Lilis Sucahyo; Menangkap Asap, Berbuah Penghargaan Menambah Pendapatan

- Editor

Selasa, 25 Mei 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Awalnya Diprotes Warga, Kini Hasilkan 40 Liter Asap Cair

Limbah, termasuk asap, sangatlah mengganggu. Tapi, Lilis Sucahyo berhasil menyulap asap jadi bahan dengan berbagai manfaat. Hasil penelitiannya itu membuahkan 13 penghargaan nasional dan internasional, sekaligus menambah penghasilan.

LUCKY NUR HIDAYAT, Bogor

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

TIDAK jauh dari kampus Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), tepatnya di Desa Cihideung Udik, Bogor, terdapat pabrik arang CV Wulung Prima. Hampir setiap hari pabrik yang lokasinya di mulut kompleks perumahan itu memproduksi asap. Warga sekitar sering memprotes pemilik pabrik. Mamat -si pemilik- tidak jarang menerima omelan warga karena asap arangnya mengganggu pengguna jalan.

Bahkan, beberapa warga menyetakan mengalami gangguan pernapasan dan penglihatan. Asap pabrik yang beroperasi sejak 15 tahun lalu itu memang cukup pekat. Maklum, setiap hari Mamat membakar sekitar 2,4 ton batok kelapa sebagai bahan pembuat arang.

Namun, bagi Lilis Sucahyo, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, asap tersebut merupakan anugerah. ”Begitu saya lihat pabrik itu, saya langsung sreg mengerjakan penelitian di situ,” katanya ketika ditemui di Gedung Rektorat IPB Selasa lalu (18/5). Waktu itu Lilis masih semester dua. ”Saat observasi, saya tahu ada potensi bagus untuk pengolahan limbah,” lanjut pria yang baru saja lulus skripsi tersebut.

Maka, dia pun mulai melakukan penelitian. Itu empat tahun lalu. Waktu itu kampusnya diminta pemerintah untuk mencari solusi bahan pengawet makanan. ”Saat itu banyak ditemukan industri makanan skala besar yang menggunakan boraks (sebagai bahan pengawet makanan). Saya dan salah seorang dosen pembimbing, Bapak Rokhani Hasbullah, lantas menggali ide dan literatur untuk mencari solusi,” paparnya.

Setelah dua bulan menelusuri berbagai literatur, dia menemukan buku terbitan Jepang yang mengupas pengawetan makanan dengan asap cair. ”Tapi, alat pembuat asap cair dalam buku itu cukup rumit. Perlu waktu lama untuk memahami cara kerja dan pembuatannya,” jelas pria kelahiran Jakarta 11 Agustus 1987 tersebut.

Lilis lantas mengumpulkan beberapa temannya. Dengan bimbingan Rokhani Hasbullah, mereka merancang alat penangkap asap. ”Alat generasi pertama itu dibuat dengan investasi mahal bagi kami, sekitar Rp 30 juta,” katanya. ”Modelnya juga rumit,” tambah penghobi desain itu.

Alat tersebut lantas dibawa ke pabrik arang milik Mamat. Setelah dipasang, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan target. Jumlah asap cair yang dihasilkan dari alat tersebut hanya sepertiga dari jumlah yang ditargetkan. Lilis pun kembali memeras otak untuk memodifikasi alat itu.

”Kami melakukan beberapa eksperimen. Eh, setelah bentuk alat disederhanakan, hasilnya benar-benar bagus. Alat bekerja dengan optimal dan menghasilkan asap cair dengan kuantitas yang diharapkan,” tutur anak pasangan Sutino-Rohmayati itu.

Alat berkapasitas 800 kg-1.000 kg tempurung kelapa tersebut menghasilkan 300 kg arang dan 30-40 liter asap cair. ”Investasi untuk pembuatan alat pun bisa dipangkas menjadi sekitar Rp 8 juta dengan hasil yang sangat bermanfaat,” terangnya bangga.

Pengolahan limbah asap sebenarnya sederhana. Sebelum melayang ke udara, asap dari pembakaran batok kelapa dikumpulkan melalui besi yang dibentuk seperti caping petani. Asap itu kemudian dialirkan ke dalam pipa-pipa besi dan berubah menjadi cair.

”Teknologi yang digunakan memanfaatkan prinsip kondensasi untuk mengubah fase gas (asap, Red.) menjadi cairan,” terang peraih Peringkat I Mahasiswa Berprestasi Nasional 2008 itu.

