Apabila kita membeli buah tomat, tentu memilih tomat yang sudah matang, berwarna merah, tidak lembek dan tidak berkerut-kerut. Demikian pula bagi petani dan pedagang tomat, mereka pun ingin agar tomat yang dipetik maupun yang diperdagangkan itu tetap segar, tahan lama dan tidak mudah busuk.
Keinginan itu kini sudah terwujud berkat teknologi yang sama sekali baru, yaitu teknologi antisense RNA. Melalui teknologi ini gen yang mengekspresikan pembentukan enzim poligalakturonase pada tomat sebagian besar dihambat, sehingga hanya sedikit sekali yang dihasilkan. Karena hanya sedikit sekali, maka pektin yang terdapat di dinding luar buah tomat boleh dikatakan tetap utuh, tidak dikoyak-koyak oleh enzim tersebut.
Penghambatan ekspresi gen itu dilakukan dengan cara transfer DNA asing (melalui teknik rekombinan DNA) pada tanaman tomat. Jadi kalau selama ini kita mengenal tujuan transfer DNA (gen) asing, pada tanaman maupun bakteri supaya gen asing itu berekspresi menghasilkan enzim atau protein yang bermanfaat, namun teknologi yang baru ini, bersifat kebalikannya.Yaitu DNA asing yang ditransfer dimaksudkan untuk menghambat ekspresi suatu gen. Itulah kemajuan bioteknologi, aneh tapi nyata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Teknologi antisense RNA ini menjanjikan banyak harapan, mulai dari penerapanyan di bidang pertanian sampai di bidang kedokteran, misalnya upaya pengobatan kanker dan melemahkan virus HIV(human inumodeficiency virus). Beberapa contoh penerapan teknologi ini yang sudah berhasil di bidang pertanian misalnya menghambat ekspresi suatu gen pada tanaman petunia, sehingga warna bunga yang seharusnya merah jadi putih semua. Lalu tercipta juga tanaman tembakau yang kerdil karena ekspresi gen penghasil enszim rubisco (enzim yang menangkap karbon dioksida dan udara pada proses fotosintesis, sehingga terbentuk karbohidrat) banyak dihambat. Sederet contoh lain masih bisa ditulis, namun sebaiknya kita perlu mengetahui lebih dahulu mengapa teknologi yang baru ini disebut teknologi antisense RNA.
“Sense”DNA
Untuk mengetahui alasan penamaan teknologi antisense RNA ini, kita perlu memahami prinsip dasar dogma sentral biologi modern yang umum, yaitu DNA mentransfer informasi genetikanya pada mRNA, lalu mRNA mengkode pembentukan protein. Jadi ekspresi gen (DNA) yang terakhir berupa pembentukan protein. Urut-urutan asam amino pada protein itu sesuai dengan informasi genetika (berupa kombinasi basa-basa) yang dimiliki oleh gen.
Molekul pembawa informasi genetika itu terdiri dari dua untai DNA (deoxyribonuclic acid/asam dioksiribonukleat) yang saling melilit. Ada empat macam basa pada tiap untai DNA, yaitu A, G, C dan T. Basa adenin (A) pada untai yang satu, selalu berpasangan dangan basa timin (T) pada untai yang satu lagi. Demikian pula basa guanin (G) selalu berpasangan dengan basa sitosin (C).
Di antara dua untai DNA yang salingmelilit itu, hanya satu untai yang bersifat sebagai gen, sedangkan Untai DNA pasangannya (komplemennya) tidak bersifat sebagai gen. Untai DNA yang bersifat sebagai gen ini disebut sense DNA, sedangkan untai DNA komplemennya disebut antisense DNA .
