Pelajar di mana saja sedikit banyak menghafal dalam belajar Matematika. Namun, agar dapat bermatematika di jenjang tinggi, kemampuan menghafal semata tidak cukup. Ini dilaporkan dalam artikel “PISA In Focus” (OECD, Maret 2016) dan makalah “How Teachers Teach and Students Learn: Successful Strategies for School,” (Echazarra A dkk, 2016).
Khususnya dapat dibaca bahwa pelajar Indonesia termasuk yang banyak menggunakan cara menghafal dalam belajar Matematika. Ini seperti menyahihkan pendapat umum selama ini: pendidikan di Indonesia banyak menekankan pada penghafalan.
Namun, perlu digarisbawahi, pelajar dari negara yang berhasil di PISA Matematika (skornya tinggi) ternyata juga banyak yang menghafal dalam belajar Matematika. Ini menguatkan keyakinan umum bahwa menghafal, seperti fakta dasar perkalian diperlukan dalam bermatematika. Namun, keberhasilan pelajar menyelesaikan masalah Matematika jenjang tinggi lebih ditentukan oleh penguasaan strategi memanfaatkan hafalannya, bukan semata mampu menghafal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menghafal
Laporan pemetaan pendidikan global ini membenarkan pendapat bahwa kemampuan menghafal membantu pelajar mengerjakan masalah sederhana, rutin, dan tak menuntut pemahaman konsep Matematika secara mendalam. Namun, itu tak berarti banyak saat mengerjakan permasalahan kompleks dan belum pernah dihadapi. Agar pelajar dapat menyelesaikan masalah canggih jenjang tertinggi, mereka juga butuh kemampuan berpikir tingkat tinggi-seperti menganalisis-dan dituntut kreatif.
Sementara kemampuan berpikir tinggi berkembang melalui cara control (mengendalikan apa yang dipelajari dan bagaimana mempelajarinya dengan mengenali apa yang belum paham dan lalu mempelajarinya) serta elaborating (belajar mendalam). Di laporkan juga bahwa pelajar yang belajar dengan dua cara ini lebih berhasil menyelesaikan masalah canggih dan mencapai skor tinggi, ketimbang yang mengutamakan belajar dengan menghafal.
Anggapan awam sebelumnya bahwa negara-negara “Timur” menuntut kepatuhan pada prosedur dan menitikberatkan pada menghafal, ternyata tak benar. Justru laporan ini menunjukkan, pelajar dari negara, seperti Vietnam, Makau-Tiongkok, dan Rusia paling sedikit belajar Matematika dengan menghafal. Mereka cenderung belajar mendalam.
Belajar dengan menghafal amat membantu menyelesaikan masalah Matematika yang sifatnya rutin dan sederhana. Kecuali itu, belajar dengan menghafal juga membantu pelajar yang belum cakap bermatematika.
Pelajar kerap memilih jalan pintas menghafal karena berbagai alasan. Misalnya, mereka tak memiliki ketertarikan pada Matematika, mereka tak percaya dirinya berbakat bermatematika, serta mereka merasa tak guna memahami konsep Matematika secara mendalam karena pada akhirnya cara menghafal terbukti meringankan beban pikirannya.
Kemudian, khusus untuk Indonesia, jalan pintas menghafal banyak diterapkan karena dengan jalan ini pelajar berhasil memperoleh nilai Matematika tinggi, yakni dengan menghafal cara pengerjaan kumpulan soal tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini dimungkinkan karena soal ujian sering hanya daur ulang dari soal tahun-tahun sebelumnya serta hanya diubah angkanya saja. Dampak jalan pintas menghafal semakin menonjol dan mengecilkan cara belajar lain di persekolahan kita. Secara tak sadar, kebiasaan jalan pintas menghafal ini mendapat sokongan kebijakan untuk mewabah.
Dalam pengerjaan soal Matematika yang mudah, tak ada perbedaan peluang keberhasilan antara pelajar yang belajar dengan menghafal dengan yang belajar mendalam.
Perbedaannya baru terlihat pada pengerjaan soal Matematika canggih, yang menuntut kreativitas dan berpikir analisis. Dilaporkan bahwa pelajar kita yang mampu mengerjakan soal Matematika canggih jenjang tertinggi tak terdeteksi secara signifikan. Sementara pelajar dari sistem pendidikan lain yang belajar mendalam ternyata mampu mengerjakan soal Matematika jenjang tertinggi ini.
Bahkan, pelajar yang mengutamakan belajar dengan menghafal, peluangnya menyelesaikan masalah canggih justru mengecil. Secara kuantitatif dilaporkan, kelompok pelajar mengutamakan cara menghafal ternyata peluangnya menyelesaikan masalah canggih empat kali lebih rendah.
Perbaikan
Dapat dilihat bahwa dengan kajian pemetaan pendidikan yang tepat pada proses belajar, seperti di PISA In Focus ini, dapat dirancang kebijakan guna meningkatkan mutu belajar dan berbasis data.
Karena itu, seharusnya beralasan untuk berharap pengelola ujian nasional dapat terinspirasi untuk benar-benar kembali mewujudkan ujian nasional sebagai pemetaan pendidikan sebaikbaiknya. Bukan sebuah dosa meniru sistem pemetaan pendidikan global yang sudah ada, apalagi jika dapat dibuat lebih baik.
Mengenai kebijakan pembelajaran Matematika, pelajar membutuhkan kesempatan untuk mempraktikkan beragam cara belajar, dan bukan hanya menghafal.
Guru atau orangtua yang melatihkan menghafal secara konvensional dengan mengulang bacaan terus-menerus perlu hati- hati. Sangat mungkin terjadi cara ini tak cocok dengan semua pelajar atau anak. Sebagian pelajar akan merasa jenuh. Kejenuhan ini melahirkan kebosanan dan, pada akhirnya, mengikis motivasi belajar Matematika.
Karena itu, perlu digagas kegiatan belajar-mengajar yang berdasar rasa penasaran, seperti layaknya dalam permainan komputer. Rasa penasaran ini dapat muncul saat kegiatan belajar- mengajar: baru (pembelajaran dan materinya tak mengulang); menantang (tingkat kesulitan dekat kemampuan pelajar); dan aman (atmosfer kelas yang menyokong tiap pelajar untuk mencoba cara baru dan tak menghakimi saat salah).
Iwan Pranoto, guru besar matematika ITB dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di New Delhi
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2016, di halaman 7 dengan judul “Bagaimana Pelajar KitaBelajar Matematika”.