Kebijakan pangan yang bias beras memicu kerentanan dan masalah ekologi. Daripada membuka sawah-sawah baru, pemerintah diharapkan mengembangkan pangan lokal yang potensinya berlimpah.
”Kami berulang-ulang mengingatkan, kebijakan pangan kita yang bias beras dan bersifat monokultur memicu banyak soal. Contoh terkini ialah masalah pangan di Asmat, Papua, yang jika dilihat lebih jauh karena tercerabutnya budidaya pangan lokal berbasis sagu,” kata Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, di Jakarta, Minggu (4/2).
Pemerintah harus kembali pada kebijakan pangan berbasis keberagaman sumber lokal dan menghentikan obsesi untuk mengejar swasembada beras. ”Kebijakan pangan harus berperspektif Nusantara dan berbasis keragaman agroekologi. Tidak semua wilayah cocok untuk beras, secara ekologi ataupun budaya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Said mengatakan, kebijakan pangan nasional yang bias beras terlihat dari rencana cetak sawah baru yang saat ini digalakkan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Berdasarkan pantauan Kompas, pembukaan sawah baru kebanyakan di luar Jawa, termasuk di kawasan timur, seperti Kalimantan, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Aneka umbi-umbian dijajakan di pasar tradisional Waingapu, ibu kota Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (1/2). Keragaman pangan lokal saat ini semakin tergusur oleh kebijakan nasional yang bias beras.
Di Kabupaten Sumba Timur, misalnya, pencetakan sawah baru dilakukan di Desa Pinduharani, Kecamatan Tabundung, dengan mengerahkan aparat militer. ”Kalau dipaksakan untuk swasembada beras, untuk Pulau Sumba jelas tidak mungkin. Lahan yang cocok untuk sawah di Sumba sangat terbatas karena kondisi iklim yang kering,” kata Stephanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba.
Stephanus, yang juga Wakil Ketua Komisi Bidang Iptek dan Lingkungan Hidup Dewan Riset Daerah Kabupaten Sumba Timur mengatakan, lahan irigasi yang sudah ada saja tidak semuanya digarap secara optimal karena debit air bendungan tak cukup. Dia pesimistis program cetak sawah baru di Sumba akan meningkatkan produksi beras.
Kemampuan produksi beras lokal Sumba Timur dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat saat ini cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras masyarakat Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.
”Untuk Sumba, yang lebih cocok seharusnya mendorong pengembangan pangan lokal yang sesuai ekologi di sini,” katanya.
Potensial
Yohanis Pati Ndamung, Direktur Yayasan Mitra Persada Sejahtera Sumba, mengatakan, potensi pangan lokal nonberas di Pulau Sumba amat berlimpah.
”Secara tradisional, orang Sumba memakan umbi-umbian, seperti keladi dan ubi jalar. Selain itu, kami punya jagung,” ujarnya.
Tanaman umbi-umbian ini, menurut Yohanis, cocok dengan kondisi lingkungan Sumba yang cenderung kering. Selain itu, umbi tidak membutuhkan pupuk dan tahan terhadap berbagai hama penyakit.
Meski demikian, keragaman pangan lokal tersebut semakin terdesak oleh beras. Saat ini, masyarakat Sumba cenderung menjadikan tanaman lokal ini sebagai sampingan.
”Pemerintah Kabupaten Sumba Timur sebenarnya sudah punya peraturan gerakan pengembangan keragaman pangan lokal yang dikenal sebagai Gerbang Hilu Liwanya, tetapi hingga kini tidak ada realisasinya,” ujarnya.
Gerakan itu dikuatkan melalui Peraturan Bupati Sumba Timur Nomor 130 Tahun 2009 tentang Diversifikasi Pangan. Itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bupati Nomor 521/627/1 X/2012 tentang Satu Hari Tanpa Beras.
Sementara Hilu Liwanya, menurut Yohanis, merupakan akronim dari beragam pangan lokal yang ada di Sumba. Contohnya, ”hi” untuk hili atau keladi, ”lu” untuk luwaii atau ubi kayu, ”li” untuk litang atau gembili, ”wa” untuk ubi manusia, dan ”nya” untuk ganyong.
Swasembada pangan
Stephanus Makambombu mengatakan, kebijakan pangan lokal ini semakin hilang setelah Kementerian Pertanian menerbitkan peraturan tentang swa sembada pangan strategis berbasis padi, jagung, dan kedelai pada tahun 2015.
”Sejak saat itu, perhatian pemerintah daerah terhadap pangan lokal semakin rendah dan mereka fokus ke padi sesuai dengan instruksi menteri. Apalagi, lalu muncul proyek-proyek pembukaan sawah baru,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2016, dari target pembuatan sawah baru yang dicanangkan seluas 134.000 hektar, terealisasi seluas 129.000 hektar. Realisasi cetak sawah paling besar di Kalimantan Barat, yakni seluas 16.905 hektar, diikuti Kalimantan Tengah (16.550 hektar), Lampung (11.874 hektar), Nusa Tenggara Barat (11.537 hektar), dan Sumatera Selatan (11.475 hektar). Pada 2017, Kementan menargetkan cetak sawah baru seluas 80.000 hektar.
Said mengatakan, selain tergusur beras, berbagai pangan lokal saat ini terkalahkan oleh terigu impor.
”Ada tren konsumsi terigu terus melonjak. Ini tentu sangat mengkhawatirkan dari aspek kedaulatan pangan karena membuat ketergantungan impor,” kata Said.
Menurut Said, daripada terus mencetak sawah baru di luar Jawa, pemerintah sebaiknya mendorong pengembangan pangan lokal. Pembukaan sawah baru di daerah-daerah yang secara tradisional tidak memakan beras justru akan mempercepat punahnya pangan lokal yang secara ekologi lebih cocok dan secara ekonomi lebih murah. (AIK)
Sumber: Kompas, 5 Februari 2018