Alat penangkap asap generasi kedua (hasil modifikasi) itu terdiri atas empat bagian. Yakni, tanur atau tempat pembakaran dari drum bekas, sungkup besi berbentuk kerucut, pipa pengumpul asap dan pipa kondensor dari besi galvanis, serta bak air dengan kapasitas 1.700 liter. (*/c1/cfu/)

———-

Dapat Julukan Pawang Asap, Jadi Jujukan Studi Banding

Alat penangkap asap karya Lilis Sucahyo, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian IPB, ternyata penyederhanaan alat semacam yang sudah ada. Selain lebih sederhana, alat itu juga praktis dan efisien. Seperti apa cara kerjanya?

LUCKY NUR HIDAYAT, Bogor

LILIS mengatakan, alat karyanya itu mempunyai kinerja yang tak rumit. Pertama, sebagian tempurung kelapa dimasukkan ke tanur, kemudian dinyalakan. Setelah api membara dan menghasilkan asap, tempurung lain dimasukkan hingga tanur penuh. Pada tahap ini, terjadi pembakaran lambat yang menghasilkan asap. Proses pirolisis (pembakaran tertutup dengan suhu tinggi) untuk mengubah tempurung basah menjadi arang tersebut berlangsung 16 jam.

Asap kemudian ditangkap oleh sungkup yang terletak di atas tanur, dialirkan ke dalam pipa pengumpul asap dan pipa kondensor yang terendam air dalam bak yang berfungsi sebagai media pendingin.

Kondisi asap yang berada dalam keadaan jenuh dan suhu lingkungan yang lebih rendah daripada suhu asap secara alami akan mengubah fase gas menjadi cairan sehingga menghasilkan asap cair.

Di dunia internasional, produk yang dikenal dengan nama wood vinegar atau liquid smoke tersebut telah lama digunakan sebagai penambah cita rasa pada produk makanan. Jepang merupakan salah satu negara yang intensif mengembangkan dan memproduksi asap cair dan menjadikan produk ekspor yang menembus pasar Eropa dan Amerika.

Asap cair tempurung kelapa mengandung fenol, asam, dan karbonil yang aman. Zat-zat tersebut punya beberapa macam kegunaan. Antara lain, sebagai pengawet alami makanan seperti ikan, bakso, dan tahu, sebagai bahan koagulan lateks, bahan penghilang bau (deodorizer), desinfektan buah-buahan, serta pestisida organik dalam pertanian. ”(Dengan bahan pengawet alami itu) makanan bisa tahan sekitar tiga sampai lima hari,” jelas Lilis.

Saat ini, harga asap cair di pasaran Rp 15.000/liter. Teknologi pengumpul asap itu berpotensi meningkatkan pendapatan industri, cocok untuk penerapan konsep produksi bersih (zero waste concept) yang mengharmoniskan upaya perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. ”Dari penjualan asap cair, kini ada penghasilan sampingan saya sekitar Rp 4 juta per bulan,” kata dia.

Setelah dua tahun alat difungsikan, karya Lilis mulai banyak diapresiasi. Film dokumenter Sang Pengumpul Asap yang dibuatnya berhasil meraih The Best Idea dan menjadi finalis dalam Eagle Awards Documentary Competition 2009 yang diselenggarakan Metro TV.

Lilis juga berkesempatan melakukan presentasi di forum internasional penyelamatan lingkungan dan upaya mengurangi dampak pemanasan global, Bayer Young Environmental Envoy 2009 di Leverkusen, Jerman. Dia masuk lima besar.

Sampai sekarang, Lilis masih rajin mengumpukan asap di pabrik Mamat. Dia juga membuat alat-alat pengumpul asap untuk dikirim ke Lampung, Bengkulu, dan banyak daerah lain.

Di kampus, Lilis dijuluki pawang asap. Sebab, saking seringnya terbentang kain rentang ucapan selamat yang terpampang di lapangan atas penghargaan terhadap penelitiannya pada asap. Bahkan, skripsinya juga mengulas asap.

”Karena muncul di TV banyak sekali orang dari luar daerah studi banding ke IPB untuk minta diajari membuat alat tersebut. Dari Lampung, Bengkulu, Riau, Rangkas Bitung, dan lain-lain, khususnya daerah penghasil karet alam,” paparnya. ”Sebab, cukup disiram dengan asap cair, karet alam bisa mengeras dan bisa dijadikan bahan pembuat ban dan lain-lain tanpa proses rumit,” lanjutnya.

Di Kampung Cihideung Udik, lokasi pabrik arang, Lilis juga populer di kalangan penduduk. ”Ada penduduk yang memanfaatkan asap cair untuk obat sakit gigi dan meneyembuhkan luka-luka ringan. Kandungan fenol dalam asap cair yang sudah bersih tersebut bisa membunuh bakteri,” terangnya. (*/c1/cfu)

Sumber: Jawa Pos, 26 Mei 2010


tulisan terkait:

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 22 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB