Setiap profesi yang dijalani tentu saja memiliki tantangan tersendiri, terutama bagi seorang ilmuwan wanita. Karena biasanya ilmuwan adalah pekerjaan yang sering dilakoni oleh pria. Menurut data pemerintah, di Indonesia sendiri hanya ada sekitar 26 ribu ilmuwan wanita. Lantas apa tantangan yang dihadapi para wanita yang ahli di bidang sains itu saat menjalani pekerjaannya?
Prof. Herawati Sudoyo MD, Ph.D memaparkan, tantangan yang dihadapi para ilmuwan wanita kini tidak lagi berasal dari keluarga. Tantangan tersebut datang dari lingkungan sosial. Banyak orang yang memiliki stereotipe bahwa kodrat wanita adalah mendampingi suami dan anak-anak. Ketika ia ingin meningkatkan karier, ia harus bisa menyesuaikan dengan perannya sebagai istri dan ibu.
“Berbeda dari dulu, sekarang justru tantangannya dari lingkungan sosial. Berkarier sampai posisi tinggi seperti sebuah beban untuk ilmuwan wanita, tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di dunia internasional,” ujar Prof. Hera pada acara Loreal Science Projects di Gedung D, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat (16/3/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tantangan lain yang dihadapi ilmuwan wanita lainnya adalah saat mereka menikah dan memiliki anak, mau tidak mau ia harus melambatkan jalannya untuk meniti karier. Dalam dunia sains, kelambatan fase itu menentukan posisinya sebagai seorag ilmuwan karena dunia sains adalah bidang yang perkembangan ilmunya relatif cepat.
Ditambahkan oleh Sastia Prama Putri, ilmuwan wanita yang pernah meneliti mutu kopi luwak dan produk pangan lainnya mengatakan, selain menjadi seorang peneliti wanita, tantangan yang dihadapinya adalah harus bisa menyeimbangkan waktu antara keluarga dan penelitian. Menurutnya, sulit sekali untuk bisa menjadi yang terdepan dalam bidang sains jika tidak ada dukungan dari suami dan keluarga.
Dulu sebelum dirinya menikah, hari-harinya dihabiskan di dalam laboratorium untuk meneliti pertumbuhan mikroba. Bahkan dirinya tak jarang menginap di laboratorium. Tetapi kini sebagai seorang istri dan ibu, ia sebisa mungkin menyesuaikan diri antara pekerjaan dan keluarganya.
“Kalau dulu saya menginap di lab, tapi sekarang kerjanya dari jam 9 pagi sampai jam 6 malam karena bagi waktu untuk keluarga. Yang penting tetap punya minat terhadap pekerjaan dan komitmen yang tinggi pada dunia sains agar hasilnya bermanfaat untuk orang banyak,” tutupnya. (itn/itn)
Intan Kemala Sari – wolipop
Foto: Intan Kemala Sari
Sumber: Wolipop, Rabu, 16/03/2016 14:35 WIB
———
Perempuan Peneliti Ditingkatkan
Minat dan bakat perempuan Indonesia untuk menjadi peneliti terus ditumbuhkan. Meski kesempatan perempuan menempuh pendidikan tinggi terbuka, masih sedikit yang memilih karier di bidang sains sebagai peneliti.
Padahal, potensi perempuan peneliti cukup menjanjikan. Peningkatan jumlah perempuan peneliti dibutuhkan untuk membuat dunia menjadi tempat hidup yang lebih baik bagi semua umat dengan dihasilkannya riset-riset dasar hingga terapan yang penting.
Persoalan ini mengemuka dalam bincang-bincang bersama empat generasi perempuan dalam sains yang digelar LÓreal bersama Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Rabu (16/3), di Jakarta. Acara bertajuk Regenerasi Perempuan Peneliti untuk Indonesia yang Lebih Baik menghadirkan Herawati Sudoyo, Wakil Direktur Penelitian Lembaga Eijkman dan juri LÓreal-UNESCO For Women in Science (FWIS); Sastia Prama Putri, dosen Institut Teknologi Bandung dan asisten profesor di Universitas Osaka, Jepang, yang juga national fellow FWIS 2015; Mita Putri Indrayanti, mahasiswa Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada sebagai LÓreal Sorority in Science 2015 Fellows; serta Mirasstity Akacia Putri, siswa SMA Madania yang juga LÓreal Girls in Science 2015 Fellows.
Hadir pula Ketua KNIU Arief Rachman dan Melanie Masriel, Head of Communications PT LÓreal Indonesia.
