Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi membutuhkan waktu untuk mengevaluasi aktivitas Gunung Agung yang sejak 22 September berstatus Awas. Tren kegempaan memang menurun drastis. Namun, deformasi atau perubahan tubuh gunung secara ungkitan masih konstan naik. Hal ini dimaknai masih ada pergerakan magma menuju permukaan.
Pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dalam kurun waktu Kamis (26/10) tengah malam hingga Jumat (27/10) pukul 06.00 hanya terekam 24 kali gempa vulkanik dangkal dan 25 kali gempa vulkanik dalam. Jumlah ini sangat berkurang dibandingkan pada puncak krisis yang bisa mencapai ratusan kali dalam periode pengamatan yang sama.
PVMBG menganggap Gunung Agung masih berpotensi meletus. Karena itu, zona bahaya tetap mencapai radius rata-rata 9 kilometer (km) dari puncak dan dalam sektoral barat daya, selatan, tenggara, timur laut, dan utara sejauh 12 km dari puncak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Status Gunung Agung tetap Awas,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG Suantika di Jakarta, Jumat.
Karena itu, hingga kemarin, Pemerintah Provinsi Bali belum memutuskan perpanjangan ketiga status keadaan darurat level Awas Gunung Agung setelah perpanjangan dua pekan kedua berakhir pada Kamis. Warga pengungsi diminta bersabar dan tetap tenang.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Gunung Agung terlihat dari kawasan Pantai Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, Kamis (26/10). Pemerintah segera mengevaluasi status gunung yang dinyatakan berstatus Awas sejak 22 September tersebut.
Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemerintah Provinsi Bali Dewa Mahendra di Denpasar mengatakan, kepastian status keadaan darurat level Awas Gunung Agung akan ditentukan pada Minggu (29/10), menunggu hasil pengamatan dan analisis para ahli dari PVMBG.
Karakter berbeda
Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana mengatakan, sifat Gunung Agung tak bisa ditentukan oleh ritme dari penurunan kegempaan saja. Bahkan, kegempaan gunung api di Karangasem ini pun berbeda karakternya dengan gunung api di Indonesia dan dunia.
Berdasarkan sejarah gunung api, status Awas Gunung Agung ini terlama selama menuju erupsi. Gunung api lain membutuhkan hitungan jam dari status Awas menuju erupsi/meletus, seperti Gunung Merapi yang pada 2010 meletus 20 jam setelah berstatus Awas.
Karena itu, katanya, sejumlah parameter harus dievaluasi secara keseluruhan. Saat ini, sejumlah alat dimaksimalkan untuk memantau Gunung Agung. Alat yang terpasang hingga kemarin adalah 10 stasiun seismik Gunung Agung, 4 stasiun seismik Gunung Batur, 4 stasiun GPS, 2 stasiun tiltmeter, 2 CCTV, dan 1 thermal camera. Ada pula peralatan mobile 1 unit multigas dan satu unit DOAS.
Devy mengatakan, ada rencana untuk menambah instalasi, yakni 3 stasiun seismik broadband, 5 stasiun GPS continuous, dan 1 stasiun suhu air (Stasiun Besakih).
Apabila level Awas diturunkan, katanya, bukan berarti pemantauan berkurang. “Justru pemantauan terhadap Gunung Agung diperketat. Aktivitas Gunung Agung memang melemah, tetapi belum ada proses pengkristalan magma di dalam tubuhnya. Asap yang keluar dari kawah belum menunjukkan pelepasan gas untuk ke arah pengkristalan magma,” ujar Devy. (AIK/AYS)
Sumber: Kompas, 28 Oktober 2017