WAJAH dunia pendidikan tinggi kita kembali mendapat tamparan keras. Peristiwa terungkapnya praktik perjokian dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung kali ini terjadi di salah satu universitas terbaik di negeri ini, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Peristiwa memalukan ini terjadi di saat ujian seleksi masuk kelas internasional Fakultas Kedokteran UGM. Polres Sleman yang menerima laporan dari panitia pelaksana berhasil meringkus para peserta gadungan di tempat kejadian perkara. Lebih fantastisnya lagi, praktik perjokian kali ini tidak hanya dilakukan oleh segelintir oknum, namun diduga melibatkan 52 peserta ujian. Sejauh ini UGM merespons “tragedi akademik” ini dengan membuat Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk membongkar pihak pihak yang terlibat dalam praktik praktik manipulatif tersebut.
Tragedi yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi di atas mengguratkan ironi dalam sanubari kita. Praktik perjokian yang terjadi dalam seleksi masuk perguruan tinggi sungguh telah menciderai idealisme perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang harusnya menjadi tempat menyemai benih–benih sikap kecendikiawanan seperti kejujuran intelektual, integritas, keadilan dan kebenaran, justru sekarang menjadi tak lebih dari komoditas bernilai tinggi yang diperebutkan meskipun dengan cara-cara yang tidak beradab. Fenomena ini sesungguhnya membuka mata kita akan realitas bahwa pendidikan tinggi kita telah mengalami apa yang disebut sosiolog Amerika George Ritzer sebagai Mc Donaldisasi. Menurut Ritzer, Mc Donaldisasi mengisyaratkan bekerjanya prinsip-prinsip kapitalisme dalam sebuah institusi sosial. Dalam konteks ini, proses Mc Donaldisasi telah berjalan pada institusi pendidikan kita.
Mc Donaldisasi terdiri atas empat prinsip yang bekerja. Pertama, prinsip efisiensi dalam institusi pendidikan. Hal ini ditandai dengan mendorong program-program studi yang “laku” di pasaran untuk menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah. Sementara, di sisi lain “membunuh” program-program studi yang dinilai kurang marketable di bursa pasar kerja. Prinsip yang kedua adalah keterprediksian. Prinsip ini berjalan dengan menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, pendidikan diarahkan untuk memenuhi kepentingan industri yang kapitalistik. Prinsip ketiga adalah kuantifikasi yang ditandai dengan mengukur segala proses pembelajaran akademik dengan angka-angka statistik, kenyataan sosial yang begitu kompleks direduksi menjadi sekadar angka-angka bisu. Keempat, Mc Donaldisasi pendidikan ditandai dengan berjalannya prinsip teknologisasi, proses pembelajaran dikontrol melalui teknologi high tech berbiaya tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari semua kriteria, dunia pendidikan tinggi kita nampaknya sudah “sempurna” mengalami Mc Donaldisasi. Pertama, prinsip efisiensi jelas sudah diterapkan di hampir semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Program program studi yang dianggap “laku” di pasaran akan difasilitasi sedemikian rupa sehingga mutunya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini nampak dari program studi seperti ekonomi, kedokteran, dan teknik yang menjadi “primadona” perguruan tinggi dalam menggaet calon mahasiswa. Kedua, prinsip keterprediksian, institusi pendidikan kita dalam banyak hal telah melakukan perubahan kurikulum demi tuntutan bursa pasar kerja. Kita mengenal apa yang disebut dengan paradigma “link and match” dalam pendidikan tinggi yang menyatakan bahwa dunia pendidikan haruslah terintegrasi dengan dunia pasar kerja. Dengan logika demikian, pendidikan telah disubordinasi menjadi sekadar “produsen” tenaga kerja siap pakai guna memenuhi kepentingan industri kapitalistik.
Ketiga, Nuansa Mc Donaldisasi pendidikan tinggi kita juga begitu terasa dari proses kuantifikasi yang semakin massif dilakukan di institusi pendidikan. Proses pembelajaran akademik yang dialektik kini dipinggirkan, diganti dengan proses kuantifikasi dalam bentuk angka-angka statistik. Indeks prestasi akademik menjadi “paramater utama” dalam mengukur kemampuan akademik mahasiswa, sedangkan kecerdasan sosial dan kematangan emosional tidak dianggap penting lagi. Terakhir, dunia pendidikan tinggi kita juga dijebak oleh teknologisasi, proses pembelajaran akademik menggunakan teknologi sebagai alat kontrol manusia. Hal ini nampak dalam kebijakan prasyarat absensi minimal 75 persen yang dikontrol melalui mesin pemindai jari (finger machine), teknologi yang awalnya tunduk pada manusia justru berbalik menguasai manusia.
Proses Mc Donaldisasi pendidikan tinggi pada hakikatnya akan menggiring kita pada komodifikasi pendidikan. Komodifikasi pada pendidikan mengubah nilai pendidikan yang sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar, pendidikan berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik manusia menjadi suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih bagi pemilik mode of production (dalam hal ini lembaga pendidikan), sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang besar dari terselenggaranya pendidikan
Singkatnya, dalam proses komodifikasi, pendidikan semata-mata dijadikan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, sehingga menjadi garis demarkasi yang memisahkan antara golongan ‘the have’ dengan golongan ‘the have not’. Pendidikan menjadi penanda kelas sosial seseorang.
Dalam konteks ini, praktik perjokian dalam dunia akademik sesungguhnya menggambarkan realitas komodifikasi pendidikan; pendidikan diperebutkan sedemikian rupa oleh para “pembeli-pembeli” berduit. Bangku-bangku kuliah di Fakultas Kedokteran UGM telah menjadi “komoditas” dengan harga selangit untuk dinikmati prestise dan prospek kerjanya. Puluhan peserta ujian masuk yang menggunakan jasa perjokian ini sesungguhnya sedang bertransaksi untuk “membeli” kursi-kursi pendidikan yang mereka impikan dan rela merogoh kocek dalam-dalam. Bahkan, mereka juga “nekat” menerabas nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kebenaran demi impian-impian semu mereka. Komodifikasi ini lebih jauh mengakibatkan “stok pengetahuan” (stock of knowledge) dapat dengan mudah ditukar dengan materi. Lihatlah aksi sang joki yang rela melacurkan intelektualitasnya demi merengkuh iming-iming materi. Intelektualitas sebagai hasil proses pembelajaran yang mestinya diabdikan bagi kepentingan rakyat dan kemanusiaan, justru dalam arus Mc Donaldisasi pendidikan dengan mudah “digadaikan” demi secuil materi.
Mohammad Zaki Arrobi
Sosiolog Muda Universitas Gadjah Mada (UGM)
Sumber: Okezone, Selasa, 31 Juli 2012 11:46 wib