Laporan dan Peringatan Sang Guru

- Editor

Jumat, 3 Maret 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SAYA baru saja menerima dan membaca laporan Sang Guru kebijaksanaan ekonomi nasional Indonesia yaitu Bank Dunia berjudul Indonesia. Sustaining High Growth with Equity. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya punya kewajiban moral untuk mengevaluasi laporanSang Guru ini untuk meneliti apakah laporan ini betul-betul didasarkan atas pemahaman yang kukuh mengenai ekonomi rakyat Indonesia.

JUGA saya punya kewajiban moral untuk meneliti apakah laporan ini mengandung rekommendasi yang pada hakekatnya akan meruntuhkan akar-akar ekonomi rakyat Indonesia sehingga rakyat Indonesia menjadi masyarakat pinggiran di negerinya sendiri. Sahabat baik saya saudara Kwik Kian Gie menyimpulkan bahwa secara substansial laporan Sang Guru ini mengandung analisis yang plintat-plintut (Kompas, 23 Juni 1997). Saya setuju dengan kwik.

Kalau kita baca secara teliti laporan Sang Guru ini, maka timbul kesangsian kita apakah Bank Dunia betul-betul percaya kepada pendekatan pertumbuhan bersama pemerataan. Atau pemikiran neoklasik masih menjadi pemikiran yang dominan dalam tubuh Bank Dunia ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perkataan pemerataan (equity) hanya digunakan sebagai perkataan klise. Tidak ada terkandung sedikit pun analisis dan usul kebijaksanaan mengenai hancurnya kegiatan-kegiatan rakyat dalam peternakan kecil, pertekstilan rakyat di Majalaya Pekalongan, Bali, hancurnya kegiatan perikanan rakyat di pantai-pantai di seluruh tanah air, hancurnya kegiatan-kegiatan produksi buku tulis, di rumah-rumah rakyat, tersingkirnya rakyat dalam industri perabotan di Jepara dan industri keramik di Kasongan, Yogyakarta, hancurnya petani-petani kecil produsen buah-buahan sebagai akibat membanjirnya buah-buahan impor, dan lain-lain.

Proses pemerataan diantisipasi akan terjadi melalui anggaran belanja pemerintah untuk tujuan-tujuan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) sementara itu kontraksi fiskal diusulkan agar subsidi dihilangkan. Apakah Bank Dunia tidak tahu bahwa public utilities yang telah disubsidi pun tidak dapat dinikmati oleh penduduk strata bawah dalam masyarakat Indonesia? Hai orang-orang Bank Dunia, coba selidiki di desa-desa di pulau Jawa, berapa banyak rumah tangga yang sanggup membayar tarif listrik yang ada.

Bank Dunia tidak begitu peduli dengan kemerosotan pertumbuhan sektor pertanian yang memproduksi bahan makanan dan menurunnya porsinya dalam Produk Domestik Bruto. Pertumbuhannya per tahun menurun dari 3,6 persen pada tahun 1988-1991 menjadi 1,9 persen pada tahun 1996 dan porsinya dalam Produk Domestik Bruto merosot dari 20,2 persen pada tahun 1990 menjadi 16,1 persen pada tahun 1995. Ini tidak dipedulikan oleh karena menurut Bank Dunia inilah pola pertumbuhan yang berlaku umum di dunia.

Apakah Bank Dunia lupa, bahwa pola itu terjadi sesudah di sektor pertanian dilakukan reformasi sehingga menurunnya pertumbuhan dan porsi pertanian dalam Produk Domestik Bruto diiringi dengan peningkatan pendapatan di sektor pertanian dan orang-orang yang pindah dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian memperoleh pendapatan yang lebih tinggi juga? Apakah ahli-ahli yang bekerja di Bank Dunia tidak mengetahui bahwa pola pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi di negara-negara maju sekarang ditandai dengan proses transformasi ekonomi yang diiringi oleh transformasi sosial dengan sektor pertanian berperanan sebagai sektor inti pada tahap awalnya? (Zysman dan Cohen, 1987).

