Berawal dari kegundahan menyaksikan tahu-tahu berformalin di pasar, Akhmad Supriyatna (51) bersama murid-muridnya melakukan percobaan untuk membuat pengawet alami. Tak dinyana, permintaan yang begitu tinggi membuat Supriyatna terus menambah hasil kreativitasnya itu.
Padahal, pengawet yang disebut palata itu bermula dari eksperimen sederhana di laboratorium Sekolah Menengah Atas (SMA) Bina Putera. Sekolah di Desa Rancasumur, Kecamatan Kopo, Kabupaten Serang, Banten, itu didirikan Supriyatna pada tahun 2003. Inilah salah satu contoh kreativitas pembelajaran dari sebuah sekolah di daerah.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS–Akhmad Supriyatna dan beberapa muridnya meramu pengawet alami tahu atau palata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka mulai melakukan percobaan dengan menggunakan pisang, gula, sirsak, markisa, pepaya, dan singkong untuk mencari bahan terbaik. Hasil bumi itu difermentasikan dengan bakteri. Mereka jatuh bangun selama setahun hingga mendapatkan hasil terbaik pada awal 2015.
”Saya menggunakan tong untuk wadah percobaan. Palata akhirnya ditemukan. Arti nama itu sebenarnya sederhana,” ujarnya. Palata adalah singkatan dari pengawet alami tahu. Supriyatna masih harus bekerja keras. Para pengelola pabrik tahu perlu diyakinkan untuk menggunakan palata.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS–Pendiri Sekolah Menengah Atas Bina Putera, Akhmad Supriyatna (kedua dari kiri), bersama murid-muridnya membuat pengawet alami tahu atau palata di Desa Rancasumur, Kecamatan Kopo, Kabupaten Serang, Banten.
Tak mudah bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakan formalin dan beralih pada palata. Namun, Supriyatna tak mudah menyerah hingga para pengelola pabrik tahu menyaksikan kemanjuran palata. Bahkan, Supriyatna lambat laun kewalahan memenuhi permintaan mereka.
Pada pertengahan 2016, palata sudah dipakai sekitar 100 pabrik tahu. Produksi palata saat itu sekitar 500 liter per hari. Jumlah tersebut masih jauh dari potensi permintaan hingga 3.000 liter per hari. Palata masih diproduksi mengacu pada kebutuhan.
”Produksi itu masih dilakukan sebelum pengajuan izin kepada Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan). Namun, legalitas produk harus dijaga,” ujarnya. Kini, produksi palata rata-rata 800 liter per hari. Palata sudah diproduksi dengan skala industri. Supriyatna bermitra dengan dunia usaha di Jakarta.
”Kami bekerja sama dengan beberapa pihak. Namun, produksi saat ini pun masih direm. Terbatas karena sedang menempuh tahap untuk mendapatkan izin dari Badan POM,” ujarnya. Jika izin sudah diperoleh, produksi dapat ditingkatkan hingga 5.000 liter per hari.
Bentuk kreativitas lain SMA Bina Putera adalah mengolah kedelai menjadi tempe secara hemat energi. Bahan yang digunakan hampir sama dengan palata. Hanya bakteri yang diaplikasikan untuk mengolah tempe berfungsi melunakkan kedelai sehingga tak perlu lagi dimasak berjam-jam.
Murid-murid SMA Bina Putera juga ditanamkan untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Mereka, misalnya, menanam kangkung, bahkan menjual sayur itu ke pasar. Di sekolah yang berjarak 44 kilometer dari Kota Serang itu, murid-murid juga diajarkan menjahit.–DWI BAYU RADIUS
Sumber: kompas, 2 Mei 2018