Cuaca dan iklim bumi terus berkembang seiring berbagai kondisi yang terjadi hingga kini. Di antaranya aktivitas bintik matahari dan pemanasan global sebagai pemicunya.
Tingkat keragaman mulai terjadi era 1980-an, diawali dengan hadirnya gejala alam El Nino yang berdampak global dan berdurasi 12-18 bulan kegiatannya.
Tingkat keragaman sedikit meningkat di era 1990-an kala muncul periode El Nino dengan durasi terpanjang-sejak awal catatan hingga kini-selama empat tahun. Di sisi lain, ada kondisi ekstrem lain: cuaca dengan kegiatan pertumbuhan awan yang menghasilkan badai, yaitu hujan sangat lebat dengan intensitas curah hujan 1 milimeter per detik, angin kencang dengan kecepatan angin badai minimal 32 knot atau 65 kilometer per jam, dan petir yang bersahutan seperti perang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Awan yang menghasilkan badai dikenal kalangan penerbangan dan pelayaran sebagai awan kumulonimbus (Cb). Kehadiran awan Cb menambah keragaman cuaca dengan konsekuensi badai di suatu lokasi.
Perkembangan keragaman cuaca dan iklim dengan hadirnya gejala alam El Nino pada suatu kurun waktu dan gejala alam La Nina pada kurun waktu lain datang silih berganti. Namun, gejala alam El Nino lebih dominan.
Kita bisa periksa dari data bahwa kondisi gejala alam El Nino sangat mendominasi kegiatannya jika dibandingkan dengan kejadian gejala alam La Nina. Seperti yang kita cermati, dampak El Nino adalah musim kemarau kering dan berkepanjangan dengan kebakaran lahan dan hutan yang mulai terjadi tahun 1982 dan 1987 dan kemudian meluas lagi tahun 1991 hingga 2009. Kita tahu bahwa pada 1997 terjadi bencana nasional kebakaran lahan dan hutan yang berlanjut dengan kejadian bencana asap lintas batas negara.
Situasi dan perkembangan ini kemudian berbalik dengan kondisi 1980-2010 di mana kejadian gejala alam La Nina mendominasi dan bertahan selama 30 tahun. Dengan kata lain, kondisi keragaman yang berkembang sejak 2010 hingga awal 2017 adalah dampak gejala alam La Nina yang mendominasi keragaman cuaca dan iklim Bumi dan berdampak di Indonesia.
Kegiatan matahari
Pertimbangan itu didasarkan pada perkembangan kegiatan matahari yang ditunjukkan dengan jumlah bintik matahari. Bintik matahari adalah bentuk proses fisis yang hasil akhirnya berupa pancaran gelombang radiasi matahari atau energi yang bermanfaat dalam proses alami seluruh galaksi termasuk bumi.
Jika jumlah bintik tinggi di atas 150 bintik matahari (sunspot) per bulan, menurut saya, berarti cukup giat. Jika bintiknya kurang dari 150 sunspot per bulan berarti kurang giat. Dari perkembangan kegiatan bintik matahari sejak pertengahan 1970, tampak kegiatan fluktuasi/keragaman sunspot giat 1980-1990 sebagai siklus sunspot nomor 21, siklus nomor 22 periode 1990-2000, siklus nomor 23 periode 2000-2010, dan kini siklus nomor 24 yang berjalan hingga tahun 2020.
Berdasarkan siklus nomor 21, 22, dan 23, puncak kegiatan matahari siklus 150-200 sunspot dampaknya adalah gejala alam global El Nino dengan kekeringan di Indonesia. Berawal tahun 2010 yang minimum dan memuncak dengan kegiatan bintik 50-130 sunspot yang berarti menurun kegiatan sunspot.
Tahun 2016, peneliti dari Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) mengumumkan mulainya periode dingin: udara terasa dingin bahkan di dataran rendah. Catatan tersebut menghantar kita pada situasi keragaman cuaca dengan episode dingin dengan kegiatan gejala alam La Nina mendominasi. Inilah yang tampak pada periode 2010 hingga awal 2017 yang mungkin akan terus berlanjut.