Dan juga apakah orang-orang Bank Dunia tidak tahu bahwa pola pertumbuhan yang berlaku umum di negara-negara maju ditandai oleh semakin homogennya produktivitas antar-sektor ekonomi? Apakah ini terjadi di Indonesia? Di Indonesia kemerosotan pertumbuhan dan porsi sektor pertanian meninggalkan kemiskinan di sektor pertanian ini dan orang-orang yang tercampak dari sektor pertanian umumnya masuk ke dalam sektor informal mencari sesuap nasi dan hidup dari hari ke hari dalam situasi tidak stabil dan tidak punya kepastian mengenai hari depannya.

Dalam kaitan ini pada halaman 38 laporannya, Bank Dunia mengemukakan bahwa permintaan akan beras telah stagnan dan telah terjadi consumption expenditure switching untuk membeli bahan-bahan makanan kualitas tinggi. Ini disebabkan meningkatnya pendapatan per kapita seluruh rakyat Indonesia. Apa ini betul? Apakah Bank Dunia tidak tahu bahwa di desa-desa di pulau Jawa dan di sektor informal di kota-kota banyak orang dalam jumlah yang massif sudah tidak lagi makan tiga kali sehari? Analisis Bank Dunia yang seperti ini sungguh sangat menyesatkan untuk kita percaya terutama untuk dipercayai oleh generasi muda Indonesia.

Bank Dunia meramalkan bahwa pada tahun 2005 dengan tingkat pertumbuhan per tahun yang terus-menerus sebesar 7,5 persen, Indonesia dengan GDP per kapita sebesar lebih dari 2.300 dollar AS akan merupakan 20 besar dalam ekonomi dunia. Posisi ini akan tercapai menurut Bank Dunia diiringi dengan menurunnya secara terus menerus ketergantungan atas produksi komoditi-komoditi primer, ekspor sebesar 28 persen dari Produk Domestik Bruto dan indikator utang luar negeri yang banyak mengalami perbaikan. Dalam hal ini ekspor tidak dinyatakan dalam nilai bersih atau kotor. Dalam kaitan posisi 20 besar dalam ekonomi dunia ini, baiklah saya kemukakan komentar yang berikut.

Apakah realistis untuk mengkategorikan Indonesia sebagai negara pengutang besar di dunia yang pada akhir tahun 1995 bernilai 107,8 milyar dollar AS (yang pada tahun 2005 akan bertambah besar) dengan negara-negara ekonomi kuat di dunia yang tidak punya utang luar negeri dan malah adalah negara-negara kreditor? Secara kasar, apakah orang yang gemuk dikategorikan dengan kelompok orang gemuk yang lain sedangkan kita tahu di antara orang-orang gemuk ini ada yang kropos isinya dan dihinggapi penyakit kronis seperti Indonesia? Dalam kaitan ini baiklah kita analisis apakah ukuran GDP per kapita dapat kita jadikan ukuran. Apakah GDP per kapita dapat digunakan sebagai tolok ukur perbandingan tanpa mempertimbangkan negara pengutang besar yang punya masalah kronis dalam keuangan internasional dengan negara yang tidak punya utang, tidak punya masalah kronis dalam neraca pembayaran dan malah menjadi negara kreditor?

Secara konvensional, GDP suatu negara diberikan dalam formula yang berikut:

GDP = C + I + G + (X-M)

C = pengeluaran konsumsi (swasta)
I = pengeluaran untuk investasi (swasta)
G = pengeluaran pemerintah (konsumsi + investasi)
X = ekspor barang dan jasa
M = impor barang dan jasa

Telah banyak dikemukakan oleh para ekonom yang brilyan bahwa ukuran perbandingan ini sangat menyesatkan sehingga diperlukan pemikiran yang kreatif untuk memformulasikan tolok ukur perbandingan yang lebih realistis.

Kashliwal (1995) misalnya mengemukakan pemikiran bahwa untuk memperbandingkan pendapatan antar-negara, Produk Domestik Bruto tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur yang realistis oleh karena berbagai ragamnya ciri-ciri negara seperti yang dikemukakan di atas. Berdasarkan pemikiran Kashliwal ini, maka disini dikemukakan tolok ukur yang labih dapat dipertanggungjawabkan yang betul-betul merefleksikan permintaan agregat yang nyata di dalam negeri:

NI = GDP – (B + K + P + A)
NI adalah pendapatan nasional dalam harga pasar

Dalam formula ini, GDP yang konvensional seperti yang dikemukakan di atas hendaklah dikurangi dengan pembayaran bunga utang luar negeri (B), keuntungan yang diangkut oleh investor asing ke luar negeri (K), penyusutan (P), dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri (A) Tentu saja dengan pengertian bahwa utang luar negeri yang sudah dicairkan dan masuk sebagai capital inflow telah tercakup sebagai komponen investasi dalam GDP.

