Artikel Yinon Bar-On dkk pada ”Proceedings of the National Academy of Sciences” (PNAS) edisi 21 Mei 2018, memberikan rangkuman menarik. Bahwa, tumbuhan memiliki biomassa paling dominan di bumi (mencapai 450 gigaton karbon), tetapi nasib mereka di bumi ditentukan oleh manusia yang biomassanya hanya sekitar 0,06 gigaton atau 0,0001 bagian dari biomassa tumbuhan.
Nasib serupa juga dialami oleh hewan liar yang biomassanya 41 kali biomassa manusia. Hasil studi ini mengonfirmasi kajian sebelumnya yang menunjukkan hubungan berbanding terbalik antara pengurasan keanekaragaman hayati bumi dengan laju konsumsi manusia di segala bidang (Wilting dkk. 2017) dan ekspansi pertanian modern (Lanz dkk 2017). Hal ini memperkuat asumsi bahwa bumi kini telah berada pada era Antroposen, suatu era di mana kegiatan manusia mendominasi dan berdampak secara signifikan terhadap beragam proses alami yang terjadi di bumi sehingga menimbulkan perubahan ekologi global.
Istilah Antroposen (Anthropocene, sebagian ada yang menyebutnya Anthropozoic) pertama kali diperkenalkan oleh mendiang biologiwan Universitas Michigan, Profesor Eugene F Stoermer, dan dipopulerkan oleh Paul J Crutzen, penerima Nobel Kimia 1995. Dari perspektif geologi, bumi sebetulnya masih berada pada era Holosen, yaitu suatu era yang dimulai sekitar 11.700 tahun lalu ditandai berakhirnya zaman es.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Crutzen pada tahum 2000 menggunakan istilah Antroposen bagi era geologi yang didominasi oleh manusia. Era ini ditandai perubahan-perubahan signifikan ekologi global akibat pencemaran, perubahan muka bumi oleh perkotaan dan pertanian, kepunahan spesies dan invasi spesies asing, serta perubahan iklim.
Kapan era Antroposen dimulai? Artikel Simon Lewis dan Mark Maslin pada majalah Nature, edisi 12 Maret 2015, menyarankan era Antroposen dapat dimulai pada 1610 atau 1964. Pada 1610 terjadi penurunan drastis yang tidak biasa pada karbon dioksida atmosfer dan diiringi pertukaran spesies dari Dunia Lama (Eropa, Afrika, dan Asia) ke Dunia Baru (Amerika) melalui migrasi dan kolonisasi manusia. Sementara pada 1964, kandungan karbon-14 atmosfer mencapai puncaknya sebagai konsekuensi logis dari percobaan bom atom yang dilakukan pada dekade-dekade sejak Perang Dunia Kedua berakhir. Sejak dua penanggalan tersebut, kondisi biogeofisika kimia bumi berubah drastis menjadi berbeda dari sebelumnya.
Dari perspektif keanekaragaman hayati, kegiatan manusia pada kurun 500 tahun terakhir meningkatkan laju kepunahan spesies 1.000 kali dibandingkan dengan sebelum manusia mendominasi bumi (De Vos dkk, 2014). Sementara secara geologi, kegiatan manusia berdampak signifikan kepada siklus biogeokimia bumi. Proses Haber-Bosch, sebuah invensi awal abad ke-20 yang memungkinkan manusia mengonversi nitrogen atmosfer menjadi amonia untuk pupuk, telah mengganggu siklus nitrogen global sedemikian rupa sehingga kondisi saat ini mirip kondisi sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu (Canfield dkk 2010).
Sains keberlanjutan dan sampah plastik
Menyadari bahwa bila kegiatan manusia yang tak terkendali akan membawanya melewati titik kritis yang berujung runtuhnya sistem ekologi penunjang utama kehidupan manusia di bumi, para pihak yang khawatir dengan itu mengembangkan sebuah disiplin yang disebut sains keberlanjutan.
Laman PNAS mendefinisikan sains keberlanjutan sebagai ”… sebuah bidang riset yang berurusan dengan antaraksi antara sistem alam dan sistem sosial, dan bagaimana antaraksi itu memengaruhi tantangan yang dihadapi oleh keberlanjutan: memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan masa depan sambil mengurangi kemiskinan secara substansial dan mengonservasi sistem penunjang kehidupan planet Bumi.”
Karena persoalan dan tantangan yang dihadapi dan ditanganinya kompleks, saling mengait, berskala luas (dari lokal sampai global), sekaligus berupaya mengubah cara pikir dan perilaku manusia, maka sains keberlanjutan harus bersifat komprehensif dan transdisiplin. Sains keberlanjutan memadukan teori, sains terapan dan kebijakan, serta membangkitkan solusi hasil sintesis dari beragam bidang berbeda agar relevan dengan pembangunan di segala lini dan tingkatan (Bettencourt & Kaur 2011).
Selain mencari jalan keluar bagi persoalan dan tantangan berskala global, sains keberlanjutan juga bersifat prediktif dan preskriptif agar dampak negatif kegiatan manusia dapat dihindari sejak dini. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk menggunakan sains keberlanjutan sebagai basis dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Sampah plastik adalah contoh problem sejagad era Antroposen yang membutuhkan penanganan sains keberlanjutan yang komprehensif dan transdisiplin. Dampak negatif sampah plastik bagi ekosistem laut dan kehidupan yang disokongnya nyata dan sangat berat.
Selain pusaran arus bersampah yang teronggok di tengah bagian utara Samudra Pasifik yang didominasi oleh plastik
dengan ketebalan 3 meter,
berbobot 7 juta ton, dan berukuran sekitar 5,5 kali Pulau Jawa; sampah plastik—dalam bentuk plastik mikro—juga dilaporkan telah mencapai perairan laut kedua kutub. Diprediksi ia akan menggantikan 50 persen plankton laut sejagat dalam lima dekade sejak sekarang. Ini adalah bencana nyata yang harus ditangani dengan melibatkan beragam bidang secara serentak.
Bagi Indonesia, sains keberlanjutan tentu dapat digunakan untuk menyokong formulasi kebijakan dan perancangan intervensi secara serentak guna mengubah cara pikir dan perilaku terkait plastik pada masyarakat (pengguna), pemerintah (pembuat kebijakan), dan pengusaha/industri (produsen). Semua itu dalam rangka menepis tudingan sekaligus menyokong Indonesia yang berkelanjutan sampai akhir zaman.
Arisetiarso Soemodinoto Pekerja Konservasi pada Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, Bogor
Sumber: Kompas, 19 Juni 2018