Pubertas dini bisa memicu masalah kesehatan dan psikologis remaja. Karena itu, orangtua perlu mengenali tanda-tanda pubertas dini dengan pola asuh yang tepat dan komunikasi terbuka untuk mendampingi anak.
Dokter spesialis anak Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Aditya Suryansyah, Jumat (19/2), di Jakarta, mengatakan, nilai gizi, seperti bahan kimia di makanan yang mengandung hormon, mempercepat laju pubertas. “Saat pengaruh psikologis dan gizi kuat, itu katalisator hormon pertumbuhan, reproduksi estrogen, dan testosteron,” ujarnya.
Terlalu banyak makan makanan yang memicu obesitas juga memicu pubertas dini. Kosmetik kecantikan juga mengandung hormon sehingga kadang anak berdandan tak sesuai usia. Karena itu, perempuan lebih berisiko pubertas dini dibandingkan pria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jika anak sebelum usia puber atau di usia awal pubertas menstruasi dan mimpi basah, itu berarti pubertas dini. Menstruasi dan tumbuhnya rambut pubis (kemaluan) ialah fase akhir masa pubertas anak,” tutur Aditya.
Namun, kini anak cenderung mengalami pubertas lebih awal sebelum fase pubertas dibandingkan 30 tahun lalu. Masa pubertas anak perempuan di usia 8-13 tahun dan anak laki-laki di usia 9-14 tahun. Munculnya tanda seks sekunder sebelum batas fase awal pubertas jadi indikasi anak mengalami pubertas dini.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2010, sekitar 5,2 persen dari populasi anak di 17 provinsi di Indonesia mengalami masa haid pertama (menarche) sebelum 12 tahun. Indonesia menempati urutan ke-15 dari 67 negara dengan penurunan usia haid pertama 0,145 tahun per dekade.
Riset “Gambaran Tanda Pubertas pada Murid Sekolah Dasar” tahun 2011 oleh Aditya Suryansyah menunjukkan, pubertas dini pada anak di perkotaan terjadi setengah tahun lebih cepat dibandingkan anak di pedesaan atau daerah pinggiran.
Pubertas dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain etnis, kondisi sosial, nutrisi, aktivitas, dan masalah kronis kejiwaan. Lingkungan sosial dan kejiwaan memengaruhi pubertas dini anak di perkotaan. Keterbukaan informasi dan dorongan sosial mempercepat hormon pertumbuhan.
Menstruasi dan pembesaran ukuran testis merupakan fase akhir pubertas lebih cepat daripada seharusnya. Pada anak perempuan, menstruasi terjadi setelah dua tahun masa pembesaran payudara. Efek pubertas dini tampak pada fisik anak yang sulit bertambah tinggi. Menstruasi pertama jadi fase akhir penambahan tinggi badan anak. “Anak perempuan lebih pendek dibandingkan temannya yang pubertas di usia seharusnya. Anak laki-laki bertambah tinggi 2-3 tahun setelah pubertas,” ujarnya.
Perempuan yang menstruasi pertama terlalu dini meningkatkan risiko kena kanker payudara, resistensi insulin, obesitas abdominal, penyakit kardiovaskular, dan hipertensi. Pubertas dini yang mengarah ke hubungan seks pranikah bisa memicu kehamilan dan berisiko terkena infeksi menular seksual.
Secara psikologis, pubertas dini bisa membuat anak bingung, stres, cemas, dan emosional. Jadi, peran orangtua diperlukan untuk mengarahkan anak agar tak terjerumus masalah akibat pubertas dini. Intervensi hormonal jadi solusi akhir saat ada gangguan hormon pada anak yang memicu pubertas dini.
Psikolog anak RSAB Harapan Kita, Ade Dian Komala, menambahkan, bimbingan orangtua mencegah risiko dan konflik sosial saat anak di masa pubertas. Pemahaman pubertas perlu disampaikan secara tepat agar anak tak mencari informasi di luar yang bisa ke perilaku negatif.
“Orangtua harus mengarahkan anak dan terbuka dalam komunikasi, memosisikan diri kita seperti mereka,” ucap Ade. Komunikasi jadi kunci terbukanya dialog dengan orangtua saat anak tertarik lawan jenis, konflik dengan teman, dan soal remaja lain. “Orangtua perlu mengajari anak menyelesaikan masalahnya sendiri. Anak pada masa transisi mencari jati diri karena bingung,” ujarnya. (C07)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Pubertas Dini Picu Masalah Remaja”.