Salah satu isu yang paling hangat di kalangan pendidikan tinggi adalah masalah ijazah ”bodong”. Proses pencapaiannya dilakukan secara legal dan diberikan oleh lembaga yang sah kepada seseorang yang berhak menerima, tetapi ternyata tidak berlaku karena program studi pada perguruan tinggi tersebut tidak terakreditasi.
Isu ini berawal dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 16 Mei 2005. Di dalamnya secara jelas termuat berbagai ketentuan tentang keberlakuan ijazah dikaitkan status akreditasi pada perguruan tinggi.
Sebagai catatan, PP SNP merupakan penjabaran UU Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 61 Ayat (2). Disebutkan, ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketentuan dalam UU ini kemudian dijabarkan dalam PP SNP. Pasal 89 Ayat (1) PP SNP menyebutkan pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetensi. Ayat (2) pasal yang sama disebutkan: ijazah sebagaimana dimaksud ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan tinggi, sebagai tanda peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari satuan pendidikan.
Lewat 7 Tahun
Tetapi jangan lupa membaca Ketentuan Peralihan PP tersebut. Pasal 94 ayat (2) menyebutkan satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan PP ini paling lambat 7 (tujuh) tahun. Artinya, kalau PP SNP ditetapkan oleh Presiden SBY tanggal 16 Mei 2005, pada 16 Mei 2012 satuan pendidikan yang memberikan ijazah kepada peserta didik wajib sudah terakreditasi kalau ingin ijazahnya tidak ”bodong”. Hal ini berlaku untuk satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 86 Ayat (1) menyebutkan, pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Sementara Pasal 87 Ayat (1) menyebutkan akreditasi oleh pemerintah dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi.
Logika yuridisnya: kalau tujuh tahun setelah ditetapkannya PP (16 Mei 2012) ada satuan pendidikan yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan PP SNP, satuan pendidikan bersangkutan tak dapat memenuhi ketentuan PP SNP. Artinya, satuan pendidikan yang bersangkutan dengan sendirinya tidak dapat memenuhi ketentuan UU Sisdiknas. Akibatnya, produk satuan pendidikan tersebut, termasuk ijazah, dinyatakan tidak sah menurut UU.
Kalau logika yuridis ini benar, ijazah yang dikeluarkan setelah 16 Mei 2012 oleh satuan pendidikan yang tak terakreditasi BAN-PT merupakan ijazah ”bodong”. Secara fisik ada, tetapi tak berlaku sebagaimana mestinya.
Jalan keluar
Selama ini BAN-PT memberlakukan akreditasi bukan pada satuan pendidikan dan bukan pada fakultas ataupun jurusan, tetapi pada program studi (prodi). Kalau PT A memiliki tiga prodi X, Y dan Z, status akreditasinya melekat pada prodi A, B, dan C; bukan pada PT A. Di sisi lain, status akreditasi antarprodi bisa sama, tetapi bisa pula berbeda. Misalnya, status akreditasi prodi X adalah ”A”, prodi Y adalah ”B”, sementara prodi Z adalah ”C” atau bahkan tidak terakreditasi.
Menurut catatan Kemdiknas, jumlah program pada PTN per Januari 2012 adalah 5.035 prodi. Sebanyak 2.566 prodi (51 persen) terakreditasi dan masih berlaku; 600 (11,9) terakreditasi, tetapi kedaluwarsa; 1.869 (37,1) tak terakreditasi. Sementara itu, jumlah program pada PTS per Desember 2011 adalah 11.927 prodi. Sebanyak 6.105 (51,2 persen) terakreditasi dan masih berlaku; 1.105 (9,3) terakreditasi, tetapi kedaluwarsa; dan 4.717 (39,5) tak terakreditasi.
Berdasarkan angka tersebut, 1.705 prodi pada PTN dan PTS terakreditasi, tetapi kedaluwarsa dan 6.586 prodi tak terakreditasi. Dengan logika yuridis di atas, prodi-prodi (PTN-PTS) ini kalau setelah 16 Mei 2012 mengeluarkan ijazah, ijazahnya ”bodong”.
Pengalaman saya sebagai pimpinan direktorat pascasarjana yang memiliki tiga prodi, banyak mahasiswa yang menunda ujian tesisnya sebelum prodinya terakreditasi. Setelah terakreditasi oleh BAN-PT, mereka berbondong-bondong minta ujian tesis karena tahu ijazahnya tak akan bermasalah pada kemudian hari.
Bagaimana jalan keluar agar ijazah ”bodong” tidak mengotori dunia pendidikan tinggi kita? Tak ada jalan lain kecuali penyelenggara prodi yang akreditasinya kedaluwarsa atau tak terakreditasi segera mengurus akreditasinya.
Ki Supriyoko Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta
Sumber: Kompas, 14 Juni 2012