Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan sumber daya hutan yang cukup signifikan melingkupi pulau-pulau besar terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Sumber daya hutan tersebut merupakan potensi tidak ternilai sehingga jaminan kelestarian hutan yang bebas dari ancaman kerusakan-termasuk dari kebakaran hutan dan lahan-mutlak dibutuhkan.
Bencana kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi hal rutin. Hampir setiap tahun kita disibukkan oleh bencana tersebut. Padahal, sistem pengelolaan hutan di Indonesia sudah terbangun puluhan tahun, didukung para profesional yang andal. Sangatlah ironis apabila kita tidak sanggup mengakhiri rutinitas kejadian bencana ini. Apa akar permasalahan dari rentetan peristiwa kebakaran ini?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dapat dicegah
Kebakaran hutan sebenarnya dapat dicegah, dikontrol, dan dikendalikan apabila faktor-faktor pemicu kebakaran dapat diidentifikasi dan dipetakan sejak dini.
Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor alami ataupun faktor manusia. Faktor alami meliputi lapisan gambut kering yang cukup tebal dan sisa-sisa vegetasi kering.
Lahan gambut (peat land) dicirikan oleh material organik cukup tebal, terbentuk dalam jangka waktu lama yang menghasilkan tanah organik (organosol) yang apabila pada kondisi kering sangat mudah terbakar.
Faktor berikutnya adalah kondisi iklim, di mana pada tahun ini Indonesia mengalami periode kering lebih panjang dari kondisi normal akibat adanya fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) khususnya El Nino. Periode kering yang cukup panjang akan memicu serasah pohon, dahan, daun, ataupun lahan gambut yang sangat mudah terbakar.
Selain itu, ada faktor non-alami sebagai faktor utama pemicu kebakaran lahan gambut, yaitu aktivitas manusia membuka lahan dengan cara membakar atau membuat kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut.
Tim kajian gambut Universitas Gadjah Mada menyampaikan hasil studinya tahun 2014 lalu, bahwa sebaran titik-titik api di lahan gambut sangat dikontrol oleh sebaran jaringan kanal-kanal buatan. Kehadiran kanal-kanal inilah, terutama di zona kubah gambut, yang memicu pengatusan air bawah tanah di lahan gambut. Semakin luas jaringan kanal ini, makin bertambah pula titik-titik api yang terjadi.
Berbagai sumber (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Pertanian) mencatat bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan mencapai 1,7 juta hektar. Total kehilangan akibat bencana tersebut di Provinsi Riau mencapai Rp 20 triliun, belum termasuk wilayah lain di Indonesia.
Wilayah yang terpapar di Sumatera mencakup 25,6 juta penduduk, sedangkan di wilayah Kalimantan mencapai 3 juta jiwa. Kebakaran hutan dan lahan juga berdampak berat pada transportasi udara, pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi.
Selain kerusakan dan kerugian, kebakaran hutan dan lahan yang meluas sangat sulit untuk dipadamkan dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh wilayah yang terbakar tidak hanya di permukaan, tetapi juga di bawah permukaan (sub-surface).
Api yang membakar lahan gambut dengan ketebalan 1 meter-3 meter sangat menyulitkan proses pemadaman dan membutuhkan volume air cukup banyak. Untuk memadamkan api dengan luas 1 meter persegi dengan kedalaman api 30 sentimeter dibutuhkan 200 liter-400 liter air. Dengan air sebanyak itu, bisa dibayangkan berapa volume total air untuk memadamkan api di 1,7 juta hektar hutan dan lahan.
Mengurangi risiko
Lalu bagaimana caranya mengupayakan pengurangan risiko kebakaran lahan gambut berupa kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi yang terus berlangsung secara sistemik ini?
Terkait upaya pencegahan kebakaran lahan gambut dan hutan, UGM telah melakukan kajian intensif selama beberapa tahun. Berdasarkan kajian itu, tim studi gambut UGM merekomendasikan beberapa hal penting dan mendesak. Antara lain, tindakan segera dalam kondisi darurat ini untuk pemadaman dan penanganan dampak serta untuk evakuasi dan penanganan korban, baik kesehatan maupun pendidikan bagi siswa di area terdampak.
Berikutnya penegakan hukum dan disinsentif ekonomi. Misalnya dengan memberikan hukuman administrasi termasuk mencabut izin perkebunan dan pembebanan biaya pemulihan lingkungan pada perusahaan. Hal lain menggugat secara perdata untuk gugatan lingkungan hidup dan pidana untuk pertanggungjawaban pidana korporasi.
