Survei sejak 2010 tak lagi menemukan kura-kura leher ular di habitat asli di Pulau Rote. Spesies endemis ini tak punah karena peneliti berhasil menelurkan dan membesarkannya.
Survei terbaru pada tahun 2016-2017 lagi-lagi tidak menemukan keberadaan kura-kura leher ular rote di habitat aslinya, Pulau Rote, di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil yang mengulang survei serupa pada tahun-tahun sebelumnya ini semakin membuat tanda tanya: Apakah kura-kura beriris mata kuning itu telah punah di alam?
Status punah ataupun punah di alam tentu membutuhkan kajian mendalam dan ketok palu dari lembaga internasional, The International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dalam daftar merah IUCN, kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi) ini digolongkan dalam jajaran fauna yang terancam punah atau critically endangered. Status ini setingkat di bawah ”punah di alam” dan dua tingkat di bawah ”punah”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kura-kura yang belum masuk lampiran daftar satwa dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 ini tidak dikoleksi kebun binatang Indonesia. Beberapa kura-kura leher ular yang ditampilkan merupakan kerabat rote, yakni kura-kura leher ular dari dataran Papua.
Kabar baiknya, kura-kura leher ular rote ini masih dikoleksi sejumlah kebun binatang di luar negeri. Menurut Wildlife Conservation Society (WCS)-Program Indonesia, kura-kura ini masih dikoleksi kebun binatang di Amerika Serikat dan Singapura. Itu membuka peluang repatriasi hasil pembiakan atau breeding kura-kura tersebut untuk dikembalikan ke Indonesia, seperti repatriasi badak sumatera Andalas dari Cincinnati Zoo, AS.
Kemudian ada kabar membanggakan. Badan Penelitian Kehutanan Kupang ternyata memiliki 31 individu kura-kura rote. Jumlah ini berasal dari tiga kura-kura dewasa (usia 12 tahun) serta anak-anaknya yang kebanyakan berusia 2-5 bulan.
Kayat, peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan KLHK Kupang, yang sehari-hari merawat kura-kura rote, mengatakan, tiga kura-kura dewasa berawal dari program reintroduksi tahun 2009 oleh Menteri Kehutanan MS Kaban. Saat itu, 40 kura-kura rote dikembalikan ke Danau Peto di Pulau Rote dan empat ekor (sepasang jantan-betina usia tiga tahun) diberikan ke Balitbang KLHK Kupang (saat itu Balai Penelitian Kehutanan) untuk diteliti dan ditangkarkan.
Dalam survei setelah pelepasliaran pada 2010-2011, Kayat dan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT tak menemukan individu di habitat aslinya, di Rote. Itu disebabkan, antara lain, individu kura-kura air di alam sulit ditemukan, tertangkap atau diburu orang, tak bertahan di alam, hingga dimangsa predator babi dan anjing.
Mulai penangkaran
Kondisi ini diperparah dengan kematian seekor kura-kura rote pejantan yang dipelihara Balitbang KLHK. Itu membuat Kayat dan kolega di Stasiun Penelitian Oilsonbai Balitbang Kupang termotivasi mengembangbiakkan kura-kura rote secara eksitu atau di luar habitatnya.
Para peneliti harus menunggu kura-kura rote ini matang seksual (usia 6 tahun) agar bisa kawin dan menghasilkan telur. Pada 2012 ada 10 butir telur dihasilkan tapi gagal menetas karena peneluran dilakukan di air.
Pada 2013, Balitbang KLHK membuat media peneluran dari pasir. Itu diharapkan menyerupai kondisi di alam bahwa kura rote bertelur di darat. Saat itu, 20 butir telur dihasilkan, tapi lagi-lagi tak ada yang menetas.
Pada 2014, ia membuat inkubator sederhana. Meski ada telur menetas, hanya satu ekor yang bertahan hidup hingga setahun meski akhirnya mati. ”Ternyata jenis reptil air ini butuh sinar matahari untuk perkembangan karapas,” kata Kayat, Jumat (2/2), di Kupang, NTT.