Berdasarkan tolok ukur ini setelah juga mempertimbangkan pos net errors and omissions maka selama periode 1992-1995 misalnya, rata-rata porsi yang dikuasai asing dalam pendapatan nasional Indonesiag berkisar sekitar 11,3 persen dari pendapatan nasional Indonesia menurut harga konstan 1990 (dihitung berdasarkan angka-angka neraca pembayaran dan GDP yang diterbitkan IMF yaitu Balance of Payments Statistics Yearbook, 1996 dan International Financial Statistics, December 1996).

Rekommendasi kebijaksanaan yang diusulkan Bank Dunia yaitu memperbesar arus masuk investasi asing dan utang luar negeri sudah tentu akan memperbesar porsi asing dalam nilai tambah nasional Indonegsia. Dalam kaitan ini sudah selayaknya kita bertanya: pembangunan untuk siapa? Pertumbuhan GDP akan semakin besar untuk kekuatan asing dan para kompradornya di Indonesia yang merupakan fasilitator yang setia untuk kepentingan pihak asing. Berdasarkan harga yang sedang berlaku, porsi asing yang diangkut dari Indonesia besarnya juga tidak jauh berbeda.

Dalam laporan Bank Dunia tercantum juga bagaimana penggunaan modal luar negeri yang masuk ke Indonesia yang terdiri dari utang luar negeri dan investasi asing. Pada halaman 31 dikemukakan sumber dan penggunaan modal luar negeri yang masuk ke Indonesia sebagai berikut: (lihat Tabel)

Kesimpulannya ialah bahwa defisit perkiraan berjalan Indonesia di mana termasuk pembayaran bunga utang luar negeri seluruhnya dibiayai oleh perkiraan modal dalam neraca pembayaran. Ini bermakna bahwa pembayaran cicilan pokok utang luar hegeri dibiayai sepenuhnya oleh utang baru sehingga sumber-sumber ekonomi riil pada masa hadapan terpaksa dikorbankan pada waktu pembayaran utang ini dilakukan. Sementara itu utang luar negeri yang digunakan untuk tujuan memperbesar cadangan devisa bermakna bahwa utang luar negeri ini jelas tidak menjurus kepada peningkatan kapasitas produksi nasional, oleh karena menjadi aset yang mati dalam cadangan devise, sedangkan bunganya tetap terus harus dibayar.

Dalam situasi seperti ini, sukarlah diharapkan tabungan nasional rakyat Indonesia dapat membiayai keperluan investasi. Investasi nasional terpaksa harus mengandalkan tabungan pihak asing (foreign saving). Porsi konsumsi dalam GDP berkisar sekitar 62 persen hingga 78 persen dari GDP selama periode 1983-1995. Dan barang-barang konsumsi yang telah menimbulkan porsi konsumsi yang tinggi ini dari segi nilai didominasi oleh barang-barang konsumsi mewah untuk memenuhi keperluan golongan penduduk berpendapatan tinggi (oligarchical goods) yang pada umumnya diimpor baik langsung maupun tidak langsung.

Keadaan ini sama dengan keadaan di Meksiko, Brasil, Argentina, Bolivia, Venezuela, Kosta Rika, Kolumbia, dan negara-negara Amerika Latin lainnya di mana porsi konsumsi dalam GDP berkisar di antara 76 persen hingga 86 persen dari GDP (UNDP 1996). Sementara itu ditinjau dari sudut penggunaan devisa nasional, tingkat pertumbuhan impor barang-barang konsumsi adalah merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan impor Indonesia yang lain.

Misalnya selama periode 19931995, tingkat pertumbuhan import barang konsumsi berkisar diantara 20,2 persen hingga 52,2 persen dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan impor bahan baku dan bahan penolong yang berkisar di antara 15,6 persen hingga 28,1 persen dan tingkat pertumbuhan barang modal yang berkisar diantara 3,7 persen hingga 17,3 persen. Keseluruhan tingkat pertumbuhan import ini menunjukkan pertumbuhan yang drastis (World Bank, 1997).

