Tirani Elektabilitas

- Editor

Kamis, 6 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menyongsong Pilkada Serentak 2018, suhu politik di 171 kabupaten/kota dan provinsi mulai meningkat. Tiga provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak (Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah) ikut dalam gelombang ketiga Pilkada Serentak 2018. Di tiga provinsi itu, narasi dan data politik elektoral mulai tersiar di media massa lokal, nasional, hingga media sosial.

Salah satu data elektoral yang paling banyak mencuri perhatian adalah tentang elektabilitas atau tingkat keterpilihan figur yang masuk bursa pencalonan. Memasuki bulan Juni, institusi penyelenggara riset opini (pollster) mulai menebar narasi dan data elektabilitas para tokoh lokal dan nasional yang dinilai layak menominasikan diri.

Hanya saja, di balik semangat mendorong kompetisi, narasi dan data tingkat keterpilihan sebenarnya berpotensi menjadi tirani dalam pilkada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Nalar tiran
Dalam kacamata para pollster di Indonesia, elektabilitas merupakan indikasi arah pilihan terhadap satu kandidat. Rumus sederhana elektabilitas bertumpu pada kekuatan dua komponen: tingkat pengenalan calon (recognition) dan tingkat persetujuan terhadap calon (likeability).

Tingginya angka kedua komponen itu cenderung ditranslasikan menjadi elektabilitas yang unggul (Qodari, 2010). Sementara indikator untuk kandidat petahana biasanya ditambah komponen tingkat kepuasan kinerja.

Angka elektabilitas kemudian dijadikan rujukan oleh konsultan pencalonan untuk menentukan strategi dan perlakuan terhadap kandidat. Tim konselor politik merancang dan/atau sekaligus melaksanakan berbagai aktivitas untuk menaikkan tingkat pengenalan, persetujuan, dan elektabilitas. Mereka tak sekadar mengandalkan teknik-teknik pemasaran politik modern, tak jarang para kandidat dianjurkan untuk mempraktikkan politik imbal balik (patronage) demi mengangkat angka keterpilihan.

Dalam praktiknya, rekayasa popularitas dan likeability sebelum hari pencoblosan justru menjadi arena kompetisi yang paling riil. Para kandidat beserta tim pemenangan parpol dan tim konsultan terus bergerak mendongkrak angka elektabilitas para calon. Upaya-upaya memasarkan kandidat menjadi lebih penting daripada memikirkan keberlanjutan kemajuan daerah. Bahkan, sering kali kandidat berkualitas harus gigit jari tatkala elektabilitasnya rendah.

Rekayasa elektabilitas pada akhirnya merupakan bagian dari transaksi dan arena keputusan elite parpol dalam pencalonan pilkada. Hasil survei sepenuhnya menjadi rujukan keputusan para petinggi parpol. Dengan kata lain, elektabilitas dan pencalonan menjadi bagian dari kompetisi politik elite.

Oleh karena itu, cara pandang yang relevan melihat angka elektabilitas sebagai tirani. Pertama, angka elektabilitas pada dasarnya merupakan hasil produksi pengetahuan. Karena identik dengan pemilu, elektabilitas sangat dekat dengan kontestasi kekuasaan. Dengan kata lain, angka elektabilitas merupakan hasil produksi pengetahuan yang sarat kepentingan.

Sebagai contoh, rilis dari empat pollsters (Poltracking Indonesia, Indikator, Inisiative Institute, LSR) tentang angka elektabilitas lima figur calon gubernur Jawa Timur menunjukkan perbedaan mencolok. Padahal, jajak pendapatnya dilakukan relatif berdekatan.

Kedua, kebutuhan data elektabilitas merepresentasikan kepentingan elite. Studi Mietzner (2009), Qodari (2010), dan Trihartono (2014) mengungkapkan, institusi riset opini merupakan bagian integral dari permainan politik. Selain itu, hasil-hasil jajak pendapat sebenarnya lebih memberikan dampak signifikan pada para elite politik ketimbang para pemilih. Maka dari itu, polling lebih tepat disebut sebagai instrumen politik. Berikutnya, khusus dalam pilkada, para aktor politik lebih tertarik mengeksploitasi manfaat jangka pendek hasil survei untuk memenangkan pilkada, bukan sebagai langkah visioner membangun daerah.

Ketiga, sebagai akibat dari proses kreasinya yang eksklusif, elektabilitas lebih sering menyuguhkan kepada calon pemilih para kandidat yang populer dan disukai, tetapi kurang memperhatikan catatan prestasinya. Sebagai sebuah tirani, elektabilitas bisa menutup kesempatan bagi para calon berprestasi karena tingkat keterpilihannya tak terpantau. Atau, para calon dengan rekam jejak kepemimpinan daerah yang baik masuk dalam pantauan, tetapi elektabilitasnya tidak memadai.

Konsekuensinya, apabila elektabilitas mendorong parpol menominasikan kandidat secara terbatas, itu akan mempersempit ruang memilih warga. Elektabilitas telah mereduksi kedaulatan warga untuk mengekspresikan kebebasan pilihan politiknya. Oleh karenanya, demokrasi seolah bekerja dalam tekanan produksi pengetahuan demi memenangkan rivalitas kekuasaan, bukannya untuk mewujudkan manfaat kekuasaan.

Kapabilitas memilih
Menemukan antidot efek tiran elektabilitas bukanlah perkara mudah. Pertautan antara produksi pengetahuan terkait pemilu dengan kontestasi kekuasaan merupakan fakta yang sulit dihindari. Maka, saat ini, diperlukan pihak yang relatif netral dalam memproduksi pengetahuan tingkah laku memilih warga.

Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi yang bisa melakukan langkah tersebut. Selain itu, asosiasi-asosiasi keilmuan yang relevan, seperti Ilmu Politik, Sosiologi, Ekonomi, dan Psikologi, bisa turut serta. Lembaga-lembaga itu bisa memproduksi pengetahuan kecenderungan memilih tanpa mengedepankan angka elektabilitas dari para kandidat.

Lebih tepatnya, riset-riset opini yang dilakukan institusi independen bertujuan meningkatkan kapabilitas memilih warga. Intinya, riset opini bertujuan menghasilkan informasi-informasi tentang masalah-masalah di daerah menurut persepsi publik. Secara bersamaan, polling bisa menggali opsi-opsi kebijakan yang diinginkan publik.

Pendekatan kapabilitas setidaknya bisa mengurangi sifat alami publik yang memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality). Warga sulit dipaksa secara mandiri untuk mencari informasi yang relevan terkait rekam jejak, visi, misi, dan program yang dikampanyekan calon kepala daerah karena pilkada tidak menawarkan manfaat langsung. Namun, keterbatasan informasi publik bisa diminimalkan dengan produksi pengetahuan yang dapat menjadi bahan penilaian tentang kelayakan kandidat kepala daerah.

WAWAN SOBARI, Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul “Tirani Elektabilitas”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB