Gempa besar akibat Sesar Naik Flores telah terjadi enam kali sejak 1815. Hal ini menunjukkan, wilayah dari Laut Bali ke timur hingga Laut Flores memang rawan gempa.
”Gempa Lombok adalah hal yang biasa,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, di Jakarta, Jumat (10/8/2018).
Secara tektonik, Lombok termasuk kawasan seismik aktif sehingga berpotensi diguncang gempa karena terletak di antara dua pembangkit gempa dari selatan dan utara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagian selatan terdapat zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Pulau Lombok. Sementara di utara terdapat struktur geologi Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrusting).
SHARON UNTUK KOMPAS–Rangkaian gempa akibat Sesar Naik Flores yang dicatat oleh BMKG terjadi sejak 1815. Bagi Lombok, ini merupakan gempa pertama akibat Sesar Naik Flores.
”Sesar naik ini jalurnya memanjang dari Laut Bali ke timur hingga Laut Flores sehingga tidak heran jika Lombok memang rawan gempa karena jalur Sesar Naik Flores ini sangat dekat dengan Pulau Lombok,” kata Daryono.
Bagi Lombok, gempa yang terjadi akibat Sesar Naik Flores merupakan pengalaman pertama. Namun, gempa akibat Sesar Naik Flores sudah terjadi sejak 1815, yaitu pertama kali di Bali dengan kekuatan Magnitudo 7,0.
”Pada 1836 terjadi gempa di Bima dengan kekuatan Magnitudo 7,5. Lalu, gempa di utara Bali bagian timur dengan kekuatan Magnitudo 7,0 pada 1857. Setelah itu, pada 1976 terjadi gempa di Seririt (Singaraja, Bali) berkekuatan Magnitudo 6,5,” papar Daryono.
Pada 12 Desember 1992 terjadi gempa berkekuatan Magnitudo 7,8 di Pulau Babi, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Gempa dengan tsunami besar mencapai 30 meter menyebabkan korban meninggal lebih dari 2.500 orang. Setelah itu, gempa akibat Sesar Naik Flores terjadi di Lombok pada 29 Juli 2018.
Gempa Lombok
Berdasarkan catatan BMKG, data menunjukkan Pulau Lombok sering mengalami gempa merusak. Namun, penyebabnya bukan Sesar Naik Flores. Daryono mengatakan, penyebabnya bisa karena penunjaman lempeng Australia di selatan atau karena patahan lokal di Selat Bali.
Gempa dan tsunami pertama terjadi di Labuantereng, Lombok, 25 Juli 1856. Kemudian, pada 10 April 1978 terjadi gempa berkekuatan Magnitudo 6,7; pada 21 Mei 1979 gempa berkekuatan Magnitudo 5,7; pada 20 Oktober 1979 gempa berkekuatan Magnitudo 6,0.
”Gempa di Lombok juga terjadi pada 30 Mei 1979 dengan kekuatan Magnitudo 6,1, tercatat 37 orang meninggal. Pada 1 Januari 2000 terjadi gempa berkekuatan Magnitudo 6,1 yang menyebabkan 2.000 rumah rusak. Terjadi juga pada 22 Juni 2013 dengan kekuatan Magnitudo 5,4,” tutur Daryono.
Data catatan gempa dari BMKG, warga yang tinggal di Lombok memang harus lebih waspada terhadap gempa. Kesadaran dan pengetahuan harus dimiliki oleh warga sehingga dampak kerusakan dan korban jiwa dapat terus berkurang. (SHARON PATRICIA)–YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2018