Belajar dari sini, pada 2015 ada 57 telur dihasilkan, dan persentase penetasan 67-100 persen setiap peneluran. Sebagai informasi, kura-kura rote mengeluarkan 5-24 telur per individu per peneluran. Dalam setahun, kura-kura ini bisa bertelur sampai tiga periode pada Juli-Oktober. Masa inkubasi telur 2-3 bulan.
Hingga kini, daya tetas kura-kura rote bisa ditingkatkan menjadi 77-100 persen. Ia mengatakan, inkubator sederhana yang dibuatnya berdinding lapisan styrofoam bisa menstabilkan suhu di kisaran 30 derajat celsius. Saat cuaca di NTT amat panas, sekitar Oktober, suhu dalam inkubator naik 33 derajat celsius, sedangkan kondisi di luar ruangan hampir 40 derajat celsius.
Seusai dari penetasan, bayi kura-kura berbobot 4-5 gram dengan panjang 2,8 sentimeter (cm) dan lebar 2,3 cm ini ditaruh dalam inkubator pembesaran berupa kolam air selama tiga bulan. Di tempat itu, suhu air dijaga pada 24-26 derajat celsius. Setiap hari, bayi-bayi kura-kura itu dirawat seperti bayi manusia.
Ia menjemur bayi-bayi itu 15-20 menit pukul 07.00-10.00. Ini untuk mengantisipasi serangan jamur mematikan yang bisa menurunkan nafsu makan dan melemahkan karapas. Kini, ia mencoba memanfaatkan garam ikan untuk menangkal jamur pada kura-kura setelah kerja sama dengan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Cendana tak membuahkan hasil.
Ruang terbuka
Pada usia di atas tiga bulan, kura-kura dipindahkan dalam ruang terbuka. Sejak kura-kura bisa makan, di usia sepekan, Kayat memberi makan cacing, jentik nyamuk, dan ikan kecil hidup sebagai pakan. Pakan-pakan sama yang akan mereka jumpai saat dilepasliarkan di alam. Itu belajar dari perusahaan penangkar kura-kura rote sebelumnya, PT Alam Nusantara Jayautama (Alnusa) yang memberi pakan berupa ikan mati.
Maslim As-singkily, Project Leader WCS di NTT, mengatakan, hasil survei tahun 2016-2017 di 10 danau di Rote tidak menemukan seekor pun kura-kura rote. Hasil lain, hanya Danau Lendu Oen, Danau Ledulu, dan Danau Peto yang masih berpotensi dan layak menjadi tempat hidup kura-kura. Danau-danau lain tak lagi layak karena kondisinya kering dan berubah jadi lahan pertanian.
Meski tiga danau yang dinyatakan layak itu bisa menjadi lokasi pelepasliaran, hal itu dinilai tak mudah. Di sisi kepemilikan, danau ini dikuasai perseorangan hingga marga, bukan kawasan hutan atau lahan negara. Selain itu, sekitar lokasi menjadi areal pertanian yang membuatnya rawan terkontaminasi pupuk kimia dan terganggu berbagai aktivitas manusia.
Karena itu, WCS bersama BBKSDA NTT menganalisis sosial-ekonomi masyarakat agar siap jika danau-danau itu menjadi lokasi pelepasliaran di masa mendatang. ”Kami coba kerja sama dengan mereka berbasis masyarakat. Konservasi berbasis masyarakat,” kata Maslim.
Pengembangbiakan di Balitbang Kupang serta penyiapan lokasi dan masyarakatnya dilakukan sambil menanti dokumen repatriasi sebagian kura-kura leher ular yang dikoleksi di luar negeri. Harapan Pulau Rote agar kian eksotis dengan kembali didiami fauna endemisnya, kura-kura leher ular, itu masih ada. (ICHWAN SUSANTO)
Sumber: Kompas, 6 Februari 2018