Barangkali tak banyak yang mengamati, dalam Konferensi Internasional tentang Keluarga Berencana (ICFP) yang berlangsung di Bali, tepat sebulan lalu, ada sesuatu yang berbeda. Dalam upacara penutupan, para pemuka dari sejumlah agama dan negara berkumpul untuk mendeklarasikan dukungan terhadap penyelenggaraan Keluarga Berencana.
Dalam konteks Indonesia, setelah reformasi, peran pemuka agama memang agak berkurang. Padahal, pada awal Keluarga Berencana diimplementasikan, para pemuka agama—terutama ulama—banyak dilibatkan. Dalam perkembangannya, peran para tokoh agama ternyata banyak berkurang.
Kebebasan era reformasi bahkan membuat kelompok konservatif membawa pendulum ke arah sebaliknya: memandang KB tidak sejalan dengan agama. Akibatnya bisa dilihat dari indikator kependudukan ini: sepanjang 2014-2015, laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,32 persen atau 3 juta jiwa per tahun. Padahal, idealnya hanya 1,1 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keluarga Berencana sebagai upaya menciptakan keluarga sejahtera dengan anak-anak berkualitas pula seharusnya sejalan dengan semua agama. Abdurrachman Qadir dalam bukunya, Keluarga Berencana Menurut Tinjauan Hukum Islam, mengatakan, pengaturan kelahiran anak dalam keluarga membuat lebih mudah menyeimbangkan antara keadaan dan kebutuhan, pendapat dan pengeluaran, serta akhirnya lebih mudah membentuk keluarga yang sejahtera (Latif Ahmad Fauzan dalam ”Peran Ulama Melalui Komunikasi Dua Tahap dalam Program Keluarga Berencana”, skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014).
Tidaklah mengherankan jika Pondok Pesantren Al-Mahalli di Brajan Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, seperti yang diteliti oleh Latif, menjadi yang pertama dalam mencanangkan program Keluarga Berencana dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Mengatasi stagnan
Menurut Rosalia Sciortino, profesor rekanan di Institute for Population and Social Research (IPSR) Mahidol University, Bangkok, banyak masalah yang harus diatasi agar Keluarga Berencana tak lagi stagnan di Indonesia. ”Masalah mendasar ialah pelaksanaan Keluarga Berencana masih dilihat sebagai sarana kontrol kependudukan yang berfungsi mengatur jumlah penduduk, bukan untuk kepentingan kesehatan perempuan dan akhirnya kesejahteraan keluarga,” katanya.
Perubahan paradigma ini akan membuat Keluarga Berencana jadi bagian dari perbaikan kualitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh. ”Sekarang masih parsial, paling tidak ini bisa dilihat dari masih tabunya membicarakan kesehatan reproduksi pada remaja, kehamilan dini, dan seterusnya,” ujar Rosalia.
Pendekatan juga masih kerap top down sehingga program tak mengenali masalah khas setiap kelompok atau wilayah. Karena itu, Rosalia yang lama jadi Program Officer untuk Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan The Ford Foundation di Indonesia mengingatkan pentingnya membenahi lingkungan agar kondusif untuk meningkatkan mutu kesehatan reproduksi. Dalam hal ini, kerja sama dengan para pemuka agama jadi penting karena Keluarga Berencana kerap dipertentangkan dengan agama.
ICFP di Bali sudah mengenali peran sentral para tokoh agama. Mereka dikumpulkan dan difasilitasi untuk berinteraksi, sekaligus berbagi ide dan pengalaman praktik terbaik dalam mengimplementasikan Keluarga Berencana di tempat masing-masing. Dengan demikian, advokasi dan implementasi program Keluarga Berencana bisa semakin efektif di masyarakat.
Setelah konferensi usai, inilah pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan.
AGNES ARISTIARINI
———
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Setelah Konferensi Usai”.