Penyebaran talasemia di Aceh terus terjadi. Hal itu dipicu rendahnya upaya deteksi dini penyakit kelainan darah genetika tersebut. Untuk mengantisipasi hal itu, generasi muda, terutama calon pasangan suami-istri, dianjurkan memeriksa status talasemianya agar terhindar dari pernikahan sesama pembawa gen talasemia.
“Pasangan pembawa gen talasemia pasti melahirkan anak penyandang talasemia,” ucap Heru Noviat Herdata, Kepala Instalasi Sentral Talasemia dan Hemofilia, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin, pada peringatan Hari Talasemia Sedunia di Banda Aceh, Minggu (8/5). Hari Talasemia Sedunia diperingati setiap 8 Mei.
Talasemia adalah penyakit kelainan darah genetika atau keturunan yang tak bisa disembuhkan. Penyandang talasemia memiliki hemoglobin (Hb) di bawah normal, kurang dari 12,5. Akibatnya, penyandang talasemia bisa mengalami gangguan tumbuh dan kembang, yakni tubuh kerdil dan kemampuan berpikir di bawah rata-rata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyandang talasemia harus rutin mendapat transfusi darah satu-tiga bulan sekali. Penyandang yang rutin transfusi darah memiliki peluang hidup rata-rata sekitar 20 tahun, sedangkan yang tak rutin transfusi darah, peluang hidupnya rata-rata 8-20 tahun.
Kini, angka kejadian baru talasemia 50 orang per tahun di Aceh. Ada 167 penyandang talasemia berobat rutin di RSUD Zainoel Abidin pada 2012, naik jadi 300 orang saat ini. Menurut Kementerian Kesehatan 2010, Aceh jadi provinsi dengan persentase talasemia karier tertinggi di Indonesia, yakni 13,8 persen.
Heru menambahkan, tingginya angka talasemia di Aceh karena kesadaran warga memeriksa status talasemianya rendah. Angka pernikahan kerabat di Aceh pun tinggi. Padahal, mereka yang punya relasi kekerabatan punya gen penyakit tak jauh berbeda, termasuk talasemia.
Sejauh ini pemerintah masih fokus pada pengobatan talasemia. “Pemerintah seharusnya fokus ke pencegahan. Itu penting demi mencegah bertambahnya penyandang talasemia. Biaya terapi talasemia Rp 7 juta sampai Rp 10 juta per orang,” ujarnya.
Susun aturan
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Muhammad Yani menegaskan, pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada warga agar memeriksakan status talasemianya. Pemerintah melalui petugas kantor urusan agama (KUA) menyampaikan kepada calon suami-istri agar menghindari pernikahan sesama pembawa gen talasemia. Namun, anjuran itu kerap diabaikan karena belum ada aturan resmi.
Kini, pemda setempat merancang aturan daerah atau qanun tentang itu agar warga mematuhinya. “Kami berharap pemerintah pusat menerbitkan aturan izin aborsi janin talasemia berusia di bawah 10 minggu. Sebab, tak mungkin kami melarang niat orang ingin menikah. Aturan itu banyak diterapkan di negara lain, seperti Arab Saudi, Iran, dan Pakistan,” ucapnya.
Pendiri lembaga sosial yang aktif mencari darah bagi talasemia, Darah Untuk Aceh, Nurjanah Husein, mendorong pemerintah menambah pusat layanan talasemia di Aceh. Sentra talasemia hanya ada di Banda Aceh. “Banyak penyandang talasemia dari keluarga kurang mampu. Pengobatan jauh dari tempat tinggal membuat mereka mengeluarkan banyak biaya tambahan, tak bisa sekolah ataupun bekerja,” katanya. (DRI)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2016, di halaman 13 dengan judul “Periksa Status untuk Menekan Risiko”.