Periode bumi yang mendingin (global cooling) ini masih akan berlanjut. Dari data curah hujan periode 1960-1990 dari stasiun penakar hujan kawasan Jabodetabek, tampak bahwa awal Januari sampai awal Februari merupakan puncak curah hujan untuk kawasan Jabodetabek.
Kejadian hujan tinggi berdampak terhadap kejadian banjir di kawasan Jabodetabek. Apalagi kini puncak curah hujan bergeser mundur 1-3 dasarian. Pergeseran puncak hujan musim hujan 2016/2017 di dasarian III bulan Februari 2017 untuk kawasan Jabodetabek semata karena posisi angin yang bertiup dan hadirnya beberapa tekanan rendah yang terbentuk sejak akhir 2016 hingga akhir Januari 2017.
Kondisi angin dan pusat tekanan rendah di kawasan belahan utara sekitar Laut China Selatan dan perairan barat Banda Aceh menjadi hambatan perkembangan awan dan hujan saat itu hingga Januari 2017.
Setelah memasuki dasarian II Februari 2017 pusat tekanan rendah di kawasan belahan utara berubah menjadi tekanan tinggi seiring naiknya tekanan udara belahan utara khususnya daratan Asia. Namun, dasarian II Februari 2017 masih bertiup angin dari arah barat-barat daya yang membentuk keseringan awan dan hujan kawasan selatan dan timur Jabodetabek. Dengan demikian, kawasan hujan masih terkonsentrasi di kawasan selatan Jabodetabek khususnya Bogor dan timur kawasan Bekasi.
Memasuki awal dasarian III Februari 2017 angin arah barat- barat laut mendominasi dan mulailah pergeseran curah hujan ke arah barat, utara, dan timur Jabodetabek. Kemudian mengapa hujan terjadi cukup lama seperti hujan yang terjadi Minggu-Selasa (tanggal 19, 20, dan 21 Februari 2017), seharusnya tidak terjadi awan badai yang menghasilkan hujan lebat dan badai petir. Sepertinya hujan berkepanjangan, diselingi peningkatan hujan dan hadirnya awan badai lebih dari satu atau multicell dalam istilah meteorologi, adalah yang sedang terjadi saat ini.
Mekanisme terjadinya proses adveksi tersebut seperti yang umum terjadi dengan adanya aliran udara dingin dari belahan utara akibat hadirnya tekanan tinggi, sedangkan kawasan selatan dengan udara meski dingin namun lebih hangat. Kondisi inilah yang umumnya terjadi bersamaan dengan adanya daerah pertemuan angin belahan bumi utara dan bumi selatan yang disebut daerah pertemuan angin antar tropis (inter tropical convergence zone/ITCZ).
Daerah awan
ITCZ menjadi daerah pertumbuhan awan badai potensial yang dapat berkembang secara mekanis dengan konvergensinya dan secara thermis dengan konveksi jika ada panas matahari atau adveksi jika kondisi awan menutup kawasan yang bersangkutan.
Keragaman cuaca dan iklim yang terjadi dan berkembang sepertinya akan didominasi dengan kondisi yang akan sering tertutup awan yang berlanjut dengan hujan. Jika kondisi ini berlanjut ada peluang udara dingin seperti kawasan pegunungan terjadi di dataran rendah. Peluang kekeringan sepertinya kecil terjadi.
Dengan kondisi siklus matahari nomor 24 yang kini berkembang dengan bintik matahari kurang dari 50 hingga 2020, memberi petunjuk dan arah kecenderungan pendinginan lebih dominan dari kondisi hangat.
Maka, peluang keragaman cuaca dan iklim yang telah berkembang sejak 2010 hingga awal 2017 menunjukkan kondisi awan dan hujan berkelanjutan yang terkadang diikuti udara dingin.
Seyogianya kita dapat lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi perkembangan keragaman cuaca dan iklim yang terjadi khususnya dampak melimpahnya air berupa bencana banjir, banjir bandang, dan longsor.
PAULUS AGUS WINARSO, Dosen Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi & Geofisika
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul “Hujan di Bulan Februari”.