Pengajaran soal Tubuh Cenderung Sebatas Konteks Biologis
Pemahaman akan kesehatan reproduksi dan seksualitas secara menyeluruh sejatinya ditanamkan semenjak masa kanak-kanak hingga remaja. Karena itu, lembaga pendidikan perlu mengajarkan kepada murid tentang perkembangan fisik, psikis, dan emosi secara sehat.
Sayangnya, belum semua sekolah berani atau memiliki cukup waktu untuk memberikan pengetahuan tersebut kepada para siswa. Kurangnya pemahaman mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi kerap menjadi persoalan di sekolah.
”Guru dan orangtua menyangka ’seksualitas’ berarti hubungan seksual. Padahal, seksualitas berarti ciri, sifat, dan peranan seseorang terkait identitas jender dan kelamin yang ia miliki,” tutur Andreas S Happy, Manajer Program Rutgers WPF, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang seksualitas dan hak kesehatan reproduksi, ketika dihubungi di Yogyakarta, Senin (30/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menerangkan, selain mengenai perkembangan anatomi fisik dan organ seksual, pendidikan seksualitas juga memuat perubahan cara berpikir, perkembangan hormonal, cara berkomunikasi yang baik dengan lawan jenis, serta keharusan untuk saling menghormati.
”Pengetahuan itu sering tidak diungkit karena lazimnya sekolah hanya mengajarkan tentang tubuh secara biologis, belum mencakup cara memperlakukan tubuh milik sendiri atau orang lain dalam konteks sosial,” ucap Andreas.
Sejak 2006, Rutgers WPF mengembangkan modul berbentuk buku dan aplikasi komputer untuk mengajari siswa, guru, dan orangtua mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi. Selain ditujukan untuk murid PAUD hingga SMA, terdapat pula modul yang dirancang khusus untuk anak-anak penyandang disabilitas netra dan rungu. Bahkan, ada modul untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum, terutama yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Perlu komitmen
Rutgers WPF bekerja sama dengan 212 sekolah di DKI Jakarta, Lampung, Jambi, dan Bali. Umumnya adalah sekolah swasta. Menurut Andreas, sekolah negeri sangat bergantung pada kesediaan kepala sekolah untuk komitmen kepada program tersebut. ”Selain itu, mutasi kepala sekolah dan guru di sekolah negeri lebih cepat sehingga program tidak bisa berjalan maksimal akibat kepala sekolah atau guru yang bersangkutan tidak lagi bekerja di sekolah yang sama,” katanya.
Pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi diajarkan selama dua jam mata pelajaran (90 menit) setiap pekan. Metodenya bermacam-macam. Ada yang menjadikannya jam khusus ekstrakurikuler, ada pula yang diajar oleh guru Bimbingan Konseling (BK) pada jam pelajaran tersebut. Beberapa sekolah memanfaatkan waktu jam keputrian, yaitu ketika siswa laki-laki sedang ibadah shalat Jumat.
Salah satu sekolah yang bermitra dengan Rutgers WPF sejak 2009 adalah SMKN 31 Jakarta. Nunung Widianingsih, guru BK, menjabarkan bahwa ia mengajar pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi pada jam pelajaran BK. Setelah itu, siswa yang tertarik untuk memperdalam pengetahuan bisa bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler Pusat Informasi dan Konseling Remaja.
Namun, kegiatan itu hanya bisa menampung maksimal 40 siswa per tahun, sepersepuluh dari jumlah keseluruhan siswa. Mayoritas peserta pun siswa perempuan. ”Padahal, manfaatnya terasa. Siswa lebih komunikatif dalam mengungkapkan masalah pribadi dan mencari solusi. Mereka lebih santun dalam berhubungan dengan orang lain dan sangat menjaga diri,” ujar Nunung.
Ia mengeluhkan penerapan Kurikulum 2013 yang menjadikan jam pelajaran semakin padat dan tugas semakin banyak. Akibatnya, waktu untuk kegiatan ekstrakurikuler berkurang.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, pPendidikan kesehatan reproduksi sudah ada sejak Kurikulum 2004. ”Dilebur dalam mata pelajaran budi pekerti,” katanya.
Tak Ada yang Bahas Kesehatan Reproduksi
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengakui, memang tidak ada mata pelajaran khusus membahas kesehatan reproduksi. Materi kesehatan reproduksi itu terintegrasi dengan mata pelajaran lain. ”Kalau jadi satu mata pelajaran lagi, ini justru makin memberatkan siswa,” ujarnya.Ia memberikan contoh. Untuk tingkat SD, materi kesehatan reproduksi masuk dalam pelajaran Budi Pekerti bertema ”Mengenal Diriku”. Untuk jenjang SMP dan SMA, materi kesehatan reproduksi dimasukkan dalam mata pelajaran Biologi, khususnya pada bagian alat reproduksi manusia.”Semuanya sudah masuk dalam kurikulum. Tinggal bagaimana guru itu bisa kreatif dalam menjelaskan pentingnya pengertian alat reproduksi dan hal-hal yang harus dilakukan untuk saling menghormati orang lain,” ujar Hamid.(DNE/C11)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 12 dengan judul “Pemahaman Seksualitas Perlu Komitmen Sekolah”.