Walaupun untai sense DNA dikatakan sebagai pembawa informasi genetika (gen), namun sebenarnya yang mencetak mRNA (messenger ribonucleic acid/ RNA pembawa) adalah antisense DNA. Jadi sntisense DNA berfungsi sebagai ‘cetakan’ (template) untuk sintesis mRNA. Antisense DNA ini akan mensintesis mRNA (untai tunggal) yang urutan basa-basanya berlawanan dengan urutan basa pada antisense DNA, tetapi sesuai dengan urutan basa pada sense DNA.
Kalau urutan basa pada antisense DNA itu T, G dan C, maka urutan basa yang tercetak pada mRNA adalah A,C dan G, sedangkan basa A pada antisense DNA akan tercetak basa U (urasil) pada mRNA. Jadi ada perbedaan satu basa antara DNA dan mRNA (basa pada DNA adalah A, G, C dan T, sedangkan basa pada mRNA adalah A, G, C dan U).
Pengertian di atas dapat disederhakan begini Jika urutan basa pada sense DNA (bersifat gen) misalnya AATGCTG-, maka urutan basa pada antisense DNA (non gen) adalah TTACGAG-. Kalau begitu bagaimanakah urutan basa pada mRNA yang terbentuk? Tentu jawabanya adalah AAUGCUG-. Jadi kalau kita perhatikan di sini urutan basa pada mRNA sesuai dengan urutan basa pada sense DNA yang bersifat sebagai gen itu.
”Antisense” RNA
Kini kita sudah mengetahui bahwa antisense DNA (non gen) akan mensintesis mRNA; mRNA yang terbentuk ini disebut sense mRNA. Lalu bagaimana dengan sense DNA? Dalam keadaan tertentu, beberapa gen (sense DNA) pada bakteria bisa mensintesis mRNA yang dinamakan antisense mRNA. Disebut demikian karena antisense mRNA ini tidak dapat mengkode pembentukan protein. Jadi sintesis antisense mRNA (atau RNA) hanya bertujuan untuk mengendalikan gen agar tidak berekspresi lebih lanjut menghasilkan protein/enzim. Untuk memahami lebih mendalam hal ini, bisa dilihat artikel yang berjudul Biological Regulation by Anti-sense RNA In Prokaryotes di jurnal tahunan Annual Review Genetics, Vol. 22,1988.
Kalau antisense mRNA ini diproduksi, makaia segera berpasangan dengan sense mRNA, sehingga untai ganda mRNA ini tidak dapat masuk (dan mengkode pembentukan protein/enzim) dalam ribosom. Inilah prinsip dasar teknologi antisense RNA itu.
Lalu bagaimana caranya memanfaatkan prinsip teknologi antisense RNA itu? Untuk menerapkannya, kita harus tahu dahulu sasaran enzim mana yang akan dicegah produksinya. Selanjutnya perlu mengetahui urutan asam amino pada protein/enzim tersebut dan urutan basa-basa pada mRNA-nya. Kemudian dibuat untai tunggal DNA (cDNA,copy) yang disebut antisense DNA (antisense DNA sebagai ‘cetakan’ bagi sintesis mRNA). Selanjutnya dibuat untai ganda DNA (jadi ada sense DNA dan antisense DNA).
Untuk menghasilkan antisense mRNA, 1maka untai ganda DNA itu dipasang dengan arah orientasi antisense (kalau tidak searah dengan orientasi antisense, maka gen itu malah akan menyebabkan produksi enzim melimpah, sebagaimana prinsip transfer gen asing selama ini) pada suatu potongan DNA plasmid, selanjutnya plasmid DNA ini disambung lagi sehingga diperoleh plasmid DNA (untai ganda DNA yang berbentuk lingkaran) yang baru. Setelah itu plasmid DNA ini ditransfer ke tanaman.
Lantas apa yang terjadi? sense mRNA secara alamiah diproduksi, kini tiba-tiba bertemu dengan antisense mRNA yang dihasilkan dari plasmid. Akibatnya terjadi perpasangan antara sense mRNA dan antisense mRNA, sehingga tidak dapat masuk ke ribosom (tempat sintesis protein/enzim).
