Slogan “sampah ialah berkah” sudah lama didengungkan. Salah satunya, energi listrik untuk menerangi permukiman penduduk. Potensi tampak dari tumpukan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Namun, potensi energi listrik belum maksimal tergarap lantaran ada sejumlah masalah pengelolaan sampah. Itu terkait dengan kerja sama Dinas Kebersihan DKI Jakarta dan pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, yakni PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI).
Perjanjian kerja sama selama 25 tahun yang dimulai Desember 2008 itu mencantumkan kewajiban pengelola untuk menerapkan teknologi Gasification Landfill Anaerobic Digestion (Galfad). Teknologi itu terdiri atas tiga proses teknologi terpisah, yakni gasifikasi, landfill gas (pengumpulan gas dari tempat pembuangan sampah atau TPA yang saniter), dan penguraian anaerobik, yang menghasilkan daya 26 megawatt (MW).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Bidang Tata Kelola Lingkungan Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sri Wahyono menjelaskan, gasifikasi ialah pembakaran parsial material karbon sampah jadi bahan bakar gas seperti hidrogen, metana, dan karbon monoksida. Jadi, gasifikasi membuat volume sampah berkurang sekaligus menangkap energi dari hasil pembakaran. “Bahan bakar gas itu bisa untuk menggerakkan turbin gas penghasil listrik,” ujarnya, Minggu (8/11), saat dihubungi di Jakarta.
Teknologi pengolahan
Gasifikasi dimulai dengan penerimaan sampah dari luar di area penerimaan sampah (waste reception area), lalu sampah dipilah sesuai jenisnya, yakni sampah nonorganik dan organik. Sampah organik (sampah basah) diproses secara anaerobik (tanpa udara) di bak beton tertutup dan sampah kering diproses dalam reaktor gasifikasi. Gasifikasi memakai sampah nonorganik seperti kayu, karton, dan sampah organik seperti kompos hasil penguraian anaerobik.
Sekitar 85 persen dari total energi dari gas dan energi panas hasil pembakaran pada temperatur tinggi digunakan untuk menghasilkan listrik. Dari proses gasifikasi, limbah padat hanya tersisa 6 persen dari volume awal serta bisa untuk pembuatan bata dan pengerasan jalan.
Sementara dalam pengumpulan gas di sanitary landfill, sampah ditumpuk hingga ketinggian tertentu lalu dilakukan pengumpulan gas. Kegiatan pengumpulan gas dari sanitary landfill terdiri dari pengeboran sumur gas, pemasangan lapisan geomembran, pemipaan pengumpul lindi (leachate), dan pemasangan perpipaan pengumpul gas. Gas dari TPA berupa gas metana, karbon dioksida, nitrogen, dan oksigen diproduksi selama proses dekomposisi material organik dalam kondisi anorganik. Gas-gas itu jadi bahan bakar pembangkit listrik.
Agar TPA bisa menerima tumpukan sampah baru, pengelola menyiapkan lahan, termasuk untuk mencegah air lindi meresap dalam sistem peresapan air tanah. Setelah mencapai ketinggian tertentu, pengumpulan gas di sanitary landfill dilakukan lagi seperti pada tumpukan sampah lama.
Pada proses lain dari Galfad, yakni penguraian anaerobik, pengelola membangun structured landfills cell. Teknologi penguraian anaerobik memakai sampah organik seperti sampah pasar, buah, sayur, kebun, dan sampah organik basah.
Dalam proses itu, sampah ditampung di bak sampah besar, ditutup membran, lalu diberi sirkulasi air agar terjadi fermentasi dan menghasilkan gas metana serta karbon dioksida. Lalu, gas disalurkan lewat pipa hingga ke generator untuk dijadikan bahan bakar bagi pembangkit listrik. Dari penguraian anaerob, sampah menyusut hingga 40 persen dan jadi kompos atau sebagai bahan bakar untuk proses pirolisis, teknologi termal pengolah sampah.
