Kanker merupakan penyakit yang dipicu kerusakan atau mutasi gen dalam tubuh. Pada pasien kanker jenis sama, perubahan genetika yang terjadi bisa berbeda. Karena itu, sebelum dokter melakukan terapi target dengan memberi obat tertentu, pasien harus menjalani uji genetika untuk memastikan gen yang bermutasi.
“Jangan sampai pasien sudah diberi obat mahal, tetapi tak ada efeknya karena tak sesuai mutasi gen yang dialami penderita,” kata Kepala Laboratorium Kalbe Genomics Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, Rabu (2/9), di Jakarta.
Uji genetika untuk mengetahui profil genetika pasien harus dilakukan sebelum pasien menjalani terapi target. Berdasarkan mutasi gen yang dialami, dokter akan menentukan jenis obat yang paling sesuai. Obat yang mahal belum tentu cocok bagi semua pasien meski jenis kanker yang diderita sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Manajer Senior Informasi Kedokteran Kalbe Farma Kupiya Timbul Wahyudi menyatakan, terapi target hanya menyerang sel-sel kanker untuk menghambat pertumbuhan dan penyebarannya. Jadi, sel-sel sehat di sekitar sel kanker tak terganggu.
Stadium lanjut
Terapi target umumnya dilakukan saat kanker sudah dalam stadium lanjut. Demikian pula uji genetikanya. Itu terjadi karena mayoritas pasien kanker di Indonesia terdiagnosis saat kankernya sudah stadium lanjut.
Hingga kini, menurut Ahmad, uji genetika hanya bisa digunakan untuk penderita kanker paru, kanker usus besar atau kolorektal, kanker payudara, dan kanker darah atau leukemia.
Proses uji genetika terbaik dilakukan dengan biopsi atau mengambil bagian organ yang terkena kanker. Jika sulit dan membahayakan pasien seperti pada kanker paru, biopsi bisa dilakukan dengan mengambil darah pasien. Namun, biopsi memakai darah harus hati-hati karena hasilnya bisa berbeda dengan kondisi sebenarnya.
Hasil uji genetika biasanya diketahui dalam satu minggu. Uji itu harus segera dilakukan, khususnya bagi pasien kanker paru, yang daya bertahan hidup lebih pendek daripada penderita kanker lain.
Bagi pasien kanker paru, uji genetika sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat terapi. “Gen kanker paru amat sensitif sehingga cepat berubah ketika dilakukan terapi,” kata Ahmad.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, kanker paru, bronkus, dan trakea akan jadi pembunuh terbesar keenam di Indonesia pada 2015. Padahal, pada 2013, berdasarkan data Global Burden of Disease Study pada 2013, kanker paru baru menjadi penyebab kematian urutan ke-10. “Rokok jadi faktor risiko yang berpengaruh besar pada kenaikan kasus kanker paru,” kata Kupiya.
Peningkatan kasus kanker seiring perubahan perilaku masyarakat sehingga pola penyakit yang dialami ikut berubah. Meski peningkatan kasus kanker di Indonesia sejalan dengan kenaikan kasus kanker dunia, usia tengah pasien kanker di negara maju umumnya kelompok masyarakat lanjut usia. Sebaliknya, di Indonesia, umur tengah pasien kanker justru penduduk dewasa usia produktif. (MZW)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Cek Profil Genetika Sebelum Diberi Obat”.