BULAN Ramadan 1433 H sudah di ambang mata. Salah satu pertanyaan besar yang selalu menyeruak dalam benak umat Islam di Indonesia setiap kali bulan suci tersebut hadir adalah kapan Ramadan diawali dan diakhiri.
Dalam kata-kata yang lebih lugas, kapan puasa Ramadan dimulai dan kapan Hari Raya (Idul) Fitri terjadi, jika kita korelasikan dengan kalender Masehi (Gregorian/tarikh umum).
Pertanyaan tersebut umum dijumpai mengingat salah satu problem yang dihadapi umat Islam sedunia masa kini adalah belum adanya sebuah kalender Hijriah tunggal. Sebuah negara mengawali puasa Ramadan atau merayakan Idul Fitri dalam saat yang berbeda dari negara tetangganya, baik lebih cepat maupun lebih lambat, merupakan hal yang umum dijumpai. Perkecualian adalah Indonesia, karena perbedaan tersebut juga terjadi dalam lingkup yang lebih kecil mulai dari antarorganisasi hingga antarkeluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Idul Fitri 1432 H tahun lalu yang menghebohkan mendemonstrasikan hal tersebut, saat perbedaan terasa demikian diametral yang memantik kembali perbincangan tentang hilal, hisab, rukyat dan kalender Hijriah persatuan di tengah-tengah umat Islam Indonesia dan dunia.
Potensi Berbeda
Status awal Ramadan 1433 H dapat ditinjau dari sejumlah elemen bulan pasca-ijtima’ (konjungsi bulan-matahari). Ijtima’ adalah peristiwa tepat segarisnya pusat cakram bulan dan matahari pada satu garis bujur ekliptika bila dilihat dari pusat bumi (geosentrik), akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012 pukul 11.24 WIB. Maka saat matahari terbenam pada hari itu merupakan saat untuk mengevaluasi elemen bulan pasca-ijtima’ dalam perspektif hisab.
Beberapa elemen bulan yang perlu ditinjau adalah tinggi bulan, lag/mukus bulan (keterlambatan terbenamnya bulan dibanding matahari), umur bulan dan elongasi bulan-matahari.
Pada 19 Juli 2012 itu, tinggi bulan di Indonesia bervariasi antara +0,1 derajat hingga +1,5 derajat, dengan tinggi bulan terkoreksi antara -0,15 derajat hingga +1,25 derajat. Lag bulan juga bervariasi, antara +1,6 menit hingga +8,5 menit.
Bila dipetakan, distribusi elemen tinggi bulan dan lag bulan memiliki pola yang sama, yakni nilai yang terkecil berada di pesisir utara Papua untuk kemudian terus meningkat besarannya ke arah barat daya sehingga mencapai nilai tertinggi di pesisir selatan Jawa bagian barat.
Umur Bulan, yakni selisih waktu sejak ijtima’ hingga terbenamnya matahari pada suatu lokasi, juga bervariasi di Indonesia mulai dari +4,2 jam hingga +7,6 jam. Dan elongasi bulan-matahari, yakni jarak sudut antara pusat cakram bulan terhadap pusat cakram matahari bila dilihat dari pusat bumi (geosentrik), di Indonesia pun bervariasi antara +4,4 derajat hingga +5,4 derajat.
Berlawanan dengan dua elemen sebelumnya, distribusi elemen umur bulan dan elongasi bulan-matahari memiliki nilai terkecil di pesisir selatan Papua untuk kemudian terus meningkat besarannya ke arah barat laut sehingga mencapai nilai tertinggi di pesisir barat Aceh.
Secara umum, dalam hal penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam Indonesia terbagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama mendasarkan pada hisab dengan berpegangan kriteria wujudul hilal, di mana awal bulan Hijriah dianggap sudah terjadi bila lag bulan > 0 menit (tinggi Bulan > 0 derajat). Sementara kelompok kedua juga berdasarkan hisab, sembari menunggu hasil rukyat, namun berpegangan pada kriteria imkan rukyat revisi. Dalam kriteria ini, awal bulan Hijriah dianggap sudah terjadi jika salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi: tinggi bulan terkoreksi > 2 derajat dan umur bulan > 8 jam, atau tinggi bulan terkoreksi > 2 derajat dan elongasi bulan-matahari > 3 derajat.