Tidak berkerut
Begitulah gambaran sederhana prinsip teknologi antisense RNA itu. Salah satu penerapan tekologi ini yakni menghasilkan tomat yang tidak mudah berkerut-kerut akibat kerja enzim poligalakturonase. Artinya enzim ini dihambat produksinya dalam buah tomat. Upaya ini sudah berhasil, dan tentunya keberhasilan ini didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya mengenai sifat-sifat enzim poligalakturonase pada tanaman tomat.
Ada kenyataan yang menarik mengenai enzim ini yakni enzim tersebut baru disintesis menjelang buah tomat matang. Kalau tomat masih hijau dan kecil, enzim ini tidak diproduksi. Penelitian terakhir untuk lebih meyakinkan kenyataan tersebut dilakukan oleh Dean Della Penna dan rekan kerjanya dari Universitas California (Proceeding of the National Academy of Sciences, AS, September 1986). Dua tahun kemudian, Raymond E. Sheehy dan rekan kerjanya dari perusahaan Calgene, AS mempublikasikan penemuannya di majalah yang sama, terbitan bulan Desember 1988.
Raymond memanfaatkan teknologi antisense RNA untuk menghambat sintesis enzim poligalakturonase pada tomat. Dari hasil penelitiannya, menunjukkan bahwa penururnan produksi enzim ini mencapai 70-90 persen, sedangkan pigmen warna merah pada tomat (disebut lycopene) tidak berkurang jumlahnya.
Informasi terakhir dikemukakan dalam majalah New Scientist, Oktober 1989 yang mengabarkan Don Grierson dan rekan kerjanya dari Universitas Nottingham berhasil menurunkan konsentrasi enzim poligalakturonase pada tomat sampai 99 persen. Jadi enzim in hanya tersisa satu persen dalam buah tomat. Apa akibatnya? Polimer karbohidrat yang terdapat dalam lapisan luar buah tomat (disebut pectin) tidak/ sedikit sekali dihidrolisis oleh enzim ini, jadi tomat lebih tahan lama dan tampak selalu segar. Penemuan ini sudah dipatenkan dan sedang menunggu izin dari lembaga pengawasan obat dan makanan (FDA) AS.
Angan-angan
Penelitian aplikasi teknologi antisense RNA in cepat menyebar ke berbagai laboratorium perusahaan bioteknologi dan perguruan tinggi. Misalnya saja Universitas Rockefeller, Universitas Harvard, Universitas California, Institut Teknologi California, Universitas Stanford (AS), lalu Universitas Nottingham (Inggris), Universitas Free (Belanda), serta Institut Genetika dan Mikrobioiogi pada Universitas Munich Jerman Barat.
Setelah mengamati kemajuan teknologi antisense RNA yang begitu cepat ini (dimulai tahun 1983), banyak ahli yang berpendapat bahwa di masa mendatang teknologi tersebut turut menyumbang kelahiran bidang pengetahuan baru yang disebut reverse genetics. Langkah-langkah ke arah itu sedang dalam dalam proses, oleh karenanya kita patut menguak terus-menerus informasi keberhasilan teknologi anti sense ini di berbagai bidang. Siapa tahu suatu saat kita mampu menciptakan tanaman singkong karet yang umbinya besar itu, namun kita buat tidak beracun. Jalur metabolisme pembentukan linamarin (mengandungi Sianida) dari asam amino valin pada singkong itu dapat kita hambat.
Kita sadari bahwa jalan yang kita lalui untuk menggapai teknologi ini masih teramat panjang. Walaupun demikian, daftar tanaman apa saja yang bernilai tinggi, tetapi mengandung zat yang tidk diinginkan, boleh mulai kita catat dalam angan-angan.
Markus G. Subyakto dosen biokimia pada Jurusan Kimia FMIPA UI
Sumber: Kompas, 21 Mei 1990