Hari Jumat, 25 Mei 2012, mulai pukul 11.00 waktu Leiden, Belanda, jenazah Prof Dr A Teeuw (91) dilepas di Marekerk, Lange Mare 48, 2312 GS Leiden, untuk selanjutnya dikremasikan secara pribadi oleh pihak keluarga almarhum.
Meski sudah meninggal sejak 18 Mei lalu, kepergian akademikus dan kritikus sastra Indonesia terkemuka itu baru diumumkan kepada khalayak pada Kamis (23/5) pagi. Dalam kartu undangan sekaligus pemberitahuan yang diterima para sejawat, murid, dan kenalannya di Leiden, disebutkan bahwa penghormatan terakhir untuk Hans—panggilan akrab Prof A Teeuw—dapat diberikan di Merekerk, Jumat siang. Selanjutnya, ”Hans wodts in daarna in besloten kring gecremeerd” (Hans kemudian akan diperabukan secara pribadi).
Berita kematian A Teeuw mengagetkan para murid, kenalan, dan para pembaca buku-bukunya di Indonesia, seperti dapat disimak dari banyaknya ucapan belasungkawa di jejaring sosial Facebook sejak Jumat lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memang, bagi para peneliti, kritikus dan pencinta sastra Indonesia, nama Prof Dr A Teeuw tentu tidak asing lagi. Ia adalah akademikus dan kritikus sastra Indonesia sangat terkemuka, yang telah berjasa mengembangkan studi bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden, Belanda. Semasa ia mengajar di universitas tersebut (1959-1986), studi bahasa dan sastra Indonesia sangat berkembang dan menggema ke seluruh dunia.
Peletak Fondasi
Andries ”Hans” Teeuw lahir di Gorinchem, Provinsi Zuid-Holland, Belanda, pada 12 Agustus 1921. Ia meraih gelar doktor di Universitas Utrecht tahun 1946 dengan disertasi berjudul Het Bhomakawya: een Oudjavaans gedicht. Tahun 1945-1947 A Teeuw sering berada di Yogyakarta, saat cintanya kepada Bhomakawya mulai mendalam. Setelah menjadi doktor, ia menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia (UI, 1950-1951) dan di University of Michigan, Amerika Serikat, tahun 1962-1963.
A Teeuw telah mengukir karier akademiknya dengan sangat gemilang. Ia telah menerbitkan lebih dari 150 publikasi ilmiah tentang bahasa dan sastra Indonesia (klasik dan modern, nasional dan daerah, khususnya Jawa, Sunda, dan Melayu), baik yang ditulis sendiri maupun bersama orang lain. Minatnya tidak terbatas pada sastra Indonesia modern saja, tetapi juga sastra lisan dan sastra klasiknya.
A Teeuw telah berjasa meletakkan fondasi kerja sama akademik Indonesia–Belanda di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, khususnya bahasa dan sastra Indonesia. Banyak kerja sama antara universitas-universitas di Indonesia dengan Universitas Leiden telah dibuat semasa ia menjadi guru besar dan ketua Jurusan Bahasa-bahasa dan Budaya-budaya Asia dan Oseania di Universitas Leiden. Lusinan doktor bidang studi bahasa dan sastra Indonesia telah lahir berkat sumbangan akademiknya.
Sepanjang kariernya, A Teeuw dekat dengan masyarakat akademik Indonesia. Ia tidak hanya menulis buku-buku atau artikel dalam bahasa Inggris, tapi juga rajin mengirimkan esai-esainya dalam bahasa Indonesia ke harian-harian terkemuka di Indonesia (termasuk Kompas), sehingga pikirannya dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas di Indonesia. Beberapa bukunya juga diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Itulah sebabnya namanya dikenal luas di Indonesia. Pada tahun 1975 Universitas Indonesia menganugerahinya gelar doktor honoris causa.
Sejak terjun di dunia akademik tahun 1940-an sampai bulan-bulan terakhir sebelum meninggal, A Teeuw tidak pernah berhenti berkarya. Bahkan sejak pensiun tahun 1986 ia tetap produktif menulis. Publikasi terakhirnya (ditulis bersama mantan mahasiswanya, Willem van der Molen) adalah sebuah artikel berjudul ”A Old Javanese Bhomântaka and its floridity” yang dipersembahkan untuk Prof Lokesh Chandra (2011).
Beberapa buku karya A Teeuw sudah begitu dikenal oleh para peneliti sastra Indonesia. Sebutlah—untuk sekadar menyebut contoh— Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (terbit pertama kali dalam bahasa Inggris, 1967); Membaca dan Menilai Sastera (1992); dan Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1995). Kamus yang dieditorinya, Kamus Indonesia- Belanda (GPU, 1991), yang merupakan versi Indonesia dari Indonesisch-Nederlandsch Woordenboek (KITLV Press, 1990), telah beberapa kali dicetak ulang, dan sampai kini menjadi pegangan utama para penerjemah dan mahasiswa Belanda yang ingin belajar bahasa Indonesia.
A Teeuw telah menghasilkan beberapa publikasi tentang Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya. Bersama mantan muridnya yang kemudian menjadi suksesornya sebagai profesor bahasa dan sastra Indonesia di Leiden, Henk Maeir, ia gigih memperkenalkan pengarang terkemuka Indonesia itu dalam wacana akademik internasional. Lewat upaya ini mereka berharap Pramoedya akan dinominasikan sebagai peraih Hadiah Nobel. Namun, sampai akhir hayat yang mempromosikan maupun yang dipromosikan, harapan itu tidak pernah jadi kenyataan.
Yayasan A Teeuw
Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa akademis A Teeuw, pada 1992 Koninklijk Instituut voor Taal,- Land-, en Volkenkunde (KITLV) Leiden—lembaga penelitian dan perpustakaan terkaya di dunia yang menyimpan literatur dan berbagai jenis dokumen lainnya mengenai Indonesia—tempat almarhum pernah berkhidmat dan ikut membesarkannya, mendirikan The Professor Teeuw Foundation.
Sekali dua tahun yayasan itu memberikan penghargaan dan hadiah uang secara bergiliran kepada seorang Indonesia dan Belanda yang dinilai berjasa dalam meningkatkan hubungan budaya dan akademik antara Indonesia dan Belanda. Orang Indonesia yang telah menerima penghargaan ini, antara lain, Goenawan Mohamad (1992) dan Ajip Rosidi (2004).
Studi bahasa dan sastra Indonesia yang dirintis A Teeuw masih tetap eksis di Universitas Leiden sampai sekarang, walau di sana-sini terus menyesuaikan programnya mengikuti perubahan zaman dan dinamika internal kampus yang berdiri tahun 1575 itu. Mungkin itulah harapan seorang akademikus sejati seperti A Teeuw. Dalam satu kesempatan pertemuan dengannya di Leiden tahun 2009, saya ditanya tentang situasi pengajaran bahasa dan Indonesia di Universitas Leiden. Ini menunjukkan betapa, walau sudah lama meninggalkan dunia kampus, A Teeuw tetap memperhatikan program studi bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden.
A Teeuw menikah dengan Joosje Teeuw-de Vries tahun 1945. Joosje lebih dulu meninggal (2009). Pasangan langgeng itu dikaruniai lima anak (4 perempuan; 1 lelaki): Marijke (baru pensiun sebagai guru), Anandi (seniman), Arie (konsultan keuangan), Jossine (kerja partikulir), dan Kristina (guru piano).
Selamat jalan Pak Teeuw. Kenangan kepadamu terentang dari Leiden hingga Jakarta.
Suryadi – Leiden University Institute for Area Studies, Leiden, Belanda
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Mei 2012