Tinggi bulan terkoreksi adalah tinggi bulan yang telah dikurangi setengah diameter sudut bulan, sehingga tinggi bulan terkoreksi sebesar 2 derajat setara dengan tinggi bulan 2,25 derajat.
Meski kepastiannya tetap menanti keputusan Menteri Agama berdasarkan sidang isbat, hisab yang sama namun mendasarkan pada dua kriteria yang berlainan tersebut secara gamblang memperlihatkan elemen bulan jelang Ramadan 1433 H serupa dengan Idul Fitri 1432 H (2011) lalu, sehingga potensi perbedaan awal puasa Ramadan 1433 H cukup terbuka.
Bagi yang menggunakan kriteria wujudul hilal, hari pertama berpuasa adalah Jumat, 20 Juli 2012, sementara bagi yang menggunakan kriteria imkan rukyat revisi, kemungkinan besar pada Sabtu, 21 Juli 2012.
Akar Masalah
Perbedaan dalam kalender Hijriah, baik di Indonesia maupun global, selama ini dipersepsikan sebagai produk perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun sesungguhnya tidak demikian.
Hisab merupakan perhitungan yang (umumnya) hanya menghasilkan elemen tinggi bulan, walaupun ilmu falak terkini menyarankan produk hisab seharusnya tak sekadar elemen bulan, namun juga mencakup faktor-faktor atmosfer dan alat optik secara fisis dan fotometris. Sementara rukyat adalah observasi astronomis dengan prosedur baku dan instrumen tertentu guna mengamati hilal.
Dalam ilmu falak, antara hisab dan rukyat sebenarnya berkedudukan sama. Rukyat menghasilkan data-data observasi yang berguna untuk membentuk pengertian hilal sebagai model matematis berisikan seperangkat persamaan matematis. Model matematis inilah hisab, yang aplikasinya berguna memastikan rukyat betul-betul menyasar hilal yang sebenarnya sebagai objek pengamatan, bukan benda/fenomena lain yang menyerupai hilal, sehingga secara teoritis antara hisab dan rukyat sebenarnya memiliki produk yang sama.
Adanya perbedaan dalam kalender Hijriah sebenarnya berakar pada hal yang lebih mendasar, yakni tiadanya satu pengertian hilal yang berterima bagi segenap komponen umat Islam atas dasar konsensus (ijma’) dan ditopang data ilmiah.
Saat ini hanya ada pengertian parsial yang berwujud ”kriteria”, seperti wujudul hilal dan imkan rukyat revisi di Indonesia. Namun pengertian parsial ini pun bersifat hipotesis (asumsi) belaka tanpa ditunjang bukti valid dan reliabel. Perbedaan dalam pengertian hilal yang bersifat parsial inilah merupakan sumber kerap berbedanya awal Ramadan dan dua hari raya, meski dihitung berdasarkan hisab yang sama dan dengan menggunakan lokasi dan persamaan matematika yang sama persis.
Jalan Panjang
Setelah Idul Fitri 1432 H (2011) yang menghebohkan, telah dirintis upaya penyatuan kalender Hijriah khususnya di Indonesia diawali dengan eksposisi dan penyamaan persepsi dalam pertemuan Cisarua 2011, khususnya antarsegenap pemangku kepentingan. Peta jalan menuju penyatuan pun secara garis besar mulai digelar. Kriteria imkan rukyat, yang selama ini digunakan Kementerian Agama dan sejumlah ormas Islam pun diperbaharui menjadi imkan rukyat revisi sebagai kriteria darurat selama kriteria berbasis pengertian hilal yang bisa diterima oleh semua belum tersusun. Disadari juga perlunya melakukan riset dan pengumpulkan data-data empirik guna menyusun pengertian hilal. Dan muara akhirnya adalah bakal diselenggarakannya forum bertajuk Muktamar Kalender Hijriah Indonesia guna menuntaskan perbedaan ini.
Namun peta jalan ini barulah awal dari jalan yang membentang panjang. Penyatuan kalender Hijriah adalah kerja besar yang multidisiplin ilmu, khususnya hukum (Islam), falak, fisika (optika) dan fisiologi. Kerja besar itu harus mampu menuntaskan beragam kendala yang masih mengadang, mulai dari ranah teknis, psikologis, sosiologis, ideologis hingga politis. (Muh Maírufin Sudibyo-24)
Sumber: Suara Merdeka, 16 Juli 2012