Sebagai akibat situasi ini maka tabungan nasional senantiasa tidak cukup untuk membiayai investasi nasional yang diperlukan. Saving investment gap yang bertambah lebar telah berlangsung secara terus-menerus dalam ekonomi Indonesia. Laporan Bank Dunia mengemukakan keadaan ini dan proyeksinya pada tahun-tahun mendatang. Selama periode 1994/1995-1996/1997, saving-investment gap menunjukkan trend yang menaik sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto yaitu dari sebesar -2 persen pada tahun fiskal 1994/1995, sebesar -3,4 persen pada tahun fiskal 1995/1996 dan sebesar -3,9 persen pada tahun fiskal 1996/1997.

Diproyeksikan bahwa saving-investment gap dalam persentase dari GDP akan melonjak menjadi -4,2 persen pada tahun fiskal 1998/1999, dan sebesar -4,1 persen pada tahun 1999/2000, melonjak lebih dari dua kali lipat dari saving-investment gap pada tahun fiskal 1994/1995.

Apa yang dapat kita perkirakan dari uraian dan angka-angka yang dikemukakan di atas dalam kaitannya dengan akan memburuknya defisit dalam perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran (dari sebesar tujuh milyar dollar AS pada tahun 1994/1995 menjadi 12,2 milyar dollar AS pada tahun 1999/2000)? Defisit dalam perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia akan menimbulkan ketidakstabilan (destabilizing effects) dalam ekonomi Indonesia dan Indonesia akan lebih menikmati pertumbuhan GDP yang seperti telah dikemukakan sebelumnya adalah merupakan tolok ukur yang menyesatkan.

Perlu juga dikemukakan disini aspek pelarian modal dari ekonomi Indonesia. Pelarian modal bukanlah merupakan fenomena baru dalam proses ekonomi Indonesia. Kelihatannya Bank Dunia baru saja mangetahuinya atau pura-pura tidak tahu. Dengan menggunakan formula: K = (U-F) – (D+C), di mana K = pelarian modal, U = pertambahan utang luar negeri yang telah dicairkan, F = investasi asing langsung, D= defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran, dan C = perubahan cadangan devisa, maka dapat ditaksir besar nilai pelarian modal.

Sahabat baik saya Mubarik Ahmad (1993) telah menaksir nilai pelarian modal dari Indonesia kumulatif 9,4 milyar dollar AS selama periode 1970-1980 dan 11,17 milyar dollar AS selama periode 1988-1991. Selama periode 1970-1980 pelarian modal 9,4 milyar dollar AS telah dibiayai oleh 51 persen dari pertambahan utang luar negeri Indonesia selama periode ini dan pelarian modal 11,17 milyar dollar AS selama periode 1988-1991 telah dibiayai oleh 42 persen dari pertambahan utang luar negeri selama periode ini. Saya telah menaksir untuk tahun fiskal 1995/ 1996, nilai pelarian modal dari Indonesia adalah 11,7 milyar dollar AS setelah juga memperhitungkan pos net errors and ommisions.

Pelarian modal ini terjadi selain dari secara terang-terangan mentransfer modal ke luar negeri juga dilakukan melalui praktek-praktek menaikkan nilai impor (overinvoic of import) dan merendahkan nilai ekspor (underinvoicing of exports) baik yang dilakukan oleh pihak asing maupun oleh orang-orang Indonesia. Praktek-praktek ini sama seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin (Pastor, 1990) dan Filipina di zaman Marcos (Boyce, 1992).

Seperti kita ketahui sebagai akibat internationalization of capital, telah terjadi transaksi antar-afiliasi perusahaan-perusahaan mancanegara yang beroperasi di berbagai negara selain di negara induknya. Nilai transaksi ini direkayasa sedemikian rupa melalui mekanisme transfer pricing atau intercompany-accounts.

