Hanya selang beberapa jam setelah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima di Jepang meledak, di media elektronik muncul peringatan agar warga Indonesia tidak keluar rumah. Ditulis dalam bahasa Inggris yang meyakinkan, informasi yang menyebut dampak radiasi nuklir akan sampai Indonesia dalam tempo 24 jam langsung menyebar lewat berbagai media: internet, SMS, e-mail, bahkan juga televisi.
Inilah konsekuensi zaman digital dengan aneka kanal penyaluran. Informasi tidak hanya berlimpah tersedia, tetapi juga berlangsung serba cepat, seketika, sekaligus massal. Sayang, segala kemudahan ini ternyata bisa menyesatkan: tak ada saringan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang sampah.
Salah satunya adalah informasi dampak radiasi nuklir di atas. Informasi bohong atau hoax intinya memperdayai hingga orang percaya atau menerima sesuatu yang salah sebagai kebenaran. Informasi serupa terus bermunculan di media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebutlah daftar merek susu yang tercemar bakteri Enterobacter sakazakii, yang langsung beredar ketika kasus ini kembali mencuat. Atau munculnya cara menghindari serangan stroke ketika seorang anggota DPR meninggal pada usia muda.
Apa boleh buat. Perkembangan teknologi komunikasi memang memiliki konsekuensi sendiri. Tanpa dilandasi kekritisan dan keluasan alam pikir, semua kemajuan tampaknya hanya mengundang kehebohan.
Sejak lama ada
Urusan tipu-menipu ternyata memang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Kata hoax, misalnya, diketahui sudah digunakan sejak tahun 1796. Diduga berasal dari kata hocus dengan arti sama: memperdayai, hoax muncul dalam berbagai bentuk.
Pada situs Museum of Hoaxes, ada foto hoax pertama yang tercatat tahun 1840. Ketika itu fotografer Hippolyte Bayard membuat foto orang tenggelam dengan model diri sendiri.
Foto hoax lain yang mengecoh banyak orang adalah foto Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, yang tampak berwibawa. Padahal, fotografer merekayasa foto itu dengan memindahkan gambar kepala Lincoln ke badan John Calhoun, politikus dari Carolina Selatan, yang postur tubuhnya lebih perkasa.
Namun, hoax paling terkenal abad XX adalah yang dibuat Alan Sokal, profesor fisika dari New York University. Tahun 1996, ia mengirim artikel ke Social Text, jurnal ilmiah untuk studi postmodern. Sokal ingin menguji ketelitian editor jurnal tersebut, apakah mereka memublikasikan artikel setelah dibandingkan dengan berbagai referensi dan tinjauan pustaka atau karena artikel itu terlihat bagus dan sesuai teori kegemaran editornya.
Artikel Sokal ”Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity”, terbit dalam Social Text, Mei 1996. Tulisan tersebut lolos karena pada masa itu suatu jurnal ilmiah tidak mempraktikkan pengujian artikel oleh sekelompok ahli sebelum dimuat.
Sokal kemudian mengaku di Lingua Franca bahwa artikelnya cuma hoax. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi luar biasa meski kejahilan Sokal kemudian berbuah pada perbaikan sistem review secara menyeluruh sebelum akhirnya suatu tulisan ilmiah dipublikasikan.
Memilah informasi
Akan tetapi, bagaimana caranya mengajak masyarakat untuk pintar memilah di tengah banyaknya hoax atau informasi bohong yang beredar?
Praktisi teknologi informasi Onno W Purbo mengingatkan, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah sumbernya. ”Pilihlah informasi dari situs-situs yang dapat dipercaya,” kata Onno.
Ia biasanya mencari informasi dari media massa karena jelas siapa penanggung jawabnya. Apabila memerlukan informasi yang lebih mendalam, ia akan masuk ke situs-situs resmi lembaga yang punya otoritas.
Menurut Onno, informasi bohong biasanya selalu ada bagian yang tidak masuk akal. Oleh karena itu, ia menyarankan membaca dengan teliti seluruh isinya. Informasi bohong biasanya berciri seolah-olah ilmiah, padahal sebenarnya tak masuk akal atau malah memang seharusnya begitu.
Pada informasi bohong nuklir yang kini sedang beredar, ada bagian yang menganjurkan warga untuk tidak keluar rumah saat hujan atau apabila terpaksa, sebaiknya menggunakan payung atau jas hujan. Bukankah tanpa radiasi nuklir pun perlindungan itu harus dilakukan supaya tidak masuk angin?
Akan tetapi, bagian yang paling menggelikan sebenarnya adalah anjuran mengoleskan Betadine di leher untuk melindungi kelenjar tiroid dari ancaman radiasi. Padahal, Betadine yang biasa dioleskan pada luka berfungsi untuk mematikan kuman, bukan menangkal radiasi.
Informasi bohong tentang daftar susu yang tercemar bakteri E sakazakii juga sepintas tampak meyakinkan. Namun, apabila diteliti lebih lanjut, tampaklah keanehannya. Di daftar itu ada susu kental manis, susu untuk lanjut usia, dan susu konsumsi biasa. Padahal, penelitian yang diributkan itu hanya meneliti susu formula untuk bayi.
Informasi bohong tentang pertolongan pertama pada penderita stroke adalah dengan melukai ujung-ujung jari kaki dan menarik-narik telinga. Padahal, melakukan kedua hal tersebut hanya akan membuang waktu dan memperparah kondisi.
Stroke terjadi jika aliran darah ke otak terhambat gumpalan darah beku (ischemic stroke) atau akibat pecahnya pembuluh darah (hemorrhagic stroke). Kondisi ini menyebabkan bagian otak yang tidak teraliri darah akan rusak akibat kekurangan oksigen dan nutrisi. Oleh karena itu, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Menurut Onno, selain pandai memilah dan memilih, masyarakat sebaiknya juga berhati-hati dalam menyusun atau meneruskan suatu informasi.
”Pada prinsipnya, apa pun yang dikirim ke media elektronik akan dicatat oleh server. Ini prinsipnya mirip e-mail, yang selalu ada header-nya sebagai penunjuk sumber pengirim awal,” tutur dia.
Memang server hanya bisa diakses oleh administratornya. Namun, jika sampai terjadi kasus dan kemudian melibatkan pengadilan, dengan surat perintah pemeriksaan, aparat penegak hukum bisa meminta administrator menunjukkan riwayat pengiriman informasi.
Walaupun begitu, yang ditawarkan dalam era keterbukaan informasi ini lebih banyak yang berguna dan membuka wawasan. Oleh karena itu, mari menjadi pengguna teknologi yang berdaya, tak tertipu oleh banyak informasi bohong yang berseliweran. [AGNES ARISTIARINI]
Sumber: Kompas, 16 Maret 2011