Super komputer berbasis teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) telah memulai transformasi pelayanan kesehatan yang akan mengubah sepenuhnya wajah pelayanan medis masa depan.
Pada era artificial intelligence (AI), pelayanan kesehatan tak lagi mengandalkan dokter manusia semata, bahkan berpotensi menisbikan peran dokter. Abraham Verghese menyinggung meredupnya peran dokter di era AI dalam tulisan berjudul, ”How tech can turn doctors into clerical workers?” di The New York Times Magazine (16/5/2018)
Bagaimana mungkin dokter yang memiliki pengalaman klinis melalui kajian terus-menerus faal tubuh saat sehat dan sakit, berdiskusi dengan kolega, telaah literatur, serta melakukan penelitian dalam upaya menyajikan diagnosis dan terapi terbaik dapat tergantikan komputer?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mesin pembelajar
Perkembangan AI terjadi karena adanya super komputer yang berkemampuan berpikir, berperilaku, dan mengambil keputusan yang bahkan dapat melampaui kecerdasan manusia. Kemampuan ini dimungkinkan karena adanya mesin pembelajar (machine learning) dengan jaringan saraf tiruan (artificial neural network) yang dibenamkan dalam komputer itu sehingga sang komputer berfungsi bak otak manusia.
Spesifikasi lebih lanjut memungkinkan sang super komputer melakukan pendalaman pembelajaran (deep learning) karena adanya arsitektur jaringan saraf tiruan yang berlapis lapis (deep neural network). Super komputer demikian ini melalui algoritma yang dimiliki dapat menyerap data besar (big data), mencari tren dan pola, lalu memberikan wawasan berdasar pola tersebut sehingga sang komputer dapat memecahkan masalah medis secara mandiri tanpa keterlibatan manusia lagi.
Terapi personal
Teknologi AI telah menginfiltrasi bidang kesehatan dengan cepat dan membawa dampak yang luas. Pada 2017, Nvidia—perusahaan yang bergerak di bidang teknologi super komputer—mengidentifikasi lima perusahaan perintis (start up) berbasis AI dengan pengaruh sosial terbesar pada 2017 berasal dari bidang kedokteran. Lima perusahaan rintisan yang diproduksi berbagai negara itu meliputi sistem pencitraan canggih, analisis data medis, penemuan obat baru, dan riset penuaan.
Peran komputer berkapasitas tinggi pada pelayanan medis tak lagi terhindarkan karena adanya tuntutan efisiensi sistem kesehatan untuk mewujudkan presisi diagnostik dan terapi pada tataran personal (personalized medicine). Masyarakat akan sulit lagi menerima tenaga medis melakukan kesalahan diagnosis atau keterlambatan diagnosis. Di Amerika saja kesalahan medis tersebut terjadi pada 12 juta orang per tahun.
Banjir data digital medis, termasuk hasil pemetaan genetik tiga miliar nukleotida yang menyusun 100.000 gen dalam tubuh manusia, membuat dokter yang memiliki keterbatasan waktu akan kewalahan. Hasil penelitian baru yang hampir tiada henti bermunculan membutuhkan interpretasi canggih saat translasi ke tataran individu pasien. Hal demikian sulit dilakukan manusia. Pusat kesehatan terkemuka dan dokter paling ahli sekalipun tak sanggup memenuhi tuntutan kualitas tertinggi pelayanan pada tataran individu.
Pemanfaatan teknologi AI akan membantu setiap tahap pelayanan pasien; mulai dari riset, penemuan diagnosis, dan pilihan terapi. Hasilnya, pelayanan kedokteran akan lebih efisien, nyaman, lebih fokus pada tiap individu pasien dan mampu mencegah efek buruk paparan terapi.
Detektor penyakit
Sejumlah bukti memperlihatkan sistem AI lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan para ahli dalam deteksi berbagai bidang penyakit.
Tim dari Jerman, Perancis, dan Amerika mengembangkan sistem AI yang dapat lebih tajam mendeteksi kanker kulit dibandingkan dengan para ahli kulit (dermatologist). Para peneliti dari Universitas Nanjing, China, mengembangkan sistem algoritma dalam komputer yang sanggup mendiagnosis kanker prostat melebihi para ahli patologi.
Di New York, Memorial Sloan Kettering Cancer bekerja sama dengan perusahaan IBM mengembangkan Watson for Oncology untuk mengatasi berbagai jenis kanker. Komputer IBM ini memadukan seluruh jenis data spesifik pasien kanker dengan berbagai studi klinis mutakhir dan kemudian menawarkan berbagai tahapan terapi yang dapat dipilih dokter.
Di pusat kanker Universitas Texas, AS, komputer dengan program APOLLO menelaah data genetik setiap pasien kanker dan kemudian mengarahkan dokter untuk memberikan terapi yang berpeluang memberi harapan hidup lebih panjang.
Perusahaan perintis Enlitic menggunakan deep learning untuk menganalisis pencitraan radiografi, CT-scan, dan MRI. Melalui algoritma yang dimiliki, Enlitic melampaui kemampuan para ahli radiologi dalam mendeteksi dan mengklasifikasi tumor paru apakah jinak atau ganas.
Dalam bidang kesehatan mental, aplikasi berteknologi mesin pembelajar dapat mendeteksi pasien dengan keluhan dini depresi atau gangguan bipolar yang ahli jiwa terkemuka pun akan kesulitan mendiagnosis. Genetesis, alat pencitraan biomagnetik berbasis AI, mampu menghasilkan peta tiga dimensi jantung yang dapat memberitahu dokter dalam 90 detik apakah pasien sedang mengalami serangan jantung.
Terdapat berbagai perasat (pegangan) teknologi cerdas lain untuk kepentingan berbagai jenis penyakit. Pengembangan teknologi ini tampak akan terus berlanjut dengan fungsi yang lebih kompleks.
Kemajuan perkembangan AI pada pelayanan medis sedemikian rupa sehingga rumah sakit (RS) masa depan akan sepi dari staf dan pengunjung yang mondar-mandir karena RS hanya berupa gedung monitor tanpa ruang perawatan, kecuali untuk pasien kritis atau mereka yang perlu operasi. Ruang perawatan biasa telah berpindah ke rumah pasien masing-masing yang telah terlengkapi monitor pribadi melalui gawai masing-masing. Proliferasi sensor dari berbagai gawai, termasuk telepon seluler, memungkinkan pasien mendapatkan instruksi medis yang diperlukan dari dokter ”Watson”, sang super komputer.
Selamat datang dokter komputer!
Fauzi Yahya Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah; Tinggal di Bandung
Sumber: Kompas, 21 Juni 2018