Herawati mengatakan, untuk menjadi perempuan peneliti yang juga setara dengan laki-laki, butuh komitmen yang kuat untuk menunjukkan kemampuan dalam ilmu yang digelutinya. Perempuan peneliti memang menghadapi suatu fase “melambat” terkait perannya sebagai istri dan ibu.
“Jika ada dukungan bagi perempuan peneliti yang muda, semisal menyediakan daycare untuk anaknya, ini bisa mengatasi salah satu hambatan perempuan dalam membangun karier sebagai peneliti,” kata Hera.
Arief mengatakan, perempuan peneliti dibutuhkan bukan untuk meraih status/gelar, melainkan bersama peneliti lainnya memberikan pengaruh untuk membuat hidup manusia lebih baik dengan sains. Saat ini, perempuan peneliti di Indonesia baru sekitar 26.000 orang.
Masriel mengatakan, dukungan LÓreal bagi perempuan untuk menggeluti sains menyasar, antara lain, siswi SMA dan mahasiswi perguruan tinggi. (ELN)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Maret 2016, di halaman 11 dengan judul “Perempuan Peneliti Ditingkatkan”.
———-
Dorong Regenerasi Perempuan Peneliti
Regenerasi perempuan peneliti, khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesehatan, terus diupayakan. Pengalaman dan pandangan mereka dapat memperkaya inovasi penelitian di Indonesia.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Arief Rachman mengatakan, jumlah perempuan peneliti di Indonesia masih minim. Mengutip data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, jumlah perempuan peneliti aktif di Indonesia hanya sekitar 24.000 orang.
“Perempuan peneliti di Indonesia menjadi kelompok minoritas. Karena itu, regenerasi harus terus dilakukan,” kata Arief, Rabu (16/3/2016), pada “L’Oreal-UNESCO for Woman in Science Regenerasi Perempuan Peneliti untuk Indonesia yang Lebih Baik”, di Jakarta.
Arief menambahkan, idealisme yang perlu ditanamkan adalah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai penggerak kebijakan baik nasional maupun internasional. Sebab, ilmu pengetahuan menjadi solusi memecahkan sejumlah tantangan, seperti perubahan iklim, krisis energi, kesehatan, dan isu lainnya.
Ia menuturkan, nantinya data hasil penelitian dibutuhkan untuk mengatasi tantangan tersebut. Namun, sejumlah isu membutuhkan waktu penelitian yang cukup lama sehingga generasi peneliti dibutuhkan terutama dari kaum perempuan.
Acara itu mengundang perempuan peneliti dari empat generasi berbeda, yakni peneliti dan analis DNA forensik dari Lembaga Biologi Molekul Eijikman, Herawati Sudoyo; peneliti metabolomik dan dosen Institut Teknologi Bandung, Sastia Prama Putri; mahasiswi Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mita Putri Indrayanti; dan siswi SMA Madania, Bogor, Mirasstity Akacia Putri. Mereka membagi pengalaman untuk mendorong ketertarikan generasi muda di bidang ilmu pengetahuan.
Perempuan peneliti
Sastia mengatakan, saat ini jumlah perempuan peneliti di Indonesia masih sekitar 30 persen. Padahal, perempuan memiliki pengalaman dan pandangan yang dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan inovasi penelitian, khususnya di Indonesia.
“Misalnya, penelitian obat-obatan untuk ibu melahirkan dan menyusui berdasarkan pengalamannya,” kata Sastia.
Herawati menambahkan, saat ini bukan hal asing bagi perempuan untuk masuk ke dunia iptek. Sebab, peran perempuan dalam kemajuan penelitian pun tidak dapat diabaikan. Meski demikian, dalam perjalanan karier, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi, misalnya tantangan sosial.
“Seorang perempuan harus menjadi peneliti, ibu pada satu waktu,” katanya.
Ia menambahkan, perempuan peneliti harus cepat beradaptasi dengan dinamika ilmu pengetahuan. Penelitian pun tak sebatas publikasi ilmiah, tetapi penerapan dalam kehidupan.
Herawati mencontohkan saat dia dan tim berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri dalam waktu 13 hari.
Sementara itu, berkecimpung di dunia riset dan penelitian telah dilakoni Mirasstity dan Mita sejak di bangku sekolah. Ketertarikan di bidang ilmu pengetahuan membuat mereka menjadi wakil Indonesia di sejumlah ajang nasional dan internasional.
“Saya menjadi salah satu pembicara di Energy Champion Warrior (2013). Selain itu, saya juga terpilih untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional jurusan biologi,” kata Mirasstity.
(C05)
Sumber: Kompas Siang | 16 Maret 2016