Karut-marut
Direktur Utama PT NOEI Agus Nugroho Santoso mengungkapkan, dari tiga teknologi itu, pengelola baru mewujudkan teknologi sanitary landfill dan penguraian anaerobik yang berpotensi menghasilkan listrik 16 MW. Adapun instalasi teknologi gasifikasi yang diperkirakan bisa memproduksi daya 9,6 MW belum dibangun.
Padahal, dalam kontrak kerja sama, pengelola wajib menyediakan teknologi yang bisa mengonversi sampah jadi listrik pada tahun 2011. “Pembangunan teknologi gasifikasi butuh investasi Rp 200 miliar, sedangkan kami terus merugi,” ujarnya.
Teknologi yang ada pun belum optimal karena hanya bisa menghasilkan 2,5 MW dari yang seharusnya 16 MW. Menurut Agus, terhambatnya produksi listrik itu karena volume sampah kelebihan tonase.
Sesuai dengan kesepakatan, DKI Jakarta seharusnya hanya mengirim 3.000 ton sampah per hari ke TPST Bantargebang, tetapi kini mencapai 6.800 ton sampah per hari. “Potensi gas metana yang banyak ini tak bisa tersedot karena volume sampah terlalu besar. Sumur gas kami pun rusak karena tertumpuk sampah,” kata Agus.
Meski demikian, dari listrik 2,5 MW yang dihasilkan TPST Bantargebang, pengelola mampu meraup pendapatan Rp 1,6 miliar per bulan dengan menjualnya ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Jika mencapai 16 MW, pendapatan bisa mencapai Rp 10 miliar per bulan.
Menurut Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Kebersihan DKI Jakarta Asep Kuswanto, meski PLN mendapat pasokan listrik dari kegiatan itu, jumlahnya tak memadai. “Kontrak kami dengan PLN adalah menyediakan listrik minimal 4,5 MW,” ujarnya.
Wahyono memandang, salah satu kunci mengatasi hambatan penerapan teknologi di TPST Bantargebang ialah pemilahan sampah. Sebab, pemisahan sampah organik dari nonorganik belum berjalan di Bantargebang.
Padahal, jika ingin menghasilkan energi panas tinggi melalui gasifikasi, sampah mesti sampah kering. “Oleh karena itu, warga perlu diedukasi agar memilah sampah sejak di tingkat rumah tangga,” ujarnya.
Banyak pilihan
Perencanaan pengolahan sampah terpadu di TPST Bantargebang yang sebenarnya amat bagus itu menunjukkan, kemajuan teknologi pengolahan sampah memberi beragam pilihan. Teknologi dengan pembakaran atau proses termal, misalnya, selain gasifikasi, ada teknologi insinerasi dan pirolisis.
Wahyono memaparkan, gasifikasi butuh oksigen berjumlah sedikit saat pembakaran atau substoichiometric. Adapun teknologi insinerasi butuh kecukupan ketersediaan oksigen atau udara (stoichiometric), sedangkan pirolisis sama sekali tak perlu udara saat pembakaran.
Insinerasi memakai alat bernama incinerator dengan produk utama berupa gas karbon dioksida dan abu. Teknologi pirolisis menghasilkan cairan seperti minyak dan padatan yang bisa digunakan sebagai bahan bakar.
Sejauh ini, menurut Wahyono, teknologi termal terbaru ialah kombinasi sistem gasifikasi plasma. Itu memakai busur api listrik untuk memanaskan gas jadi plasma. Suhu tinggi memanaskan sampah jadi syngas (synthesis gas), laluitu dipakai untuk memutar turbin agar memproduksi listrik. Namun, teknologi itu mahal dari sisi investasi, operasi, dan pemeliharaan.–HARRY SUSILO DAN J GALUH BIMANTARA
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 November 2015, di halaman 13 dengan judul “Mendamba Listrik dari Sampah”.