Meningkatnya jumlah dosen bergelar S-2 dan S-3 belum sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan tinggi. Tradisi penelitian dan berpikir riset harus terus ditanamkan dan dikembangkan agar pendidikan tinggi Indonesia bisa berstandar internasional.
”Meningkatkan mutu pendidikan tinggi hanya bisa dilakukan apabila dosen sudah bergelar doktor karena penguasaan ilmunya mumpuni dan diiringi dengan kemampuan melakukan penelitian,” kata Direktur Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Syamsul Rizal ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/4/2018). Menurut dia, apabila dosen bergelar magister, ilmunya hanya sedikit lebih tinggi daripada mahasiswa.
Syamsul mengutarakan, perguruan tinggi (PT) boleh mengangkat magister menjadi dosen honorer. Apabila yang bersangkutan ingin menjadi dosen tetap, ia diwajibkan mengambil gelar doktoral yang sesuai dengan ilmu yang ia ampu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Selama magister tersebut menjadi dosen honorer, kinerja dan kepribadian ia juga dipantau untuk memastikan ia cocok sebagai dosen,” ujar Syamsul.
Berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2018 menyebutkan terdapat 249.255 dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta. Apabila ditambah dengan perguruan tinggi kedinasan dan keagamaan jumlahnya menjadi 286.848 dosen.
Apabila dicermati lebih dalam, rata-rata perguruan tinggi negeri (PTN) sudah memiliki 64 persen dosen yang bergelar magister. Sementara rata-rata provinsi memiliki dosen PTN bergelar doktor sebesar 23 persen. Provinsi dengan jumlah dosen PTN bergelar doktor terbanyak adalah Sulawesi Tengah dengan angka 45,7 persen.
Pada perguruan tinggi swasta, setiap provinsi umumnya hanya memiliki 4 persen dosen yang sudah bergelar doktor. Sebanyak 60 persen dosen bergelar magister. Sisanya hanya memiliki gelar sarjana.
”Namun tetap harus dipandang secara kritis gelar apakah gelar-gelar tersebut diperoleh dari perguruan tinggi yang bermutu ataupun bereputasi baik di dalam dan di luar negeri,” kata Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami di Jakarta, Senin (9/4). Selain itu, juga harus dicermati reputasi dosen tersebut dalam dunia akademik dan sumbangsihnya dalam membuat makalah ilmiah.
Menurut dia, investasi di sumber daya manusia perkuliahan merupakan hal pertama yang harus dilakukan diikuti dengam pembangunan sarana fisik dan jejaring berskala global.
Dosen tidak hanya wajib menguasai ilmu pengetahuan secara teknis, tetapi juga mengembangkan penelitian dan inovasi. Hal ini sudah terpatri dalam tridarma perguruan tinggi, yakni mendidik, melakukan penelitian, dan melakukan pelayanan kepada masyarakat.
Publikasi makalah
Kemampuan meneliti akan menghasilkan makalah-makalah bermutu yang dijadikan rujukan pada bidang tersebut oleh peneliti lain di seluruh dunia. Ukuran makalah yang baik ialah apabila terbit di jurnal-jurnal ilmiah terindeks Scopus.
Data Kemristek dan Dikti 2018 menunjukkan, terdapat sepuluh PTN yang makalahnya diterbitkan di Scopus. Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki jumlah terbanyak, yaitu 8.958 makalah. Dari segi makalah yang dikutip oleh akademisi dalam tataran global, Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi pemenang dengan jumlah 247.228 sitasi.
”Meskipun begitu, baru UGM, ITB, dan Universitas Indonesia yang masuk 500 besar dunia versi QS dan Times,” ujar Amich. Masuknya Indonesia ke dalam sistem ranking tersebut selain menaikkan gengsi pada taraf internasional juga membuktikan mutu pendidikan tinggi Indonesia kepada masyarakat dunia.
Ia mengatakan, dengan adanya investasi pemerintah di pendidikan tinggi, pusat-pusat penelitian akan berkembang. Orang-orang Indonesia yang lulus magister dan doktor dari perguruan tinggi di luar negeri pun akan tertarik untuk pulang dan mengembangkan budaya meneliti.
?Peraturan Menristek dan Dikti Nomor 20 tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor menegaskan bahwa melakukan penelitian dan diterbitkan di jurnal bereputasi baik kini merupakan kewajiban.
Mutu dosen di perguruan-perguruan tinggi tidak seragam.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti mengakui bahwa mutu dosen di perguruan-perguruan tinggi tidak seragam. ”Secara perlahan akan berubah dengan mengembangkan jejaring dan membangun sistem,” ujarnya.
Ia mengatakan, Peraturan Menristek dan Dikti No 44/2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang mewajibkan kualifikasi dosen minimal bergelar magister tidak sekadar mengangkat seorang individu yang lulus kuliah S-2. Linearitas ilmu, pengalaman selama proses pembelajaran, kompetensi memberi perkuliahan, dan jumlah publikasi ilmiah juga menjadi pertimbangan.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 10 April 2018