Informasi yang saya peroleh dari kalangan industri elektronik di Indonesia, gaji staff asingpun sengaja ditinggikan berkali Iipat sedangkan gajinya yang sebenarnya jauh di bawah itu dalam valuta asing. Sementara itu orang-orang Indonesia mendirikan perusahaan-perusahaan di luar negeri (kebanyakannya paper companies) untuk menjadi operator praktek-praktek ini dengan memanfaatkan fasilitas back-to-back Letter of Credit dalam sistem perbankan Indonesia. Situasi ini yang bersumber dari defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran akan menjuruskan Indonesia ke dalam kancah apa yang disebut financial and economic paralysis yaitu keadaan keuangan dan ekonomi yang parah dengan rakyat banyak sebagai penanggung bebannya. Studi-studi Fry (1993), Ramirez (1993), Kay (1993), Abugre (1993), Galvo dan kawan-kawan (1994), Schatz (1994), Kofas (1995), Jansen (1995), Kaminsky dan Pereira (1996), dan Green (1996) patut untuk kita teliti. Studi Jansen (1995) telah meramalkan kerunyaman ekonomi Thailand yang sekarang ini sedang berlangsung.

Bank Dunia mengemukakan bahwa faktor-faktor utama yang telah menyebabkan terjadinya defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia adalah keuntungan yang direpatriasi para investor asing dan bunga utang luar negeri. Khusus mengenai investasi asing, sektor industri Indonesia praktis sangat tergantung kepada impor sehingga sektor industri mengalami apa yang disebut vicious circle of import. Industri pesawat terbang yang secara sangat ambisius ingin dikembangkan dipercayai akan terus-menerus menguras devisa dan tidak memasukkan devisa seperti kejadian di Brasil sehingga memacu kebangkrutan ekonomi negara itu.

Tetapi toh Bank Dunia merekommendasikan agar Indonesia memperbesar arus masuk investasi asing dan terus berutang ke luar negeri. Di sinilah barangkali saudara Kwik sampai bertanya, apa sebenarnya tujuan Bank Dunia? Tujuannya jelas yaitu memperparah ekonomi Indonesia agar Indonesia menjadi budak Barat.

Untuk menghindarkan keadaan ini, maka Indonesia sudah waktunya untuk memformulasikan sendiri paket kebijaksanaan yang komprehensif, kreatif, dan berani yang mencakup kewajiban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri, penggunaan devisa nasional, rasionalisasi sektor industri dan pendinamisan sektor pertanian, pengaturan investasi asing, perdagangan internasional, manajemen kredit, prioritas investasi, pola konsumsi, pembersihan korupsi, iklim usaha, pemberdayaan ekonomi rakyat, restrukturisasi penguasaan aset ekonomi, desentralisasi keputusan, dan pembenahan fundamental dalam sistem politik sehingga betul-betul demokratis agar aktor-aktor ekonomi rakyat dapat melindungi kepentingannya secara efektif.

Ada beberapa aspek lagi yang perlu ditanggapi dalam laporan Bank Dunia ini, tetapi keterbatasan tempat tidak memungkinkan. Tetapi yang jelas sebagai penutup tulisan ini, secara akademis saya bertanggung jawab mendeklarasikan bahwa laporan ini mengandung nilai profesional yang rendah dan pemahaman yang dangkal mengenai situasi ekonomi rakyat Indonesia. (Sritua Arief, staf pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta dan sekarang ini adalah Visiting Associate Professor of Economics, Universiti Sains Malaysia).
———————
Istilah Ekonomi

Soft Loan: Pinjaman dari luar negeri yang dapat dilunasi dengan mata uang sendiri. Misalnya, pinjaman dari negara A kepada negara B, di mana pinjaman itu dapat dibayar kembali oleh negara B dengan mata uangnya sendiri (biasanya dengan suku bunga yang rendah).

Capital flight: Pelarian modal atau biasa juga disebut capital movement, yaitu perpindahan modal secara besar-besaran dari suatu negara ke luar negeri. Biasanya karena pemiliknya takut kalau mata uang negara asal menurun, atau bisa juga karena sebab lain seperti situasi keamanan dan sebagainya.

Capital Expenditure: Pengeluaran untuk membeli barang modal. Jumlah yang dibayarkan untuk sesuatu barang modal tetap (fixed asset).

Social Wealth: Semua benda-benda yang berguna, yang bersifat material ataupun imaterial, baik yang bersifat bebas ataupun yang langka, yang dinikmati oleh penduduk suatu negara. (dis, dari Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia T Guritno, dan Winardi)

Sumber: KOMPAS, SELASA, 22 JULI 1997

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB