PEMBERIAN gelar doktor honoris causa(DR HC) oleh Universitas Indonesia (UI) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz mengundang kontroversi dan perhatian publik. Banyak pihak menentang pemberian gelar kehormatan itu, termasuk dari UI, di antaranya dan paling keras adalah Emil Salim, guru besar Fakultas Ekonomi. Profesor sepuh yang santun itu sampai mengatakan UI is not for sale. Kalau seorang Emil Salim sampai ikut turun tangan tentu ini karena persoalannya dianggap sangat serius.
Sangat mungkin persoalan itu tidak hanya menyangkut prosedur tetapi ada hal yang jauh lebih mendasar, mengingat aturan pemberian gelar doktor honoris causa oleh perguruan tinggi sudah diatur dalam UU Sisdiknas. Lebih dari itu, persoalan serupa tidak hanya terjadi di UI.Tulisan singkat ini tidak membahas seputar aturan pemberian gelar tersebut tetapi mencoba melihat motif pemberian gelar itu, yang tampaknya menjadi tren bagi perguruan tinggi di Indonesia saat ini.
Secara tersurat, motif pemberian gelar iru sudah disampaikan oleh Rektor UI Gumilar R Somantri. Tetapi sebagaimana spirit yang tertuang dalam UU Sisdiknas, alasan kelayakan suatu penganugerahan gelar harus dipenuhi. Seandainya syarat kelayakan dan prosedur sudah terpenuhi secara obyektif pun, pertanyaan lain masih tersisa, yakni adakah motif lain di luar dari yang diungkapkan secara resmi, misalnya motif politik, komersial, atau yang bersifat transaksional? Apakah karena motif lain itu sehingga Emil Salim sampai mengatakan,’’UI is not for sale.’’Saya merasa tidak pantas mengomentari apa yang terjadi di UI, saya lebih memilih pertanyaan reflektif,’’ Pelajaran berharga apa yang dapat dipetik dari kasus itu?’’
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memberikan gelar kehormatan, termasuk DR HC oleh perguruan tinggi kepada seseorang adalah hal yang wajar. Namun, karena penganugerahan itu adalah suatu penghormatan kepada seseorang dan kehormatan bagi penerima, tentu sangat ideal jika dasar pemberian gelar itu semata-mata karena jasa besar dari si penerima.
Berbeda Pendapat
No pay, no gain. Katakanlah pendekatan itu bisa diterima sebagai suatu kewajaran maka pertanyaannya kemudian adalah kemanfaatan apa yang dianggap sebagai suatu kepantasan sehingga anugerah itu patut diterima, dan pemberi penghargaan nantinya tidak kecele. Misalnya, penerima gelar itu justru melakukan tindakan tidak terpuji di mata publik, atau hilang ’’ditelan bumi’’, sebab umumnya gelar tersebut diberikan kepada tokoh yang secara umum sudah dikenal masyarakat, setidaknya masyarakat akademik.
Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi kemungkinan ketidakpantasan tersebut, maka organ-organ perguruan tinggi perlu mengambil peran dan berani melakukan assessment secara objektif. Hal lain yang juga perlu dihindari adalah jangan sampai pemberian gelar hanya akan dijadikan amunisi tambahan oleh penerima gelar untuk tujuan yang tidak ada kaitannya dengan pengembangan perguruan tinggi dan masyarakat.
Apapun pertimbangannya, pemberian gelar DR HC dengan menggunakan pendekatan transaksional, apalagi komersial, tetaplah tidak patut. Kekhawatiran masyarakat, kalau tidak boleh dikatakan kecurigaan, bahwa pemberian gelar DR HC bukan karena alasan akademik seolah-olah sudah terwakili oleh ’’Tajuk Rencana’’Suara Merdeka edisi Selasa, 6 September 2011.
Apa yang ditulis dalam ’’Tajuk Rencana’’ itu seharusnya dilihat sebagai rasa memiliki masyarakat atas institusi terhormat: perguruan tinggi, agar tidak makin terdegradasi dan terdemoralisasi lebih jauh. Jangan sampai terjadi suatu saat, karena kekuatan ekonomi atau politik, ada pihak yang merasa pantas meminta gelar DR HC hanya karena telah mengucurkan uang mereka kepada institusi perguruan tinggi.
Apalagi sekarang banyak pihak luar dengan mengatasnamakan tanggung jawab sosial perusahaan membantu perguruan tinggi. Mungkin saya terlalu berani untuk mengatakan kapitalisme secara sistematis mulai menggerayangi institusi akademik yang bukan tidak mungkin bisa menjadi invisible driver. Untuk itu, ada baiknya kita yakini benar apa yang dikatakan Emil Salim; institusi perguruan tinggi seharusnya mampu mempertahankan nurani dan kemerdekaan untuk berbeda pendapat tetap sebagai roh yang menjiwai insan-insan di dalamnya. (10)
FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip
Sumber: Suara Merdeka, 8 September 2011