Tindakan pencegahan lain adalah penanganan secara sistematis jangka panjang dengan meninjau ulang dan menyempurnakan rencana induk pengembangan kawasan lahan gambut, penataan ulang atau pembenahan tata ruang lahan gambut, mengaudit saluran/kanal, dan menyempurnakan tata kelola tata air di lahan gambut. Selain itu, mendesak untuk membuka data dan akses hasil pemantauan lingkungan di lahan gambut, yang sebenarnya tersebar di pelbagai instansi terkait.
Data gambut
Data tersebut berupa data kondisi dan sebaran gambut, kondisi dan sebaran air bawah tanah di lahan gambut, serta sebaran kanal dan kualitas lingkungan yang seharusnya terpantau oleh institusi yang memanfaatkan lahan gambut selama bertahun-tahun. Data perlu diintegrasikan dan diakumulasikan untuk menggambarkan kondisi permukaan dan bawah permukaan lahan gambut serta perubahannya sehingga dapat memprediksi risiko dan mengupayakan mitigasi yang tepat.
Di era serba digital ini, seharusnya data integrasi mudah dilakukan dan diakses secara real time, baik melalui situs web maupun media sosial. Dengan demikian, data kunci berupa perubahan kelembaban gambut ataupun muka air tanah, profil dan ketebalan gambut, serta data yang berdampak langsung pada publik, seperti curah hujan, kualitas, dan suhu udara di kawasan lahan gambut, dapat dipantau langsung secara real time dari dash board melalui berbagai media sosial atau situs web pemerintah.
Dengan cara itu, semua pihak dapat dengan mudah ikut memantau berbagai gejala yang membahayakan sebelum bencana terjadi dan dapat segera diupayakan peringatan dini, mitigasi, ataupun pengurangan risiko secara tepat. Sangat disayangkan bahwa kekuatan Indonesia sebagai masyarakat digital, dengan jumlah telepon pintar melampaui jumlah penduduk di beberapa lokasi yang berpotensi kebakaran lahan, ternyata belum dapat memanfaatkan kekuatan ini hanya karena sistem pemantauan dan peringatan dini gambut belum terbentuk dengan dukungan data terintegrasi.
Penerapan teknologi
Tidak kalah penting adalah penerapan teknologi untuk pengendalian tata air di lahan gambut. Pengembangan kanal-kanal untuk pengeringan air harus dihindari, kecuali untuk transportasi publik. Yang diperlukan justru upaya memilih pola tanam yang tidak memerlukan pengeringan untuk lahan gambut.
Audit kinerja dan kepatuhan berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan lahan gambut juga penting untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana kebakaran lahan gambut.
Seluruh upaya mencegah atau mengurangi risiko kebakaran perlu diatur dengan regulasi yang menjamin sinergi berbagai sektor dan pihak terkait, serta menjamin harmonisasi berbagai peraturan untuk pengelolaan lingkungan lahan gambut.
Pencegahan kebakaran lahan gambut dan berbagai risiko bencana lainnya perlu kita pandang sebagai upaya investasi keberlanjutan dan kenyamanan lingkungan, serta keselamatan umat manusia, jangan dipandang sebagai biaya yang hilang sia-sia. Semakin serius kita tanamkan investasi ini, semakin besar manfaat dalam kondisi lingkungan yang makin aman, nyaman, dan produktif.
Oleh karena itu, perlu adanya peraturan dan sistem “governance” yang menjamin adanya alokasi dana untuk program pencegahan atau pengurangan risiko bencana kebakaran ini sebagai bagian dari investasi di dalam proses bisnis pengelolaan lahan gambut.
Itulah beberapa hal yang perlu kita garap bersama, dengan belajar dari serangkaian kesalahan yang berlangsung bertahun-tahun. Semoga saja dengan mengubah paradigma pikir dari memandang upaya pencegahan sebagai bagian dari biaya yang hilang, menjadi sebagai bagian dari investasi dalam proses bisnis, akan menjadi gerakan untuk mencegah kebakaran hutan di masa yang datang.
Semoga semua dapat kita lakukan secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak, baik swasta, masyarakat setempat, pemerintah daerah, maupun pihak pengawas dalam hal ini pemerintah pusat.
Dwikorita Karnawati, Rektor UGM
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul “Pelajaran dari Kebakaran Hutan dan Lahan”.