadopsi diet rendah karbohidrat bisa jadi sudah memiliki kondisi kesehatan lebih rendah dibanding populasi umum. Dengan demikian, hubungan antara diet rendah karbohidrat dengan lebih tingginya risiko kematian lebih karena kondisi kesehatan mereka lebih buruk, bukan karena pola dietnya.
Meski demikian, Lichtenstein tidak merekomendasikan diet rendah karbohidrat untuk kebanyakan orang karena orang-orang sulit untuk mematuhinya. “Orang harus berpikir jangka panjang, daripada jangka pendek. Pada beberapa kasus, diet yang ekstrem bisa menghambat interaksi sosial mereka karena munculnya rasa khawatir jika ingin bergaul dengan orang lain akan sulit menghindari godaan makanan,” ungkapnya.
Untuk itu, ia menyarankan diet yang sehat untuk semua orang bukanlah diet rendah karbohidrat atau diet sangat rendah lemak. Diet yang baik adalah dengan memperbanyak mengonsumsi buah, sayur, biji-bijian, ikan dan kacang-kacangan, serta membatasi konsumsi asupan dengan gula tambahan dan makanan yang mengandung lemak jenuh. Tentu, semua itu harus dikonsumsi dalam batas kalori yang sehat.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 1 September 2018