Pidato Daeng M Faqih, ketua terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, pada peluncuran aplikasi dalam jaringan bidang kesehatan terhenti. Ia menerima telepon. Pada layar di belakang Daeng, wajah penelepon muncul. Keduanya terlibat percakapan via gawai pintar.
Si penelepon, Fairus, berbicara dari Kuningan, Jakarta Selatan, mengeluh dua bulan terakhir batuk. Berkali-kali ke dokter tak juga sembuh. Daeng bertanya, apakah batuk disertai dahak kental atau tidak. Fairus mengiyakan.
“Silakan kembali sekali lagi ke puskesmas atau dokter terdekat, Bapak minta tes dahak karena ada penyakit tertentu yang hanya bisa dideteksi dari dahak,” kata Daeng. Itu penggalan demonstrasi penggunaan aplikasi HaloDoc saat peluncuran di Jakarta, Kamis (21/4). Aplikasi itu memudahkan pengguna berinteraksi dengan dokter tanpa temu muka guna mendapat informasi dan saran awal jika ada masalah kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jonathan Sudharta, CEO MHealth Tech, adalah orang di balik HaloDoc. Sebelum aplikasi ini, Mhealth Tech meluncurkan ApotikAntar, aplikasi bagi pengguna untuk membeli obat tertentu tanpa perlu ke apotek, serta aplikasi LinkDokter sebagai wadah praktisi kesehatan berbagi informasi dan pengetahuan.
Kisah HaloDoc bermula dari pengalaman Jonathan. Ia menghabiskan waktu 4 jam 10 menit untuk layanan kesehatan, mulai dari perjalanan pergi-pulang, pendaftaran, pengecekan dokter, hingga beli obat. Dari seluruh waktu itu, konsultasi dengan dokter biasanya hanya 10 menit atau 4 persen dari total waktu.
Lalu, ia memilih menghubungi dokter kenalan jika ada masalah kesehatan, terutama pada anaknya. Cukup dipandu via telepon untuk memeriksa gejala sebelum perawatan yang tepat. “Saya berpikir, kenapa tak semua orang seperti ini,” ujarnya.
Aplikasi HaloDoc menghubungkan pengguna dengan dokter untuk berkonsultasi. Tak perlu lagi menghabiskan waktu di perjalanan, hanya untuk bertanya-tanya tentang sakitnya. Meskipun pada akhirnya pasien tetap harus pergi ke fasilitas kesehatan untuk diperiksa langsung, setidaknya informasi awal langkah selanjutnya tepat sasaran. Dokter bisa memasang tarif per menit (tiap dokter berbeda, ada yang mencapai puluhan ribu per menit), bisa juga mengenakan tarif nol rupiah.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Petugas memberi contoh cara memilih dokter untuk berkonsultasi melalui aplikasi HaloDoc saat peluncuran aplikasi itu, Kamis (21/4), di Jakarta. Teknologi dalam jaringan (daring) memungkinkan pengguna berkonsultasi kepada dokter demi mendapatkan informasi awal yang tepat terkait dengan penyakit serta penanganannya. Tatap muka dengan dokter tetap diperlukan jika memang diharuskan.
Tak berhenti di sana. Jonathan ingin aplikasi itu jadi ekosistem layanan kesehatan lengkap. Fitur ditambah: untuk beli obat secara daring ke apotek yang tergabung di ApotikAntar, serta fitur Lab untuk cek darah atau pemeriksaan kesehatan tanpa datang ke laboratorium. Petugas laboratorium datang dan hasil dikirim. Jadilah aplikasi HaloDoc yang menghubungkan pengguna dengan dokter, apotek, dan laboratorium kesehatan.
Kini, 600 dokter punya akun di HaloDoc. Rata-rata 100-200 dokter aktif per hari memberi layanan konsultasi. Sebanyak 300 apotek di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi-ditargetkan jadi 1.000 apotek pada 12 kota bulan Juni-serta delapan laboratorium kesehatan terhubung melalui HaloDoc.
Aplikasi daring layanan kesehatan sebenarnya sudah lama. Salah satunya Teladoc di Amerika Serikat. Namun, HaloDoc bisa dikatakan aplikasi dengan ekosistem layanan kesehatan terlengkap pertama di Indonesia, juga karya asli anak bangsa.
Soal standar
Daeng mengingatkan, meski aplikasi itu memotong jarak antara dokter dan pasien, standar emas kesehatan wajib ditegakkan. Artinya, tak semua masalah selesai hanya dengan konsultasi daring, ada yang harus dengan pemeriksaan langsung. Mengarahkan pasien untuk menjalani langkah selanjutnya secara tepat perlu kemampuan mumpuni pada dokter yang tergabung di HaloDoc.
Untuk itu, HaloDoc menyaring dokter, apotek, dan laboratorium yang bergabung. Contohnya, dokter harus membuktikan punya surat tanda registrasi yang terdaftar di Konsil Kedokteran Indonesia serta surat izin praktik. Apotek harus punya surat izin apotek. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Roy A Sparringa menambahkan, HaloDoc juga perlu memfasilitasi komunikasi antara pasien dan apoteker di apotek mengingat ada cara pakai obat yang rumit dan berisiko jika pasien tidak paham.
Kini, HaloDoc berniat bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam penerapan Jaminan Kesehatan Nasional. Salah satunya mendukung sistem rujukan berjenjang.
Di sini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan wajib mengawal melalui penyesuaian regulasi. Saatnya memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Tentu, tetap menjunjung tinggi standar keselamatan pasien. (JOG)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Memotong Waktu dan Jarak Dokter dengan Pasien”.